Saudi Persulit Visa Umrah

by

Aturan pengambilan data biometrik sangat memberatkan warga negara Indonesia khususnya kaum muslimin yang akan melaksanakan ibadah Umrah, karena kaum muslimin yang akan melaksanakan Umrah tersebar diseluruh Indonesia dan berasal dari daerah-daerah yang jauh dari kota.

Wartapilihan.com, Jakarta — Pemerintah Arab Saudi (KSA) melalui Dubes KSA di Indonesia menetapkan syarat baru untuk pengurusan visa Umrah yaitu sebelum mengajukan visa wajib diambil data biometrik terlebih dahulu berupa foto dan sidik jari melalui perusahaan yang ditunjuk oleh Dubes yaitu PT. VFS Tasheel Indonesia, bagian dari VFS Global dengan biaya sekitar Rp125.000 eqv USD 8,3 dengan kurs Rp15.000.

“Informasi yang kami dapatkan tahun depan akan menjadi USD 25,” ujar mantan Ketum HIPMI Angkatan 99 Budi Rianto di Jakarta, Ahad (30/9).

Menurut dia, aturan ini sangat memberatkan warga negara Indonesia khususnya kaum muslimin yang akan melaksanakan ibadah Umrah, karena kaum muslimin yang akan melaksanakan Umrah tersebar diseluruh Indonesia dan berasal dari daerah-daerah yang jauh dari kota.

“Dan mereka bukanlah orang-orang kaya atau berpendidikan tinggi apalagi melek teknologi. Lebih dari 60 persen belum pernah ke luar negeri. Bisa dipastikan ke Mekah inilah mungkin perjalanan keluar negeri pertama dan terakhir mereka karena panggilan ibadah. Bisa dibayangkan betapa sulitnya mendatangi kantor VFS Tasheel Indonesia yang hanya ada di beberapa kota,” ujar dia.

Ia menilai, peraturan tersebut ditengarai sarat kepentingan bisnis, karena selama ini pengambilan data biometrik jamaah Umrah dilakukan oleh imigrasi KSA di bandara masuk yaitu di Jedah atau Madinah. Hal ini sudah berjalan baik dan tidak ada keluhan yang berarti.

“Sebagai informasi dapat saya sampaikan jumlah jamaah Umroh Indonesia hampir 1 juta orang data tahun 2017-2018. Artinya, ada peluang bisnis hampir USD 8 juta. Padahal selama ini biaya pengurusan visa dari jamaah Indonesia yang masuk ke Arab Saudi (melalui muasasah, perusahaan swasta yang ditunjuk oleh KSA) mencapai USD 40 juta, yaitu USD 40/Jamaah,” terangnya.

Sebagai informasi, Pemerintah KSA mengkalim visa Umrah gratis, dan tertulis di stiker Visa Free. Hal ini sesuai dengan kesepakatan negara OKI bahwa visa untuk Umroh dan Haji adalah gratis. Tapi prakteknya pemerintah KSA menyerahkan ke pihak swasta.

“Pengambilan data biometrik jamaah seperti ini hanya berlaku di Indonesia. Pertanyaannya apakah ini peraturan resmi pemerintah KSA atau kebijakan KSA semata? Hal ini semakin menguatkan dugaaan ada motif bisnis dibalik semua ini,” ungkap dia.

Lebih lanjut, ia memertanyakan jika aaturan ini ada, apakah pemerintah RI sudah diajak berunding? Setidaknya diberitahu dalam bentuk nota diplomatik atau dokumen lain yang menyatakan soal aturan ini.

“Bukankah kita adalah negara berdaulat. KSA yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia, apalagi sebagai negara sahabat dekat, untuk memberlakukan aturan khusus bagi WNI untuk memasuki KSA tentu harus memberitahukan,” jelasnya.

Menurutnya, jika KSA memberitahukan pemerintah RI, ia merekomendasikan pemerintah menolak pemberlakukan aturan tersebut dengan pertimbangan menyulitkan warga negara yang akan melaksanakan ibadah. “Bukankah tugas pemerintah melindungi masyarakat termasuk mereka yang akan melaksanakn ibadah,” katanya.

Selain itu, ia juga meminta pemerintah KSA meninjau ulang dan mengajak perwakilan KSA untuk berunding dengan Kemenlu dan kementrian teknis dan mengundang para stakeholder.

“Jika sudah terlanjur, saran Budi, pemerintah Indonesia harus enerima dengan catatan, misalnya waktu pelaksanaan tidak serta merta langsung berlaku. Lalu meminta pemerintah KSA menyediakan fasilitas sarana dan prasarana yang cukup untuk memudahkan WNI dalam pengambilan data biometrik dan didahului dengan sosialisasi, dan seterusnya,” saran dia.

Menurut dia, hal ini sangat meresahkan, tetapi pemerintah dan DPR tidak ada yang menyuarakan. Padahal sebelum ini sudah ada aturan yang juga memberatkan yaitu biaya visa progresif sebesar SAR 2.000. “Ini pun pemerintah diam seribu basa. Padahal di negara lain biaya progresif tidak sampai SAR 500,” sesalnya.

Sementara, Komisaris Utama Ar-Rayyan Umroh dan Haji Edy Setiawan menuturkan, organisasi Asosiasi Umroh se-Indonesia akan melakukan demo besar-besaran serentak di 4 kota pada tanggal 3 dan 4 Oktober mendatanguntuk menolak adanya VFS Thaseel. Diantaranya di Jakarta, Makasar, Surabaya, dan Bandung.

Meski pengambilan data biometrik yang akan dilakukan oleh VFS ini adalah syarat untuk mendapatkah visa ke Saudi, dengan biaya antara 7-10 USD saat ini, menurut dia, kondisi geografi Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari pulau-pulau yang sangat banyak akan sangat menyulitkan sekali.

“Jama’ah Umrah itu kan berasal dari pelosok pedesaan sampai kota besar, dari yang sangat kaya sampai yang setengah kaya, jadi dari segi waktu tambahan biaya transport pengurusan dan waktu sangat memembani mereka,” ujar dia.

Adi Prawira

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *