Sang Dermawan Andalan Rasulullah

by
Makam Abu Ayyub al Anshari. Foto : alchetron.com

Wartapilihan.com – Sahabat yang terhormat dan mulia ini dipanggil dengan nama Khalid bin Zaid bin Kulaib. Ia berasal dari Bani an Najar. Adapun nama julukannya Abu Ayyub, dan nisbahnya kepada Anshar. Dan siapakah diantara kita –kaum muslimin- yang tidak mengenal Abu Ayyub al Anshari?

Sungguh Allah Taala mengangkat derajatnya setinggi-tingginya di Timur dan Barat dan paling terhormat kedudukannya di antara seluruh manusia. Yaitu saat Allah SWT memilih rumahnya tanpa melibatkan rumah-rumah kaum Muslimin lainnya sebagai tempat persinggahan Nabi yang mulia saat hijrah ke kota Madinah, dan kejadian itu sudah cukup menjadi kebanggaannya.

Singgahnya Nabi saw di rumah Abu Ayyub menjadi kisah menarik yang pantas untuk dikenang dan diingat. Hal itu terjadi karena Nabi saw saat sampai di kota Madinah disambut dengan gegap gempita oleh penduduknya dan dimuliakan melebihi penghormatan terhadap tamu-tamu yang datang ke Madinah…

Pandangan mata mereka menyeruak diselimuti kerinduan untuk bertemu dengan kekasihnya…

Mereka membuta hati guna diisi dengan siraman keimanan. Mereka pun segera dan bergegas membukakan pintu-pintu rumah mereka untuk disinggahi Nabi saw sehingga menjadi rumah yang terhormat.

Akan tetapi Rasulullah saw menetap selama empat hari di Quba` sebelum memasuki kota Madinah. Di daerah tersebut Nabi saw membangun masjid yang didasarkan pada ketakwaan Allah SWT.

Kemudian beliau meninggalkan Quba` dengan mengendarai ontanya, sedang para pembesar Yatsrib berusaha menghadang Nabi menuju Madinah. Kesemuanya menginginkan agar memperoleh kesempatan dan kehormatan, yaitu rumahnya disinggahi Rasulullah. Mereka saling bergantian menawarkan diri untuk disinggahi, seraya mengatakan : “Tinggallah dan bermalamlah di tempat kami wahai Rasulullah dalam beberapa hari, seluruh kebutuhan dan jaminan keamanan kami penuhi.”

Rasulullah menjawab : “Biarkanlah onta ini berjalan sendiri, karena sesungguhnya ia telah dikendalikan (Allah SWT).”

Dan inta itu tetap saja melanjutkan perjalanannya  hingga sampai pada tempat yang dituju dengan terus diikuti pandangan mata para sahabat dan dirindukan oleh kalbu…

Jika onta itu telah melewati sebuah rumah,, maka pemiliki rumah itu bersedih dan mengalami keputusasaan, sedang keinginan dan harapan terus memancar di setiap jiwa yang rumahnya akan dilalui.

Dan onta itu terus berjalan, dan para sahabat terus mengikuti jalannya onta itu dari belakang. Mereka dengan penuh harap ingin segera mengetahui siapa sesungguhnya yang berbahagia dan kebagian (menjadi tempat persinggahan Nabi saw). Hingga onta itu akhirnya sampai pada areal terbuka di depan rumah Abu Ayyub al Anshari, lalu onta itu beristirahat disitu…

Tetapi Rasulullah saw belum juga turun dari ontanya…

Tidak lama kemudian onta tersebut bangkit dan berjalan, kemudian Rasulullah saw melepaskan tali kekangnya dan onta itu kembali menderum di tempat peristirahatan semula.

Saat itulah  kebahagiaan menyentuh kalbu Abu Ayyub. Ia pun segera menemui Rasulullah serta menyambutnya dengan sambutan yang mengharu biru. Ia kemudian membawa bekal Rasulullah dengan kedua tangannya, seakan ia membawa harta dunia yang berharga menuju rumahnya.

Rumah Abu Ayyub tersusun bertingkat. Pada bagian atasnya, ia kosongkan dari seluruh barang miliknya dan milik keluarganya. Tempat itu dipersiapkan untuk Rasulullah saw..

Tetapi Rasulullah lebih memilih tempat bagian bawah. Abu Ayyub pun melaksanakan perintah beliau dengan mempersilakan Nabi menempati tempat yang beliau senangi.

Tatkala larut malam tiba, Rasulullah beranjak ke peraduannya, sedang Abu Ayyub dan istrinya  menaiki tangga menuju ke tempat bagian atas. Namun keduanya tidak menutup pintunya hingga Abu Ayyub menoleh ke istrinya seraya berkata,”Celaka, apa mesti yang kita lakukan?”

Bukankah Rasulullah berada di bagian bawah sedang kita berada di atas?

Apakah kita akan berjalan di atas Rasulullah?

Apakah kita akan melintas antara Nabi dan wahyu? Kalau begitu kita termasuk orang-orang yang binasa dan celaka.

Kedua sahabat ini bingung, sedih dan bimbang. Keduanya tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Jiwa kedua sahabat ini tidak bisa tenang kecuali jika keduanya memilih tempat bagian atas yang secara tidak langsung berada di atas Rasulullah. Akhirnya keduanya sepakat tidak meninggalkan tempat kecuali berjalan dengan merangkak ke bagian pinggir yang menjauh dari bagian tengah.

Keesokan harinya, Abu Ayyub berkata kepada Nabi saw : “Demi Allah kami tidak bisa memejamkan mata kami semalam, begitu juga Ummu Ayyub.” Rasulullah bertanya : “Kenapa bisa terjadi demikian wahai Abu Ayyub?”

Ia menjawab : “Aku sampaikan kepada baginda, bahwa aku berada di bagian atas rumah ini, sedang baginda berada di bagian bawahnya. Dan jika kami bergerak niscaya debu-debu itu berhamburan mengenai baginda dan menganggu baginda, kemudian kami menikmati makanan di antara baginda.”

Kemudian beliau bersabda: “Tenanglah wahai Abu Ayyub. Sesungguhnya posisi di bawah ini lebih nyaman bagiku dikarenakan banyaknya orang yang mengunjungiku dan menyapaku.”

Abu Ayyub berkata : “Aku melaksanakan perintah Rasulullah saw hingga tiba waktu malam yang sangat dingin, tiba-tiba bejana kami yang berisi air bocor dan airnya tumpah di lantai bagian atas. Maka aku bersama Ummu Ayyub bangun menuju air yang tumpah. Namun kami tidak memiliki kain kecuali kain yang kami jadikan selimut. Maka kami keringkan areal yang tersiram air dengan mengelapnya, karena kami khawatir tumpahan air itu sampai ke Rasulullah.”

Maka di pagi harinya aku menemui Rasulullah kembali, seraya berkata : “Demi ayahku dan ibuku sebagai jaminan (untuk keselamatan baginda), sesungguhnya aku enggan untuk tinggal di bagian atas tepat di atas baginda, sedang baginda berada di bawah.” Lalu aku ceritakan peristiwa bocornya bejana semalam, akhirnya beliau mengabulkan permohonanku, kemudian beliau naik ke bagian atas sedangkan aku dan Ummu Ayyub pindah ke bawah.

Rasulullah saw tinggal di rumah Abu Ayyub selama tujuh bulan lamanya. Tepatnya hingga selesai pembangunan masjid di areal tanah kosong yang ditempati menderumnya onta saat pertama kali tiba di Madinah. Kemudian beliau pindah ke kamar-kamar di samping masjid yang memang diperuntukkan beliau dan istri-istrinya. Maka kini beliau menjadi tetangga Abu Ayyub dan beliau adalah semulia-mulia tetangganya.

Abu Ayyub sangat mencintai Rasulullah jauh di lubuk hati kecintaannya. Rasulullah juga mencintai Abi Ayyub dengan kecintaan yang dapat menghilangkan penderitaan Abu Ayyub. Sehingga tatkala Nabi melihat rumah Abu Ayyub seakan-akan rumah itu juga milik beliau.

Ibnu Abbas menceritakan : “Abu Bakar keluar dari rumahnya di waktu terik matahari untuk menuju masjid. Tiba-tiba Umar melihatnya. Makai ia bertanya kepada Abu Bakar : Wahai Abu Bakar apa yang memotivasi dan mendorong anda keluar rumah di terik begini?. Abu Bakar menjawab : Tidak ada yang mendorongku keluar rumah di siang hari yang terik kecuali aku tidak mendapat makanan yang dapat menahan laparku. Maka Umar menimpali : Dan aku, demi Allah tidak ada yang mendorongku keluar rumah kecuali lapar yang sangat.

Saat keduanya bercengkerama, tiba-tiba Rasulullah datang dan berkata : “Apa yang menyebabkan kalian berdua keluar rumah di tengah terik matahari seperti ini?”

Keduanya menjawab : “Demi Allah tidak ada yang menyebabkan kami keluar dari rumah kami di siang hari seperti ini, kecuali tidak adanya sesuatu yang dapat menahan perut-perut kami karena sangat laparnya.”

Rasulullah saw berkata : “Dan aku, demi Dzat yang diriku ada di tanganNya-, tidak ada yang mendorongku keluar rumah selain yang kalian sebutkan itu, karenanya marilah berangkat bersamaku.”

Maka mereka bertiga berangkat mendatangi rumah Abu Ayyub al Anshari, karena sudah menjadi kebiasaan Abu Ayyub setiap hari menyimpan makanan untuk Rasulullah saw, jika ia terlambat mengantarkan dan Rasul belum mengambilnya, maka ia antarkan kepada keluarganya.

Ketika sampai di depan rumah Abu Ayyub, ternyata Ummu Ayyub telah keluar dan menyambut mereka, seraya berkata : “Selamat datang wahai Nabiyullah dan siapa saja yang bersamamu.”

Maka Nabi bertanya kepadanya : “Mana Abu Ayyub?”

Lalu Abu Ayyub mendengar suara Nabi saw –saat itu ia sedang bekerja di kebun kurma yang tidak jauh dari rumahnya—segera bergegas menemui beliau, seraya berkata : “Selamat datang wahai Rasulullah dan siapa saja yang bersamanya.” Kemudian ia bertanya : “Wahai Nabiyullah, ini bukan waktu biasanya engkau datang.”

Beliau menjawab : “Engkau benar, wahai Abu Ayyub.”

Maka Abu Ayyub segera berangkat ke kebun kurmanya lalu memotong tangkai berisi kurma ruthab (kurma masih basah) dan kurma yang belum matang sempurna (busr).

Nabi bertanya : “Aku tidak ingin engkau memotong kurma ini, kenapa tidak anda petik saja beberapa butir kurma untuk kami ini?”

Ia menjawab : “Wahai Rasulullah, aku sangat senang baginda menikmati kurmanya, ruthabnya, dan yang belum masak dengan sempurna dan sungguh aku akan sembelihkan untuk baginda sembelihan.”

Beliau menjawab : “Jika engkau menyembelih kambing, maka jangan menyembelih yang sedang menyusui.”

Maka Abu Ayyub menyembelih kambing yang baru berumur satu tahun, kemudian ia berpesan kepada istrinya : “Buatlah adonan dan buatkan roti untuk kami, terlebih engkau sangat mengetahui tentang roti yang terbaik.”

Kemudian ia memotong satu bagian dari kambing tersebut untuk dimasak, sedang satu bagian lainnya dipanggang atau dibakar. Kemudian makanan yang sudah masak itu dihidangkan kepada Nabi dan dua sahabatnya. Rasulullah mengambil sepotong daging dan diletakkannya di potongan roti, lalu beliau berpesan : “Wahai Abu Ayyub, segera antarkan satu bagian ini ke Fatimah, karena ia sudah beberapa hari tidak menikmati makanan.”

Ketika semuanya telah menikmati makanan dengan lahapnya dan telah kenyang, Nabi saw bersabda : “Roti, daging, kurma, kurma yang belum sempurna masaknya dan ruthab.”

Kedua mata beliau mencucurkan air mata seraya berkata,”Demi Dzat yang diriku ada di tanganNya, sesungguhnya nikmat inilah yang kelak kalian dimintai pertanggungjawabannya pada hari kiamat. Jika kalian mendapatkan nikmat seperti ini dan kalian telah nikmati dengan kedua tangan kalian, maka ucapkanlah : “Alhamdulillahil ladzi huwa asyba`ana wa an`ama Alaina fa afdhala (Segala puji bagi yang telah mengenyangkan dan telah mengaruniakan nikmat kepada kami lalu melebihkannya).”…

Sepanjang hidupnya Abu Ayyub hidup sebagai seorang pejuang. Sampai-sampai ia dijuluki bahwa tidak ada satu peperanganpun yang dilakukan kaum Muslimin kecuali Abu Ayyub ikut serta. Sejak masa Rasulullah hingga masa kepemimpinan Muawiyah, kecuali jika ia tersibukkan dengan perkara lainnya.

Peperangan terakhir yang diikuti Abu Ayyub adalah ketika Muawiyah mempersiapkan pasukan di bawah kepemimpinan Yazid guna menaklukkan Konstantinopel. Saat itu usianya telah mendekati 80an. Namun usianya yang lanjut tidak menghalanginya untuk bergabung dalam pasukan perang  di bawah kepemimpinan panglima Yazid dengan mengarungi lautan dalam rangka berjuang di jalan Allah SWT.

Tetapi suatu ketika, beberapa saat menjelang sampai di medan perang, ia mengalami sakit sehingga memaksa Abu Ayyub untuk istirahat  seraya melanjutkan ikut serta di medan perang. Lalu Yazid mengunjunginya dan menanyakan kondisi fisiknya : “Adakah sesuatu yang anda butuhkan wahai Abu Ayyub?”

Ia menjawab : “Sampaikan salamku kepada tentara kaum Muslimin, dan katakana kepada mereka : Abu Ayyub telah mewasiatkan untuk terus maju melanjutkan peperangan di bumi musuh hingga puncak perjuangan, dan tetaplah bawalah aku bersama kalian dan makamlah aku di bawah kaki-kaki kalian tepatnya di sisi pagar benteng Konstantinopel.” Kemudian nafasnya tersengal-sengal.

Tentara kaum Muslimin memenuhi seruan dan keinginan sahabat Rasulullah itu, lalu mereka menyerang dan terus menyerang di tengah-tengah kekuasaan pasukan musuh hingga mereka sampai di pagar benteng Konstantinopel dengan tetap memikul Abu Ayyub.

Di tempat itulah mereka menggali liang lahat dan memakamkan Abu Ayyub.

Semoga Allah SWT mengasihi Abu Ayyub al Anshar. Sungguh ia bercita-cita meninggal dan memperoleh syahid di atas kendaraannya yang bagus dalam rangka berjihad di jalan Allah…Saat itu usianya mendekati 80 tahun. | N

Sumber : Dr Abdurrahman Raf`at Basya (Sirah min Hayaatish Shahabat/Sirah Rasulullah, Pustaka as Sunnah, 2010) |

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *