Jurnalisme Islami

by
Ilustrasi wartawan mewawancarai sumber berita. Foto: Tempo/Dhemas Reviyanto

Wartapilihan.com – Sebagai Dien, Islam memberikan petunjuk atau tuntunan kepada manusia dalam menjalani hidup di dunia. Dengan berbekal pada Kitabullah, Al-Quran, dan hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan hanya Islam yang memberi pedoman secara menyeluruh tentang bagaimana menjalani hidup agar keberkahan selalu menyertainya. Dari mengelola rumah tangga sampai mengelola negara, semuanya ada di dalamnya.

Karena itu, kita mengenal sistem pendidikan Islami, sistem ekonomi Islami, sistem pemerintahan Islami, sistem sosial Islami, bahkan sampai pada jurnalisme Islami. Dalam kesempatan ini, kita akan membahas tentang jurnalisme Islami.

Di jagat jurnalistik, ada sistem konvensional dan ada sistem Islami. Bagi mereka yang tidak mengenal sistem Islami secara baik, atau gagal faham atas sistem Islami, tidak akan bisa membedakan antara jurnalisme konvensional dengan jurnalisme Islami.

Hal itu, antara lain, diperlihatkan oleh Andreas Harsono dalam salah satu kumpulan tulisannya yang dihimpun dalam buku “Agama Saya Adalah Jurnalisme” (2014). Dalam salah satu judul “Quo Vadis Jurnalisme Islami”, secara peyoratif, ketika menjawab pertanyaan seorang mahasiswa, ia menulis:

Dear Rudi Agung,
Terima kasih untuk penjelasannya soal berbagai pendapat “pakar nasional” soal apa yang mereka sebut “Jurnalisme Islami.” Singkatnya, saya pikir pendapat orang-orang ini belum cukup kuat. Mereka belum menghasilkan metode baru, yang membuat genre ini bisa dipertahankan secara teoritis. Mereka hanya akan bikin mahasiswa macam Anda bingung. Mereka mengambil kesimpulan dari bacaan-bacaan Barat tersebut dengan campur-aduk antara perspektif Islam, audiens Muslim serta pekerjaan wartawan.

Mari kita lihat argumentasi para “pakar” tersebut!

“… jurnalisme Islam, dapat dimaknai sebagai suatu proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam, serta berbagai pandangan dengan perspektif ajaran Islam kepada khalayaknya. Jurnalisme Islam dapat pula dimaknai sebagai proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal yang sarat dengan muatan dan sosialisasi nilai-nilai Islam dengan mengedepankan dakwah Islamiyah.”

Setelah mengutip pernyataan seorang pakar, Andreas melanjutkan:

Apa bedanya dengan propaganda? Kalau suatu jurnalisme dikaitkan dengan pemahaman lain, entah itu fasisme, komunisme, kapitalisme atau agama apapun, definisi yang lebih tepat, saya kira, adalah propaganda.

Propaganda adalah suatu peliputan, penulisan serta penyajian informasi di mana fakta-fakta itu disajikan, termasuk ditekan dan diperkuat pada bagian tertentu, agar selaras dengan kepentingan ideologi atau kekuasaan yang memanipulasi komunikasi tersebut.

Definisi jurnalisme Islami dibenturkan dengan jurnalisme konvensional, dan Andreas meyakini bahwa apa yang dilakukan oleh jurnalisme Islami itu tidak punya metode, ia hanya mengadopsi metodologi dari Barat.

Islami vs Konvensional

Baiklah, marilah kita memahami apa beda antara jurnalisme konvensional dengan Islami. Dalam acara pendidikan dan pelatihan (diklat) jurnalistik, jamak didoktrinkan bahwa sebagai seorang jurnalis, perlu ditanamkan sikap skeptis dalam mensikapi informasi yang hendak ditulis. Skeptis adalah sikap kritis atas informasi yang diterima, tidak asal menelan atau percaya begitu saja, lalu dituangkan dalam bentuk laporan jurnalistik.

Sikap skeptis menuntut seorang jurnalis melakukan upaya konfirmasi dan klarifikasi kepada pihak-pihak yang terkait dengan berita tersebut. Jika ada berita, asal sudah melakukan konfirmasi dan klarifikasi, apa pun hasilnya, itulah yang dituangkan dalam bentuk laporan sebuah berita.

Dengan metodologi kerja seperti di atas, seorang jurnalis sudah berusaha menghadirkan informasi dengan apa adanya, dan tidak berpihak. Inilah faham jurnalisme yang dianut secara universal di seluruh dunia. Jika kita ketat dengan faham seperti ini, maka produk jurnalistik yang dihasilkan adalah bebas nilai.

Bagaimana dengan Islam? Secara prinsip, Jurnalisme Islami adalah yang mengedepankan proses tabayyun (QS 49: 6), cek dan ricek yang begitu ketat. Berbeda dengan sikap skeptis yang bebas nilai, tabayyun lebih mengedepankan nilai-nilai yang diperjuangkan: kebenaran dan keadilan! Jurnalisme Islami jelas tidak bebas nilai. Ada ruh, ada enerji, dan ada sesuatu yang diperjuangkan, yakni kebenaran dan keadilan, itu.

Jika sikap skeptis hanya menghasilkan informasi yang berimbang, tabayyun membuahkan informasi yang benar. Sikap skeptis hanya sampai pada konfirmasi dan klarifikasi, tabayyun memberi tambahan dengan melakukan verifikasi bukan hanya atas informasi yang sedang digali, tapi juga siapa yang menyampaikannya.

Dalam khasanah ilmiah Islam klasik, proses tabayyun itu dilakukan oleh para perawi hadits. Jika seorang Imam ahli hadits mendengar sebuah hadits, maka sang imam mengeceknya dari sumber-sumber terkait sampai nyambung ke sumber asal, yakni Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.

Bagaimana para perawi hadits mengecek derajat shahih, hasan, dha’if, dan seterusanya. Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang adil dan dhobit (kuat ingatannya). Adapun hadits Hasan adalah hadits yang banyak sumbernya dan di kalangan perawinya tidak ada yang disangka pendusta. Sedangkan hadits dha’if adalah hadits yang tidak bersambung (terputus) sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil, tidak dhobit, dan cacat.

Untuk bisa mendapatkan hadits-hadits dengan status dan tingkatan haditsnya, seorang ahli hadits bisa berjalan berkilo-kilo, beratus bahkan beribu kilo meter hanya untuk mendapatkan kebenaran dari suatu hadits. Jika dalam penelusurannya ternyata si perawi pernah menipu, bahkan menipu seekor ayam pun, misalnya, maka derajat hadits yang dibawakan oleh orang tersebut akan terperosok ke derajat hadits dha’if.

Dengan metodologi seperti perawi hadits itulah jurnalisme mendapatkan ruhnya. Semangat mencari kebenaran yang hakiki. Inilah yang membedakan antara Jurnalisme Islami dengan Jurnalisme Konvensional. Sepintas, seakan-akan jurnalisme Islami dengan Konvensional itu sama metodologi kerjanya. Tapi, jika didalami ada perbedaan yang cukup jauh.

Bagaimana Realitanya?

Di jagat jurnalisme di republik yang dihuni oleh mayoritas umat Islam ini, tidak sedikit media (baik cetak, online, radio, maupun televisi) yang kehilangan ruh-nya. Skeptis tidak, apalagi tabayyun! Mereka menelan mentah-mentah apa saja menu yang disuguhkan oleh para pembuat berita. Terutama lagi jika itu menyangkut aktivitas umat atau yang berbau syariat Islam. Ironi, padahal mereka juga umat Islam.

Boleh jadi ini karena ketidak-mengertian mereka akan apa yang semestinya menjadi tugas seorang jurnalis muslim. Boleh jadi mereka tidak hirau, atau bahkan tidak sadar bahwa mereka hanyalah menjadi alat dari sebuah skenario besar yang berada di luar dirinya.

Dan inilah yang terjadi di bumi pertiwi, saat ini. Betapa banyak media yang hanya menelan mentah-mentah informasi yang dikeluarkan oleh, baik perorangan maupun institusi, dan menulisnya tanpa ada sikap kritis. Maka, berita yang muncul pun seragam, dan seolah-olah itulah kebenaran. Lebih aneh lagi, tapi nyata, ketika informasi-informasi itu menyudutkan umat Islam, media massa dengan ringannya menulis tanpa beban. Akibatnya, umat ini semakin tersudut di bumi yang ia pijak, oleh orang-orang yang mengaku muslim.

Patut juga dipertanyakan, sejauhmana kemusliman para jurnalis yang bekerja di ranah media umum? Boleh jadi, mereka Islam tapi belum ber-Iman, karena Iman belum masuk kedalam hatinya (lihat QS. 49: 14). Lalu siapakah orang-orang yang benar-benar ber-Iman itu? Mereka adalah yang percaya pada Allah dan Rasul-Nya, tiada ragu dan berjuang dengan harta dan jiwanya untuk menegakkan agama Allah (QS. 49: 15). Inilah tugas seorang jurnalis muslim: berjihad membuahkan informasi-informasi yang benar sesuai dengan kemampuannya!

Seorang jurnalis tidak boleh hanya mendengar lalu menyebarkannya, karena ini ada larangannya, sebagaimana termuat dalam Mukadimah Shahih Muslim, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang dianggap pendusta ketika dia menceritakan (menyebarkan) setiap apa saja yang dia dengar.”

Karena itu, sebagai seorang jurnalis Muslim, kedepankan tabayyun. Dengan tabayyun, kerja kita akan mendatangkan keberkahan, jauh dari gosip dan ghibah yang membuahkan dosa.

Penulis: Herry M. Joesoef