PRISTAC: MODEL IDEAL PENDIDIKAN TINGKAT SMA

by

(Wawancara dengan Dr. Adian Husaini)

Tiga tahun lalu, di bulan Desember 2016, bersama Dr. Alwi Alatas, Dr. Muhammad Ardiansyah, dan lain-lain, Dr. Adian Husaini meluncurkan program pendidikan tingkat SMA bernama PRISTAC (Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization).

PRISTAC berada di bawah naungan Pesantren at-Taqwa Depok, dimana Dr. Adian menjadi pembinanya. Setelah tiga tahun berjalan, bagaimana perkembangan PRISTAC saat ini?

Berikut ini wawancara wartapilihan.com dengan Dr. Adian Husaini, yang juga Ketua Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor.

Warpil: Setelah tiga tahun, bagaimana perkembangan PRISTAC saat ini?

Adian:  Alhamdulillah, kami makin yakin, bahwa program ini merupakan program pendidikan yang tepat untuk santri tingkat SMA,  dari jalur non-formal. Ujian kelulusan menggunakan paket C. Standar Kompetensi Lulusan secara prinsip mengacu kepada konsep pendidikan Islam, yang kebetulan juga sejalan dengan Permendikbud No 20 tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL).

Warpil: Bisa dijelaskan, seperti apa tepatnya?

Adian: Prinsip dasarnya, usia SMA (15-18 tahun) adalah usia dewasa. Mereka bukan anak-anak lagi. Sehingga konsep pendidikannya adalah konsep pendidikan untuk orang dewasa. Di PRISTAC para santri kita latih untuk menjadi manusia yang mandiri; mandiri dalam pemikiran, mandiri dalam sikap, dan mandiri dalam kehidupan. Jadi, PRISTAC bukan sekedar pendidikan semacam pra-universitas. Para santri sudah dididik seperti mahasiswa: belajar mandiri, membaca buku, membuat  resensi, menulis makalah, memberikan presentasi, mengajar, menghadiri diskusi dan seminar-seminar ilmiah, membuat produk-produk tertentu untuk dijual, dan sebagainya.

Warpil: Apa itu tidak terlalu cepat?

Adian: Tidak! Saya sudah menelaah proses pendidikan di masa lalu, sejak masa Nabi Muhammad saw, sampai di Indonesia sekitar tahun 1960-an. Bahkan, SMA di masa Belanda (AMS), sudah melakukan pendidikan seperti itu. Di pesantren-pesantren dikenal pendidikan Mu’allimin, biasanya setingkat SMP-SMA.  Para santri tingkat Mu’allimin dulu dididik sebagai orang dewasa yang disiapkan untuk mandiri, menjadi guru (mu’allim).  Ki Hajar Dewantara membuat jenjang pendidikan ‘Taman Dewasa’, yang berkisar pada umur 14-16 tahun. Riset empiris juga menunjukkan, otak wanita rata-rata dewasa pada umur 12-14 tahun. Sedangkan otak laki-laki dewasa pada umur 14-16 tahun. Di masa Nabi saw, batas orang boleh ikut perang adalah 15 tahun. Itu batas umur antara anak dan dewasa. Jadi, jangan sampai lulus pendidikan tingkat SMA, santri atau siswa masih bersifat kekanak-kanakan, meskipun diberi istilah baru yang bernama “remaja”.

Warpil: Sekarang banyak anak-anak lulus S-1 pun tampak belum dewasa? Bagaimana cara ‘mendewasakan’ para peserta didik?

 Adian: Di sinilah pentingnya model pembelajaran, disamping memperhatikan tingkatan umur. Para santri atau siswa tingkat SD-SMP, harus diarahkan menjadi orang dewasa. Sedangkan pada usia SMA diarahkan menjadi orang yang mandiri. Mereka harus diajar untuk mengenal dirinya, Tuhannya, mengenal hakikat kehidupan dunia, dan mengenal hakikat kehidupan akhirat.

Kalau di PRISTAC, ini masuk  pelajaran Islamic worldview. Para santri harus mempelajari kitab-kitab adab, seperti Ta’limul Muta’allim,  Adabul Alim wal-Muta’allim, Gurindam 12, karya Raja Ali Haji. Model pembelajaran para santri bukan hanya melatih mereka terampil menjawab soal-soal ujian, tetapi mereka dilatih menjawab soal-soal kehidupan dan peduli dengan problematika masyarakat, bangsa, dan dunia internasional.

Warpil: Apa keistimewaan lain dari PRISTAC?

Adian: Awalnya, pimpinan PRISTAC ini adalah Dr. Alwi Alatas, seorang doktor sejarah lulusan International Islamic University Malaysia. Beliau dulu tinggal bersama para santri PRISTAC di pesantren, sehingga kami punya kesempatan luas untuk berinteraksi. Sekarang beliau bertugas menjadi dosen di Universitas Islam Internasional Malaysia (IIUM).

Sekarang, ditektur PRISTAC adalah Dr. Muhammad Ardiansyah, yang juga mudir Pesantren at-Taqwa. Beliau tinggal di pesantren juga.  Sekarang ada juga Dr. Suidat, sekjen pesantren at-Taqwa.

Saya juga tinggal di pesantren dan mengajar ‘Islamic Worldview’ untuk para santri PRISTAC.  Sejumlah ilmuwan muslim pernah mengajar para santri PRISTAC, seperti Dr. Henri Shalahuddin, dan sebagainya. Prof. Wan Mohammad Nor dari Malaysia sudah dua kali datang dan berdialog dengan santri PRISTAC.

Warpil: Apa santri-santri PRISTAC juga belajar mata pelajaran SMA, seperti matematika, Biologi, Fisika, Kimia, dan sebagainya?

 Adian: Mereka akan belajar juga. Namun, pada tahap awal – sesuai dengan konsep pendidikan berbasis adab – yang kita tanamkan adalah adab. Artinya, mereka harus memahami pemikiran mendasar sebagai manusia dan pelajar yang sedang menuntut ilmu. Sikap dan perilaku yang betul itu yang pertama kali harus tertanam. Mereka harus tahu bagaimana hormat pada guru, cinta ilmu, cinta kebersihan, cinta ibadah, cinta dakwah, tidak malas, dan sebagainya. Jika sikap dan perilaku yang betul itu sudah terbentuk, insyaAllah, mereka akan mengejar ilmu-ilmu yang diperlukan, baik untuk bekal kemandirian mereka hidup di tengah masyarakat, atau untuk bekal mereka melanjutkan ke Perguruan Tinggi.

Warpil: Apa model pendidikan seperti PRISTAC itu sesuai dengan sistem pendidikan di Indonesia?

Adian: Sangat sesuai. Ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat (c), UU Sisdiknas No 20/2003, dan juga Permendikbud No 20 tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Bahwa, intinya, pendidikan kita harus membentuk lulusan yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia. Kita mengambil sistem non-formal, yang diakui oleh Undang-undang Sisdiknas.

Dalam Permendikbud No 20 tahun 2016 memberikan kriteria kelulusan pada tiga aspek, yaitu sikap, pemikiran, dan ketrampilan. Menurut saya, model pendidikan pesantren sangat tepat untuk mewujudkan target-target kompetensi lulusan. Yang terpenting dalam hal ini adalah kualitas dan keteladanan guru. Sebab, di pesantren, ada interaksi guru dan santri selama 24 jam. Santri bisa melihat langsung kehidupan guru mereka. Belajar ilmu dan adab.

Warpil: Lalu, apa bedanya PRISTAC dengan pesantren-pesantren tingkat SMA atau dengan sekolah Islam berasrama (Islamic Boarding School) lainnya?

Adian: Di PRISTAC kurikulum kami rancang sangat dinamis, mengikuti konsep keilmuan dalam Islam, yaitu mengajarkan ilmu-ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah secara proporsional.  Kurikulum inti adalah adab dan ilmu-ilmu fardhu ain. Penguasaan ilmu-ilmu fardhu kifayah dilakukan secara proporsional berdasarkan potensi intelektual santri dan keperluan masyarakat. Proses pembelajaran bisa berubah, jika target-target kompetensi tertentu belum tercapai.

Warpil: Apa di PRISTAC juga ada proram Tahfidz al-Quran?

Adian: Ada, tetapi tidak kami jadikan yang utama. Sebab, yang utama adalah adab, yakni sikap dan pola pikir mereka yang benar sebagai seorang muslim. Ini sangat berat.  Kami dorong santri menghafal, sesuai kemampuan. Ada yang hafal 10 juz, ada yang 3 juz.  Bahkan, untuk santri tertentu, kami dorong lulus PRISTAC, mereka bisa hafal 30 juz. Yang kami tekankan, adalah adab mereka kepada al-Quran. Kalau mereka sudah paham dan cinta al-Quran, insyaAllah, dalam waktu satu tahun, mereka bisa secara khusus mengambil program Tahfidz, sampai hafal 30 juz. Kami sudah teliti masalah ini.  Jadi, jangan sampai Tahfidz al-Quran menjadi beban mereka, atau mereka banyak hafal ayat-ayat al-Quran tetapi sikap dan perilakunya tidak sesuai dengan al-Quran.

Warpil: Kalau begitu, PRISTAC ini hanya untuk anak-anak pintar?

Adian: Konsep pendidikan yang ideal adalah yang berupaya mengembangkan manusia sesuai dengan potensinya. Di PRISTAC, para santri diberikan beban kurikulum sesuai dengan potensi intelektual dan minat mereka. Tetapi, intinya, yang fardhu ain,  materinya sama: misalnya, shalatnya harus baik, akhlaknya mulia, bacaan al-Quran-nya benar, komunikasi lisan dan tulisan, dan sebagainya. Setiap anak diberikan potensi yang berbeda oleh Allah SWT. Maka, yang pintar diarahkan menjadi ilmuwan bidang tertentu, sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Bukan berdasarkan pada angan-angan meraih keuntungan kekayaan. Ini sesuai dengan prinsip fardhu kifayah dalam Islam.

Maksudnya ‘prinsip fardhu kifayah’ itu bagaimana?

Adian: Misalnya, saat ini anak-anak pintar di SMA, biasanya akan memilih program studi kuliah yang dianggap ‘keren’, seperti Kedokteran, Akuntansi, dan sebagainya. Jarang sekali anak-anak pintar memilih bidang bahasa, budaya, perbandingan agama, pendidikan sejarah, pendidikan agama, pendidikan Kewargaan Negara, dan sebagainya. Semua itu biasanya dianggap bukan jurusan favorit, karena dianggap kurang menjanjikan masa depan. Padahal, secara kifayah (kecukupan), jumlah yang mau jadi dokter sudah sangat berjubel. Sementara kita masih sangat kekurangan ilmuwan setingkat Doktor dalam bidang sejarah, bahasa, Islam dan budaya, perbandingan agama, dan sebagainya. Jadi, sementara ini, kami mengarahkan, agar para santri yang pintar-pintar di PRISTAC, mereka mendalami ilmu tertentu yang diperlukan oleh masyarakat. Pada taraf ini, kami berusaha menanamkan rasa cinta ilmu. InsyaAllah, mereka nanti akan siap mandalami ilmu apa saja, karena ‘adab ilmu’ sudah tertanam.

Warpil: Kira-kira, lulusan PRISTAC itu nantinya akan diarahkan kuliah dimana?

