Wartapilihan.com, Jakarta – Tina dan Jasmita duduk di teras Masjid Jami Nurul Falah, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (7/3) siang. Di depan keduanya terdapat boks berbahan plastik setinggi betis orang dewasa. Dalam boks tersebut berbungkus-bungkus nasi, dengan kertas minyak sebagai pembungkusnya dan karet gelang sebagai perekatnya, tersusun dengan rapi. Di bagian atas boks yang ditutup, keduanya menjajakan beberapa bungkusan lain. Tidak lama kemudian, dua orang remaja menghampirinya. “Silakan ambil mas, ini isinya ikan,” kata Jasmita, sambil menerangkan isi lauk di balik pembungkus itu. Hal yang sama terus berulang, seiring dengan kedatangan para peserta Aksi Kawal Sidang Ahok ke-13 yang hendak shalat dan rehat di masjid itu.
Di samping Tina, dua plastik besar teronggok. Plastik itu juga berisi bungkusan nasi, dengan logo sebuah restoran padang. Bau rendang menguar dari sana.
Sukarela
Salah satu tradisi yang membekas selepas Aksi Bela Islam adalah penyediaan makanan dan minuman cuma-cuma. Di Aksi Bela Islam Jilid 2, 4 November 2016 lalu yang lebih dikenal dengan “411”, para penyumbang makanan dan minuman mendirikan posko di beberapa titik. Seperti peserta lain, mereka berlatar belakang organisasi, jama’ah, dan pondok pesantren yang beragam. Massa berjuta-juta, yang menyelenggarakan unjuk rasa selama beberapa jam di tengah kota, jelas membutuhkan asupan tenaga. Di posko-posko itu tersedia kudapan, roti, nasi bungkus, buah-buahan, atau minuman kemasan.
Salah satu organisasi yang masih terus memasok bahan makanan untuk peserta aksi-aksi kawal sidang Ahok, sebagai turunan dari Aksi Bela Islam, yakni Forum Silaturahim Antar Pengajian (FORSAP). Tina dan Jasmita adalah bagian dari organisasi itu. “Kita melakukan koordinasi melalui grup WhatsApp setiap pekan, termasuk donatur,” kata Tina kepada Warta Pilihan. Untuk siang tadi, sambungnya, mereka menyediakan 200 nasi bungkus. “Saya berangkat shubuh dari rumah saya di BSD (Bumi Serpong Damai, Tangerang-red), mengajak siapa saja teman yang mau ikut,” ucapnya. Makanan dipesannya melalui telepon ke beberapa pemilik rumah makan yang dikenal. “Biasanya kalau sudah sampai sini, ada teman yang menambahkan. Seperti tadi, ada yang menambahkan 150 bungkus lagi,” terang dia.
Mereka memiliki dana kas yang terkumpul di rekening pribadi salah seorang anggota. “Kita sudah saling mengenal. Ada yang berangkat dari organisasi yang sama, ada pula yang berkenalan ketika aksi,” kata Jasmita. Ibu asal Tanjung Priok, Jakarta Utara ini menceritakan, pasokan makanan akan lebih banyak ketika terselenggara aksi besar, seperti aksi massa di depan Gedung DPR/MPR, 21 Februari lalu, yang dikenal dengan “Aksi 212 jilid 2”. “Ada seorang teman dari Bekasi yang cuma mau disebut Hamba Allah, menyumbangkan 500 bungkus,” tambahnya. Sumber pemasok makanan yang beragam itu membuat menu di balik bungkusan menjadi beragam pula. Kalau tidak habis, mereka membagikan makanan ke orang-orang yang ditemui, sekalipun tidak terlibat aksi. “Mereka berterima kasih dan jadi mendukung perjuangan kami,” tuturnya.
Wakil ketua umum FORSAP, Euis Feti Fatayati, mengatakan, koordinasi lapangan lebih sering berdasarkan spontanitas ibu-ibu. “Ada posko pusat, yakni di sini, dan ada posko lain di beberapa tempat,” ucapnya sambil menunjuk arah mobil komando. Jarak antara Masjid Nurul Falah dan pusat aksi, di mana mobil komando berparkir dan digunakan oleh para orator, sekira 200 meter. Selain hanya menerima pasokan dari orang-orang yang sudah dikenal, Euis juga memeriksa kembali semua makanan. “Kami mencium aroma makanan-makanan itu terlebih dahulu, takut ada yang basi,” kata dia.
Seduh Sesuai Selera
Beberapa jengkal dari posko makanan FORSAP, sekumpulan ibu-ibu lain sedang dalam kesibukan yang lain pula. Mereka dikelilingi pendemo. Di dekat mereka terdapat beberapa dispenser, gelas plastik, dan minuman bubuk siap seduh beraneka rasa dan jenis, terutama kopi. Mereka menamakan diri GERILYA, atau Gabungan Relawan Ibu-ibu Lenteng Agung. “Kami melihat mujahid dan mujahidah sudah seharian menggelar aksi, maka kami berinisiatif menyediakan kopi,” tutur salah satu anggota GERILYA, Hilda Safitri. Ia menceritakan, GERILYA pada awalnya menyediakan trash bag atau plastik sampah besar di aksi 411, lalu bertambah dengan penyediaan minuman. “Saat 212, kami menyediakan 13 galon air dan 100 pak es batu, untuk minuman dingin,” terang dia. Untuk mengangkut semua itu dari Lenteng Agung ke lokasi 212, yakni Monas dan sekitarnya, mereka menyewa Metro Mini. “Baru pada Aksi Kawal Sidang Ahok keempat, yang berlokasi di Ragunan ini, kami menyediakan kopi,” paparnya.
Kopi dan minuman serbuk lain dibeli GERILYA di warung-warung, menggunakan dana dari dompet anggota mereka dan penyumbang lain. Mereka juga sudah mendapat izin dari pihak masjid menggunakan salah satu sudut dekat tempat berwudhu. “Kami mengobrol dengan marbot di masjid ini, dan Alhamdulillah mereka membolehkan kami, termasuk menggunakan fasilitas seperti listrik,” kata Hilda. Hari ini, mereka menyediakan 500 bungkus kopi dan minuman lain. “Ketika Habib Rizieq menjadi saksi di sidang Ahok, pekan lalu, kami menyediakan 1000 sachet,” ungkapnya. Di luar aksi-aksi umat Islam, GERILYA yang beranggotakan ibu-ibu majelis ta’lim di Lenteng Agung itu juga punya program lain. “Kami mencucikan mukena di mushola-mushola umum, seperti di Stasiun Tebet dan SPBU Tanjung Barat., tutur dia. Kegiatan yang akan datang, sambung dia, adalah penyelenggaraan city tour bagi kaum dhuafa, kunjungan ke panti sosial anak, dan donor darah.
Sebelum Warta Pilihan mewawancarai Hilda, tiga orang pendemo mendatangi posko GERILYA untuk memesan tiga jenis minuman berbeda: segelas susu jahe, segelas sereal rasa coklat, dan segelas kopi hitam. Dua orang anggota GERILYA dengan cepat menyeduh dan mengaduk pesanan mereka. Langit yang berubah dengan cepat, dari terik menjadi mendung, di atas langit Jakarta siang itu memang tepat dinikmati bersama minuman hangat.
Reporter : Ismail al Alam