PEMILU 2024, KITA SEPATUTNYA MAU BELAJAR DARI SEJARAH

by

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            Mendekati Hari Pemungutan Suara, 14 Februari 2024, suasana politik di media sosial terasa kian memanas. Apalagi, di berbagai group WA yang anggotanya menjadi pendukung calon presiden yang berbeda. Sebelum acara debat, selama debat, dan setelah perdebatan antar capres/cawapres, diskusi berlangsung seru.

Sebagai wartawan yang bertahun-tahun menggeluti dunia informasi, saya berusaha menikmati seluruh perdebatan. Biasanya, usai pemilihan, suhu politik juga akan berangsur menjadi sejuk kembali. Tahun ini pun, insyaAllah akan terjadi seperti itu. Bukan tidak mungkin, yang menang Pilpres, akan mengajak para calon pesaingnya untuk bergabung dalam kabinetnya. Bukan tidak mungkin! Itu artinya, mungkin! Kita lihat saja!

Tetapi, yang membuat resah banyak pihak saat ini adalah mekanisme atau proses jalannya Pemilu 2024 ini. Sebagai aktivis mahasiswa dan wartawan politik di masa Orde Baru, saya insyaAllah, sedikit memahami jalannya sejumlah Pemilu di zaman itu.

Ayah saya (alm) seorang guru SDN. Sebagai pegawai negeri, ia tidak berani menyatakan mendukung PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Padahal, saya tahu, sebenarnya ia pendukung PPP. Sebagai siswa SMA dan santri (tahun 1981-1984), saya berkali-kali ikut kegiatan kampanye PPP. Kadang, saya hadir ke kampanye dengan bersepeda, sejauh belasan kilometer dari pondok pesantren. Ayah saya tidak pernah melarang kegiatan saya itu. Ia tahu.

Ketika itu, mendukung PPP serasa sedang berjuang di jalan Allah. Para ulama yang terjun sebagai juru kampanye (Jurkam) PPP, merupakan orator-orator ulung yang membakar semangat umat Islam untuk mencoblos tanda gambar Ka’bah, lambang PPP.

Setelah terjun langsung sebagai wartawan politik, saya mengenal dari dekat, banyak tokoh PPP dan juga sejumlah tokoh partai politik lainnya. Salah satu pengalaman menarik adalah ketika bertugas meliput berita-berita di lingkungan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di zaman Menteri Jenderal (Purn) Rudini. Sebagai Mendagri, Rudini juga menjabat sebagai Pembina Golkar, Pembina Korpri, dan ketua pelaksana Pemilu.

Nah, suatu ketika, kepada beberapa wartawan, Rudini bercerita tentang pengalamannya bagaimana cara memenangkan Golkar. Di sebuah forum pengarahan kepada para pegawai negeri di suatu daerah, ia bisa memberi pengarahan dalam beberapa posisi sekaligus. Sebagai pembina Korpri, sebagai Pembina Golkar, dan juga sebagai penganggung jawab pelaksanaan Pemilu.

Intinya, untuk memenangkan suatu proses pemilihan umum, berbagai cara digunakan. Yang dituju adalah kekuasaan. Dengan cara-cara yang sudah diatur, Golkar selalu menjadi pemenang Pemilu Orde Baru, mulai Pemilu 1971 sampai Pemilu 1997. Kemenangan Golkar secara mayoritas mutlak, memang ditujukan untuk menjaga stabilitas politik nasional, agar tercipta stablitias nasional sebagai prasyarat terlaksananya pembangunan.

Tapi, Orde Baru – dengan dukungan mayoritas suara di Parlemen – ternyata tidak mampu bertahan lama. Hanya sekitar 30 tahun saja, Orde Baru bertahan. Setelah itu, muncullah Orde Reformasi. Orde ini diwarnai dengan euforia demokrasi dan tuntuta kebebasan yang lebih besar lagi. Tapi, kepuasan dan harapan terhadap Orde Reformasi pun tak bertahan lama. Hanya sekitar 25 tahun.

Seharusnya, belajar dari Pemilu 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 2004, 2009, 2014, dan 2019, kita bisa belajar dari sejarah. Yang harus belajar bukan hanya para kandidat presiden atau kandidat anggota legislatif! Tetapi, kita semua, masyarakat pun patut belajar dari sejarah. Tujuannya agar semakin memahami hajatan politik bernama Pemilu. Apa pun namanya. Apakah namanya Pilpres, Pileg, atau Pilkada.

Sebagai rakyat dan khususnya sebagai bagian dari umat Islam Indonesia, menghadapi Pemilu 2024 ini, kita perlu tenang dan tetap berpikir jernih untuk menentukan sikap dan pilihan. Sebagai muslim, kita patut menggunakan hak pilih untuk memilih para calon pemimpin yang terbaik atau yang paling kecil kemudharatannya. Lalu, berjuanglah untuk mewujudkan harapan mulia itu, agar bernilai ibadah.

Tapi, sekedar saran, tidak perlu TERLALU fanatik dalam mendukung seseorang. Apalagi sampai melakukan hal-hal yang tidak benar dalam mendukung atau tidak mendukung para calon pemimpin. Kewajiban kita sebatas memilih yang terbaik dan memperjuangkannya, dengan sebaik-baiknya dan sebijak-bijaknya. Pilih berdasarkan ilmunya, akhlaknya, kemampuan memimpinnya, dan juga konsep-konsep pembangunan yang ditawarkannya.

Fanatisme buta bisa berujung kepada kekecewaan. Karena itu, pilihlah berdasarkan ilmu, dengan musyawarah, dan meminta petunjuk Allah. Jangan sampai pada satu Pemilu mendukung seseorang dengan begitu fanatik luar biasa, dan pemilu berikutnya mencaci-makinya dengan segala daya dan upaya, termasuk menyebarkan berita bohong. Padahal, orangnya ya itu-itu juga.

Kita semua – rakyat jelata dan para calon penguasa – sudilah belajar dari sejarah. Kekuasaan itu amanah yang berat. Kekuasaan tidak bertahan lama. Sepuluh tahun itu sangat singkat! Tidak ada presiden yang selama menjabat gembira selamana, tak pernah sedih dan berduka! Tidak ada presiden yang senyum terus-menerus setiap hari!

Dan, setelah naik ke panggung kekuasaan, suatu ketika pasti harus turun. Tinggal pilih: turun dengan terhormat atau tidak terhormat! Wallahu A’lam bish-shawab.