Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang mencabut status Badan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 7 Mei kemarin mengecewakan bagi HTI.
Wartapilihan.com, Jakarta – Hal itu disampaikan oleh Muhammad Ismail Yusanto, juru bicara HTI. Ia mengungkapkan, HTI menolak putusan hakim PTUN tersebut karena putusan tersebut telah mensahkan kedzaliman yang dilakukan oleh pemerintah.
“Putusan pencabutan status BHP HTI yang dilakukan pemerintah adalah sebuah kedzaliman, karena tidak jelas atas dasar kesalahan HTI apa putusan itu dibuat?” Tutur Ismail, dalam Konferensi Pers, di Crown Palace, Eks Kantor DPP HTI, Tebet, Jakarta, Selasa, (8/4/2018).
Menurutnya, alasan pembubaran HTI adalah asumsi yang tidak pernah dibuktikan secara objektif di pengadilan.
“Mestinya, kedzaliman itu harus dihentikan. Tapi yang terjadi justru dilegalkan. Oleh karena itu, HTI berketetapan untuk melawan keputusan itu dengan mengajukan banding,” tutur Ismail.
Ia mengatakan, putusan hakim PTUN telah nyata mempersalahkan kegiatan HTI yang menyebarkan pemahaman tentang syariah dan khilafah. “Itu sama artinya dengan mempersalahkan kewajiban Islam dan ajaran Islam. Sebuah tindakan yang tidak boleh dibiarkan begitu saja,” tukasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum HTI mengatakan, ia tidak menyepakati putusan sidang yang dilakukan kepada HTI. Pasalnya, terdapat pertimbangan-pertimbangan yang menurut dia tidak tepat.
Pertimbangan pertama, Yusril mengatakan, pihak tergugat tidak memberlakukan Perppu Ormas secara urut. Padahal, menteri hukum dan HAM baru mendapatkan kewenangan menjatuhkan pencabutan status badan hukum pada tanggal 10 Juli 2017.
“Sebelum itu, Menteri tidak berwenang sebab kewenangan pencabutan status badan hukum masih milik pengadilan sesuai UU nomor 17 tahun 2013,” kata Yusril.
Selain itu, ia menjelaskan, pertimbangan majelis yang membeberkan bukti berupa buku dan bukti elektronik berupa video dianggap tidak salah karena bukan peristiwa hukum atau fakta, melainkan sekedar referensi ilmiah.
“Referensi ilmiah itu tidak pernah dikonfirmasi secara sah melalui pemeriksaan yang fair dan objektif. Bukti video yang dijadikan dasar ternyata baru diverifikasi tanggal 19 Desember 2017, atau 5 bulan setelah Surat Keputusan Menkumham. Hal ini membuktikan, bukti baru dicek orisinalitasnya setelah hukuman dijatuhkan,” tukasnya.
Belum lagi, pertimbangan hakim yang menyatakan penerbit SK telah sesuai prosedur, pada faktanya, tidak pernah ada pemeriksaan secara langsung kepada penggugat.
“Tidak pernah ada konfrontir atas keterangan bukti sehingga tidak ada pemeriksaan yang fair dan objektif yang jelas menunjukkan penghukuman yang dilakukan tanpa prosedur yang cukup,” pungkasnya.
Maka dari itu, pihak HTI akan melakukan upaya banding untuk meluruskan putusan pengadilan PTUN Jakarta.
Eveline Ramadhini