Ulama Jaman ‘Now’, antara StanUp Komedi atau StandUp ‘Ilmu’

by
Sumber Foto: SuaraIslam.id

Mengapa umat Islam terdahulu hebat di bidang ilmu? Menurut Prof. Mulyadhi, salah satunya adalah apresiasi masyarakat terhadap ilmu dan ulama. Kehadiran seorang ulama selalu membangkitkan gairah masyarakat untuk menemui dan mendengarkan ceramah-ceramahnya.

Wartapilihan.com, Bogor— Sekedar teladan, tatkala Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 1207) diangkat sebagai syaikh al-Islam dan ditempatkan di kota Herat, pada hari kedatangannya di kota itu, seluruh warga kota menyambut sang imam layaknya menyambut hari raya. Walikota Herat, Husein Kharmil bersama petinggi kota dan masyarakat mengarak sang imam menuju istananya dan kemudian mendengarkan khutbahnya dengan khusyuk dan tenang.

Sambutan kepada ulama yang datang ke kota tersebut pada waktu itu mungkin mirip saat ini apabila ada klub sepak bola yang juara liga atau juara dunia, maka pemain dan pialanya diarak sepanjang jalan-jalan utama kota.

Masyarakat Islam waktu itu juga gemar menyaksikan “debat” terbuka tentang ilmu yang diselenggarakan di tempat-tempat umum. Biasanya terjadi di depan/balkon toko buku. Mereka merasa puas dengan siraman ilmu yang diperdengarkan para ulama tersebut. Itulah mengapa kala itu ilmu sangat berkembang karena masyarakatnya antusias dengan ilmu yang dimiliki oleh para ulama.

Namun di jaman sekarang, di mana kemunduran Islam tengah terjadi, masyarakat kurang mencintai ilmu dan ulama. Kalaupun menyukai ulama, dipilih ulama yang lucu dan menarik. Seorang ulama disebut bagus, jika ceramahnya mengundang gelak tawa. Kalau ada ustadz baru ceramah di suatu masjid, lalu yang tidak datang bertanya, “Bagaimana ustadznya tadi?” Jawab yang hadir, “Bagus. Ustadznya kocak. Dua jam ceramah jadi tidak terasa…” Begitulah kondisi sebagian umat kita dalam menilai keulamaaan seseorang.

Karena masyarakat cenderung seperti itu, maka beberapa ustadz dan mubaligh pun berebut untuk membuat lelucon agar jamaah pecah gelak tertawanya. Saking ingin membuat jamaah tertawa, akhirnya ia pun rela menceritakan kebohongan dan ada pula yang menyerempet menghina atau setidaknya menyepelekan junjungan kita, yaitu Nabi besar Muhammad saw. Rupanya tidak sekali dua kali, tapi dalam beberapa kesempatan ia menghina Nabi saw. Jamaah pun tertawa terbahak2, sadar atau tidak sadar ketika nabinya diolok-olok. Sungguh disayangkan, kalau ada mubaligh yang ceramah menyimpang, panitia atau tokoh sesepuh di situ mestinya menghentikannya agar tidak menjadi dosa jariyah.

Ini adalah sebuah introspeksi buat kita semua, baik sebagai penceramah maupun sebagai bagian dari umat. Menyelipkan lelucon pada dakwah tidak dilarang. Tapi hanya sebagai “ice breaking” dan tidak menyalahi kaidah hukum maupun etika Islam. Umat juga harus dibiasakan bahwa ulama yang diundang ceramah adalah ulama yang berilmu karena kita ingin mendapatkan ilmu dan barokahnya. Para mubaligh pun harus menempa diri meningkatkan keilmuan dan otoritasnya agar yang ingin didengar darinya oleh jamaah adalah ilmu dan keteladanannya, bukan humor-humornya.

Mengumpulkan massa yang besar untuk mendengarkan ceramah agama memang tidak semudah mengumpulkan massa kampanye atau pertunjukan dangdutan. Maka, ketika mereka sudah hadir ingin mendengarkan ceramah, siramilah mereka dengan ilmu dan keberkahan.

Semoga Allah mengampuni dosa kita semua dan membukakan hati kita untuk menerima ilmu dan keteladanan dari para ulama.

Penulis:

DR Budi Handrianto ( Dosen Pasca Sarjana UIKA Bogor )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *