Era industri 4.0 diiringi dengan kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Kemajuan TIK tidak menutup peluang untuk mempengaruhi jalannya demokrasi yang seharusnya menjadi wadah kepada masyarakat untuk dapat berpartisipasi aktif dalam kepemerintahan. Akan tetapi, pemblokiran media sosial yang dilakukan pemerintah pada tanggal 22 Mei 2019 menimbulkan kontradiksi dengan arti demokrasi yang memberikan kebebasan untuk berpendapat, termasuk melalui penggunaan media sosial.
![](https://wartapilihan.com/wp-content/uploads/2019/12/abi.jpg)
Daffa Abyan, Nabila Adristi, Nadine Nariendra, Reza Nabila (Mahasiswa Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Administrasi, Jurusan Ilmu Administrasi Fiskal)
Indonesia merupakan negara yang menganut prinsip demokrasi, dimana rakyat adalah pemegang kekuasaan utama atas kehendak negara. Dalam melaksanakan prinsip demokrasi tersebut, diwujudkan pada pemisahan kekuasaan terhadap 3 (tiga) sistem utama yang disebut sebagai Trias Politica Menurut Montesquieu, yaitu Kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang dibentuk berdasarkan pilihan masyarakat dan diamanahkan menjadi perwakilan atas suara rakyat dalam menentukan kebijakan yang akan diterapkan oleh seluruh masyarakat pada negara tersebut. Salah satu bentuk demokrasi pada penerapan sistem Trias Politica di Indonesia adalah Pemilihan Umum atau disingkat sebagai Pemilu. Pemilu merupakan wadah masyarakat untuk memilih pimpinan yang dijadikan sebagai wakil rakyat dan duduk pada jabatan struktural negara. Pemilu dilaksanakan sesuai dengan periode tertentu, dimana Indonesia menganut 5 (lima) tahun masa periode jabatan pemerintahan.
Pelaksanaan Pemilu di Indonesia berasaskan pada konsep “Luber Jurdil” yaitu langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil dengan menggunakan sistem paper vote. Penggunaan sistem paper vote bukan semata-mata menandakan bahwa Indonesia tidak menggunakan program Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam penerapan demokrasi, melainkan sistem e-voting yang belum memungkinkan untuk diterapkan pada seluruh kawasan Indonesia. Salah satu kendala yang dihadapi apabila penerapan e-voting direalisasikan adalah jaringan internet yang belum cukup meluas dan masuk pada pelosok pedesaan di Indonesia. Tidak hanya itu, tingkat melek teknologi pada masyarakat Indonesia yang masih rendah pun menjadi tantangan yang cukup besar bagi pemerintah atas pertimbangan menggunakan sistem e-voting. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk dilaksanakannya sistem tersebut, dikarenakan beberapa daerah di Indonesia telah melaksanakan e-voting pada pemilihan kepala desa (Pilkades) seperti di daerah Pemalang (2018), Bogor (2017), Batanghari (2018), Sidoarjo (2018), dan Semarang (2009).
Secara umum, penggunaan teknologi tidak hanya sebatas pada proses pemilihan, melainkan juga digunakan pada tahap kampanye bagi calon pemimpin. Kampanye dilaksanakan dalam rangka menghimbau dan mengajak masyarakat untuk memilih calon kandidat yang akan menduduki jabatan pemerintahan. Media sosial, menjadi salah satu wadah yang digunakan untuk berkampanye. Indonesia dalam menyikapi persoalan mengenai kampanye dalam jaringan media sosial tidak dibatasi sebab belum tersedianya regulasi ketat dan rinci mengenai hal tersebut sampai pada akhirnya diterbitkan UU ITE menjelang pemilu 2019. Kebebasan yang tak terhingga pada akses media sosial menimbulkan faktor kekhawatiran pada pihak yang terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informasi, KPU, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Antisipasi atas kekhawatiran pada terlalu bebasnya proses kampanye dalam media sosial dan dampak kericuhan yang ditimbulkan berupa pembatasan kepemilikan akun media sosial dalam 1 (satu) platform media sosial diperbolehkan membuat 10 (sepuluh) akun untuk berkampanye bebas dan bertanggung jawab yang harus dilaporkan dan melakukan tindakan verifikasi pada pihak KPU. Hal ini merupakan bentuk pengawasan yang dilakukan agar tidak terjadi kegaduhan pada media sosial terkait pelanggaran saat pemilu.
Kenyataannya, pemilu pada April 2019 dalam pemilihan calon Presiden Indonesia yang melibatkan 2 (dua) kandidat, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto menyebabkan kericuhan, tidak hanya secara fisik melainkan juga non fisik yang tertera pada media sosial. Berita palsu atau hoax tersebar pada seluruh platform mengenai masing-masing pihak yang dilontarkan oleh pendukung kandidat calon Presiden. Kericuhan tersebut semakin melonjak pada saat proses perhitungan secara Quick Count mulai disiarkan dan diinformasikan oleh lembaga terkait. Kedua belah pihak pendukung seakan tidak ingin merasakan kekalahan sehingga menimbulkan iklim yang sensitif terkait berita perpolitikan. Akibatnya, Kementerian Komunikasi dan Informasi mengambil kebijakan sepihak untuk menutup sebagian akses media sosial yang menyebarkan terlalu banyak berita hoax dan memblokir 2.184 akun media sosial dan situs website terkait kerusuhan yang terjadi pula pada 22 Mei 2019. Penutupan akses media sosial ini berlangsung selama 3 (tiga) hari berturut-turut hingga 25 Mei 2019 yang menyebabkan masyarakat sulit untuk melakukan komunikasi dan interaksi serta mencari informasi atas berita terkini. Meskipun, dari pihak Kominfo mengatakan berita ini adalah berita hoax, tetapi pada kenyataannya benar terjadi pemblokiran sehingga masyarakat harus menggunakan VPN untuk mengakses beberapa media sosial. Hal ini memunculkan kecurigaan mengenai dalang dari pemblokiran ini, apakah memang terjadi server down pada beberapa media sosial tersebut atau memang pemerintah secara sepihak memblokir aksesnya untuk sementara waktu.
Kebijakan pembatasan akses media sosial menimbulkan kontroversial dari berbagai pihak. Pembatasan tersebut dianggap membatasi jalur untuk mengemukakan pendapat dan mengakses keterbukaan informasi terkait permasalahan yang sedang berlangsung saat itu, yakni jalannya kegiatan pemilu. Beberapa pihak berpendapat bahwa kebijakan tersebut hanya merugikan masyarakat. Hal ini dikarenakan media sosial yang digunakan oleh masing-masing individu memiliki tujuan yang berbeda, tidak hanya berkaitan dengan pemilu. Keterkaitannya dengan proses demokrasi, pembatasan dengan cara memblokir sebagian media sosial untuk diakses secara publik bagi masyarakat tidak mencerminkan pelaksanaan demokrasi secara utuh. Demokrasi yang seharusnya dapat menjamin seluruh hak asasi manusia termasuk mengemukakan pendapat pada berbagai jaringan terutama media sosial, kenyataannya dibatasi dan menyulitkan masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyangkut pada media sosial.
Berbeda dengan pelaksanaan demokrasi di Norwegia, Eropa. Berdasarkan Indeks Demokrasi Dunia Tahun 2017, Norwegia merupakan negara yang menduduki peringkat pertama sebagai negara yang secara penuh menerapkan prinsip demokrasi. Tidak seperti Indonesia, Norwegia sampai pada pemilu 2019 kemarin belum memiliki peraturan mengenai regulasi berita kampanye dan pembatasan media elektronik sebagai promosi kampanye. Nyatanya, partisipasi masyarakat dalam berpolitik masih sangat tinggi dan hal ini didukung dengan adanya pandangan masyarakat yang memiliki pandangan baik dalam politik. Berada dalam keadaan sebaliknya, masyarakat Indonesia memandang bahwa politik adalah “zona kotor” dimana masyarakat yang tidak memiliki resources hanya akan terbawa arus pemain elit politik saja. Ironisnya, pemerintah Indonesia bukan melihat ke arah bagaimana perbaikan dari budaya perpolitikan, tetapi justru melihat bagaimana keperluan perpolitikan di dalam media sosial diatur lebih dalam. Dapat dikatakan, pemerintah Indonesia hanya mengatur lapisan terluar atau yang benar-benar terlihat, tetapi belum adanya regulasi yang mengatur politik secara laten ini.
Melihat lebih dalam, tingkat partisipasi dalam pemilu tahun 2019 di Norwegia masih tinggi, padahal pemerintahannya tidak mengatur secara spesifik mengenai promosi kampanye secara dalam jaringan. Terlebih lagi terdapatnya pengelompokkan partai-partai berdasarkan ideologi ataupun agama juga sangat banyak. Terhitung dalam tahun 2019, terdapat empat belas partai yang masih berkontribusi sebesar 59.619.353 juta jiwa dalam berkontribusi kampanye. Dari angka tersebut, menandakan tingginya partisipasi masyarakat dalam kontribusi kampanye politik, seperti pada tabel berikut ini:
![](https://wartapilihan.com/wp-content/uploads/2019/12/tabel1.jpg)
![](https://wartapilihan.com/wp-content/uploads/2019/12/tabel2.jpg)
Meskipun growth dari adanya pemilu ini berkurang sebesar -8.3 persen, tetapi secara jumlah masih meningkat. Pada tahun 2015 partisipasi penduduk Norwegia sebesar 2.374.247. Rupanya, angka tingginya kontribusi partai, yang juga bagian dari masyarakat, mempengaruhi peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pemilu. Pada tahun 2019, sebanyak 2.670.687 penduduk masuk ke dalam penghitungan suara, meningkat sebesar 296.440 dari tahun 2015. Berdasarkan data dari worldometers.info jumlah penduduk yang terdaftar pada tahun 2019 sebesar 5.396.554, itupun belum dikurangi usia yang belum dapat memilih pemilu.
![](https://wartapilihan.com/wp-content/uploads/2019/12/tabel3.jpg)
Berdasarkan tabel usia diatas 15 tahun yang kemungkinan dapat berpartisipasi dalam pemilu sebesar 4.467.013 jiwa. Hal ini berarti sebesar 59,78%, penduduk sudah menggunakan hak suaranya. Menurut KPU dari jumlah suara yang masuk pada pemilu Indonesia tahun 2019 adalah 158.012.506, dimana sebesar 3.754.905 tidak valid. Berarti sebesar 154.257.601 dari 196.545.636 penduduk Indonesia terdaftar atau sebesar 78,48% sudah menyumbangkan suaranya. Persentase Norwegia memang lebih kecil jika dibandingkan dengan Indonesia, tetapi jika melihat dari index stabilisasi politik norwegia pada tahun 2017 menempati posisi ke 16 dari 195 negara dengan nilai 1.15. Di sisi lain, Indonesia pada index ini berada pada posisi 135 dengan nilai -0.51. Hal ini dapat dikatakan angka melek masyarakat terhadap politik di norwegia jauh lebih baik dibandingkan dengan Indonesia.
Perbedaan persentase ini tidak cukup untuk menyimpulkan bahwa penduduk Indonesia memahami secara mendalam calon kandidat pemilu sebab stabilitas politiknya yang masih negatif. Dilihat dari sisi budaya masyarakat Indonesia pun, dapat dikatakan masyarakat yang melek akan politik ini masih rendah sehingga adanya “penggiringan” opini dalam pencoblosannya. Berbanding terbalik dengan Norwegia yang memang persentase partisipasinya lebih rendah daripada Indonesia, tetapi Norwegia berada di stabilisasi politik positif. Kondisi ini dapat dikatakan wajar, karena masyarakat Norwegia memandang bahwa tidak ada perbedaan antara elit politik dengan masyarakat biasa serta dilihat dari sudut pandang manapun Norwegia menjadi salah satu negara yang berhasil menerapkan demokrasi.
Jadi berdasarkan keadaan Norwegia, yang juga menerapkan demokrasi, seharusnya Indonesia belajar dari negara yang sudah menerapkan nilai-nilai ideologi ini. Terlebih lagi, seringnya kejadian serupa di negara lain mengenai pemblokiran media sosial menimbulkan adanya protes dari pihak media yang pada akhirnya akan menyebabkan kericuhan. Seharusnya Indonesia, belajar dari negara yang gagal menerapkan dan mengikuti keberhasilan untuk menerapkan budaya – budaya yang mungkin di adaptasi di lingkungan negara Indonesia. Sebaiknya juga, Indonesia harus juga mengkaji lebih dalam budaya laten permasalahan politik di kalangan pemangku kepentingan. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih membereskan akar dari seluruh permasalahan politik yang ada, bukan hanya menerapkan tindakan preventif yang hanya menunda kejadian yang tidak terelakkan.