Mengkriti Disertasi Doktor Liberal

by

Oleh: M. Fadhlan Adzhim (Mahasiswa Attaqwa College Depok)

Belum lama, umat Islam Indonesia dihebohkan oleh sebuah disertasi doktor di UIN Yogyakarta, yang isinya menghalalkan perzinahan. Alhamdulillah, pada hari Ahad, (15/9/2019), para mahasiswa Attaqwa College (ATCO), ditugaskan untuk menghadiri seminar bertajuk “Fenomena Transnasionalisme Islam Liberal di Dunia Akademik” di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Jakarta. 

Dalam seminar itulah, peneliti INSISTS, Dr. Syamsuddin Arif, mengkritik pemikiran Syahrour. Sesuai yang Dr. Syamsuddin Arif tulis dalam makalahnya, disertasi tersebut mengadopsi pandangan satu tokoh liberal bernama Muhammad Syahrour. Berakar dari pemikiran Syahrour, Doktor itu menyatakan bahwa konsep milk al-yamin dapat menjadi pembenaran sahnya hubungan seksual non-marital (diluar nikah). Ia menyimpulkan, konsep ini menawarkan akses hubungan seksual yang lebih luas dibanding dengan konsep milk al-yamin di dalam al-Qur’an. Perlu diketahui, bahwa konsep ini mendasarkan pada satu ayat dalam Al-Qur’an, al-Ma’arij ayat 29-31, yang telah mengalami dekonstruksi makna oleh penulis disertasi dengan menggunakan merode hermeuneutika. 

Dr. Syamsuddin memaparkan definisi dari konsep ini. Makna asli pada kata malakat berarti budak belian (hamba sahaya). Al-mamluk yang berarti maa malakat aidiihim disalahtafsirkan menjadi hubungan seksual non-marital. Lalu si doktor dari UIN Yogya itu menyatakan, bahwa  menurut Syahrour, milk al-yamin pada hakikatnya adalah seorang perempuan selain istri muharramat (perempuan yang haram dinikahi) yang halal digauli, layaknya hubungan seksual yang telah diatur oleh Islam. Jadi, ia membuat perluasan makna sendiri, dari awalnya haram hubungan antara lawan jenis yang bukan mahram (berarti zina), menjadi halal dengan beberapa syarat: tidak dilakukan di tempat terbuka, tidak secara incest (ada hubungan darah), homo, dan tidak juga dengan perempuan atau laki-laki yang sudah menikah.   

Dr. Syamsuddin Arif menjelaskan, bahwa ada tiga kategori milk al-yamin menurut Muhammad Syahrour:

  1. Pelayan dalam sebuah rumah tangga. Yaitu orang yang membantu dalam pekerjaan rumah tangga. Ini berdasarkan surat an-Nur ayat 58.
  2. Pelayan dalam suatu pekerjaan, semisal pegawai negeri. Pegawai negeri merupakan milk al-yamin bagi negara itu selama jam kantor. Ini berlandaskan surat an-Nahl ayat 71.
  3. Pelayan seksual. Menurut Syahrour, kategori ini untuk konteks masa kini adalah perkawinan misyar, urfi dan mut’ah, sesuai adat dan ketentuan hukum yang berlaku. Ini berlandaskan surat an-Nur ayat 33.

Jika dilihat dalam kategori ketiga, hal itu berlaku pada konteks masa kini, yang berarti konteks ini tidak berlaku di era modern dimana perbudakan telah dihapus dan mengalami perluasan makna secara hermeuneutis. Padahal konteks tersebut tidak mengalami perubahan makna. 

Kemudian Dr Syamsuddin memaparkan kesalahan-kesalahan dalam pengertian konsep milk al-yamin ini. Beliau menukas bahwa milk al-yamin sendiri itu adalah sebagai sebuah nama yang tak perlu diperjelas lagi. Maknanya khusus dan sempit, tidak bisa perluasan. Seperti pada kata Presiden. Tidak mungkin seseorang menyebutkan Presiden sebagai pengertian, yaitu suatu hubungan diplomatis antara pemimpin dan warga negara yang telah ditunjuk secara sukarela.  

Lalu, dalam pemaparannya, Dr. Syamsuddin Arif memaparkan penelitian mendalam akan kesalahan yang terdapat pada disertasi Abdul Aziz: Pertama, Tidak merujuk ke sumber primer/asli. Kedua, kurang menguasai bahasa Arab: tahrif. Ketiga, menggunakan hermeuneutika hukum Syahrour sebagai pretext untuk dekontruksi Syari’ah. Keempat, indikasi pengaruh menganut Syi’ah: menuju legalisasi nikah mut’ah. Kelima, mempunyai agenda dekriminilisasi zina. Keenam, kurang memahami jejak bahasa Farsi.

Pada akhirnya, beliau menjelaskan bahwa konsep Muhammad Syahrour ini merujuk kepada pemahaman Barat yang liberal. Konsep hubungan seksual (sexual relationship) ala budaya Barat inilah yang diadopsi menjadi landasan konsep seksualitas dalam Islam oleh Syahrour. 

Jelas terlihat hal itu berbanding terbalik dengan konsep hubungan seksual dalam Islam. Dalam Islam, terdapat konsep zawaj, yaitu hubungan antara pasangan yang terikat oleh ikatan pernikahan saja, dan tidak ada pengecualian. 

Menyimak pemikiran doktor yang mengahalalkan zina tersebut, tampak telah banyak pencemaran pemikiran yang tidak dirasakan banyak orang. Pengaruhnya sangat halus dan tidak tampak secara kasat mata. Inilah pentingnya Islamic worldview bagi kita untuk memahami, mengoreksi, memilah dan meng-counter pemikiran-pemikiran sesat yang disematkan pada materi perkuliahan. 

Walau bagaimanapun, Syahrour tidak ada otoritas dalam ilmu syari’ah, seperti fiqh. Namun anehnya ia berani mengotak-atik kitab suci Al-Qur’an dengan akal pikirannya. Maka hasilnya tidak lain dan tidak bukan adalah bertentangan dengan pendapat para ulama serta tidak pula bisa dijadikan rujukan. Dr. Zahrul Fata, dalam seminar itu mengatakan jika kita menjadikan Syahrour sebagai rujukan dalam Ushul Fiqh, berarti sama saja memeriksakan kandungan istri pada tukang las. 

“Fenomena Syahrour ini mencerminkan krisis otoritas yang dialami umat Islam pada setiap zaman. Krisis yang terjadi tatkala muncul orang-orang yang merasa tahu, tetapi tidak tahu merasa, people who think they know while in fact they don’t. Kalau seorang at-Tabari dan Ibn Katsir boleh menafsirkan al-Qur’an, mengapa aku tidak boleh? Bukankah aku pun manusia seperti mereka juga?! Begitulah kira-kira argumentasinya,” demikian kata Dr. Syamsuddin Arif dalam makalahnya yang berjudul ‘Syahrour dan Krisis Otoritas’. (***)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *