Meski ibadah ini mensyaratkan peninggalan urusan keduniaan, namun tak memadamkan kepedulian sosial.
Iktikaf, ‘uzlah, akan menghasilkan pribadi asing (al ghuraba). Kata Rasulullah SAW, “Islam bermula dalam keadaan asing (gharib), dan akan kembali di anggap asing sebagaimana bermula. Maka beruntunglah orang-orang asing itu (ghuraba)” (HR Imam Muslim).
“Siapakah Al ghuraba itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang melakukan perbaikan ketika orang-orang lain rusak” (HR Imam Thabrani dari Sahal ra).
Dalam riwayat Imam Baihaqy dan Imam Tirmidzi, maksud ghuraba adalah “Orang-orang yang menghidupkan sunnahku dan mengajarkannya kepada manusia.” Sedangkan dalam riwayat Imam Ahmad dan Imam Thabrani, maksud ghuraba adalah “Manusia shalih yang sedikit di antara manusia yang banyak. Orang yang menentang mereka lebih banyak di banding yang mentaati mereka.”
Walau begitu, ditegaskan Rasulullah, “Orang mu’min yang bergaul dengan manusia dan sabar menghadapi gangguan mereka, lebih baik daripada orang yang tidak mau bergaul dengan mereka dan tak sabar menghadapi gangguan mereka “(HR Imam Bukhari, At Tirmidzy, dan Imam Ahmad).
Walhasil, ber-‘uzlah dengan iktikaf bukan berarti mematikan kesalehan sosial. Meskipun ibadah ini mensyaratkan peninggalan urusan keduniaan, namun tidaklah memadamkan radar-radar kepedulian sosial.
Dalam Kitab At Targhib Jilid II diriwayatkan, ketika Ibnu Abbas ra tengah asyik iktikaf di Masjid Nabawi, tiba-tiba seorang laki-laki beruluk salam lalu duduk di dekatnya.
Setelah menjawab menyalaminya, Ibnu Abbas kembali tenggelam dalam kekhusyu’an dzikir. Tapi beberapa saat kemudian, ia baru menyadari. Ada yang aneh dengan orang yang baru datang ini. Heran Ibnu Abbas, karena bukannya tenang, orang itu malah gelisah di rumah Allah. Ia pun menyapanya.
‘’Wahai Saudaraku, gerangan apa yang membuatmu tampak susah. Adakah yang bisa kubantu?’’ kata Putra Abbas.
‘’Yah, aku mestinya hari ini melunasi utang pada seseorang, tapi aku belum sanggup membayarnya. Inilah yang menggelisahkanku,’’ jawab orang itu.
‘’Boleh aku membantumu?’’ Ibnu Abbas menegaskan.
‘’Wah, terima kasih sekali bila Anda mau menolongku,’’ ceria wajah lelaki yang tengah kebingungan. Namun ketika Ibnu Abbas beranjak meninggalkan masjid untuk mengambil uang, ia mengingatkan,
‘’Maaf, bukankah Anda ini sedang i’tikaf. Jangan sampai i’tikaf Anda terputus karena saya.’’
Saya tahu, kata Ibnu Abbas. Saya pernah mendengar perkataan Rasulullah, siapa ber i’tikaf sehari demi mengharap keridhoan Allah maka Allah akan menjauhkannya dari api neraka sejauh langit dan bumi. Tapi, lanjut Putra Abbas, ‘’Rasulullah juga berkata, siapa yang berjalan demi memenuhi hajat saudaranya, maka ia diganjar pahala yang lebih besar ketimbang i’tikaf sepuluh tahun’’ (HR Thabrani, Baihaqi dan Hakim; At Targhib).