Adian: Alhamdulillah, sejak 17 Agustus 2019, di Pesantren Attaqwa sudah kami dirikan Attaqwa College (ATCO), sehingga penguasaan ilmu dan adab di PRISTAC akan lebih dimatangkan lagi di ATCO. Program ATCO ini ada delapan semester, tetapi berbasis kepada lima standar kompetensi lulusan: Adab/akhlak mulia, pemikiran Islam, bahasa Arab dan Inggris, Teknologi Informasi, dan komunikasi lisan dan tulisan.

Alhamdulillah, dari 10 santri lulusan PRISTAC angkatan I, ada 7 orang yang melanjutkan kuliah di ATCO. Dari ATCO mereka bisa mendalami keilmuan lagi di kampus lain, atau terjun ke tengah masyarakat. InsyaAllah mereka sudah lebih siap lagi. Atau, bisa juga melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi formal. Selemah-lemahnya intelektual santri PRISTAC, kita berusaha mendidik mereka agar menjadi orang yang bermanfaat. InsyaAllah, mereka sudah bisa memimpin shalat, mengajar mengaji, mengajar silat, berwirausaha, dan sebagainya.

Warpil: Mengapa santri-santri PRISTAC tidak ditekankan sejak awal untuk mendalami turats Islam dan menghafal al-Quran 30, seperti di berbagai pesantren?

Adian: Kami memandang, tantangan atau ujian iman terberat saat ini adalah menghadapi hegemoni pemikiran-pemikiran yang destruktif terhadap aqidah dan akhlak. Maka disamping memahami dan memeluk aqidah Islam dengan baik, para santri juga harus memahami paham-paham kontemporer yang bisa merusak iman, seperti paham liberalisme, sekulerisme, pluralism agama, dan sebagainya. Jangan dianggap remeh usaha untuk menyelamatkan iman di zaman seperti sekarang. Itulah yang harus menjadi prioritas. Jangan sampai terjebak dalam paham yang merusak iman. Sebab, jika iman rusak, maka amal menjadi sia-sia, tiada berniai.

Warpil: Apa anda optimis akan masa depan PRISTAC?

Adian: Kami optimis. Sebab, secara konseptual, PRISTAC menerapkan konsep yang digagas oleh ilmuwan besar, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, tokoh pelopor Islamisasi ilmu dan ta’dib. Beliaulah yang pertama kali menyampaikan bahwa akar masalah umat Islam adalah “loss of adab”.

Dan memang, sepanjang sejarah Islam, sudah ada konsep baku pendidikan Islam, seperti yang dirumuskan oleh Umar bin Khathab r.a.: Taaddabuu tsumma ta’allamuu! (Beradablah kalian, kemudian berilmulah). Konsep ini telah melahirkan sejumlah generasi gemilang dalam sejarah.

Warpil: Apa buktinya, PRISTAC ini merupakan model ideal pendidikan tingkat SMA?

Adian: Sebagai muslim, kita diperintahkan menjadi yang terbaik. Alhamdulillah, pada Juli 2019, PRISTAC sudah meluluskan angkatan pertama sebanyak 10 orang. Dari 10 orang itu, ada empat orang yang pernah mempresnetasikan makalah mereka di kampus IIUM Malaysia dan International Islamic High School Jakarta. Satu orang (Fatih Madini) menulis buku berjudul: Mewujudkan Insan dan Peradaban Mulia.

Dari PRISTAC Angkatan II juga ada 8 orang yang presentasi makalah mereka di Malaysia. Yang lain masing-masing memiliki keunggulan, sesuai dengan potensi mereka.

Jadi, PRISTAC ini secara konsep, insyaAllah sangat sesuai dengan konsep ideal pendidikan Islam untuk orang yang sudah dewasa (akil-baligh), dan secara empiris sudah terbukti hasilnya.

Tentu ada sejumlah kekurangan yang terus kami evaluasi dan kami perbaiki. Misalnya, kemampuan bahasa Inggris. Mulai angkatan III, kami semakin intensifkan, atas saran dari Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, saat beliau berkunjung ke PRISTAC bulan Agustus 2019. (***7-12-2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *