Oleh: M. Faris Ranadi (Mahasiswa Attaqwa College Depok)
Ada pemikir liberal difatwa kafir dan diwajibkan untuk menalak istrinya. Semua ini dijatuhkan pada satu orang dalam satu waktu. Mungkin pada awalnya kita akan kasihan. Tapi, tunggu dulu! Ada alasannya orang ini dijatuhkan fatwa bertubi-tubi. Masalahnya ia telah menggeser kalam Tuhannya.
Orang yang dijatuhkan fatwa-fatwa itu adalah Prof. Nashr Hamid Abu Zayd. Yang menjatuhkan fatwa bukan hanya pengadilan tinggi Mesir, tapi juga dikuatkan oleh 2000 ulama di negeri Ratu Cleopatra itu. Kesalahan yang ia lakukan adalah melakukan desakralisasi terhadap al-Qur’an. Kenapa hal ini dipandang buruk? Apa saja yang harus kita perhatikan dalam teori Abu Zayd? Dimana letak dari kesalahan teorinya?
Adalah Dr. Henri Shalahuddin, penulis buku Al-Quran Dihujat (Jakarta: GIP, 2006), yang mengungkapkan kisah tersebut dalam seminar tentang Liberalisme di INSISTS (15/9/2019). Beliau mempresentasikan makalahnya yang berjudul, ‘Nashr Hamid dan Liberalisasi Studi Islam di Perguruan Tinggi’.
Dr. Henri berkata bahwa penafsiran ‘bebas-bablas’ seperti yang terjadi di sebuah Universitas Islam di Yogyakarta bukan hal baru dan kali pertama. Akar dari gaya penafsiran seperti ini sudah ada dari jauh, baik waktu maupun tempat. Adalah Nashr Hamid Abu Zayd, seorang professor di Universitas Kairo, yang pertama kali menggegerkan dunia Islam dengan karya-karyanya.
Melalui buku-bukunya ini, Abu Zayd mengklaim bahwa al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), fenomena sejarah (zhahirah tarikhiyyah), teks linguistik (an-nassh al-lughawi) dan teks manusiawi (an-nassh al-insani). Lebih lanjut lagi, ia menyimpulkan bahwa pembacaan teks keagamaan (al-Qur’an dan Hadits) hingga saat ini masih belum menghasilkan interpretasi yang bersifat ilmiah objektif. Masih terpasung oleh mitos (usthurah), khurafat, dan bercorak literal.
Sederhananya, Abu Zayd menyatakan bahwa al-Qur’an yang dipandang oleh Muslim sedunia sebagai sesuatu yang suci, absolut, dan universal, adalah mustahil. Karena al-Qur’an yang kita pegang dalam bentuk mushaf saat ini, sejatinya telah mengalami perubahan. Hal ini dapat terjadi karena Nabi SAW sendiri adalah orang Arab. Karena beliau adalah orang Arab, maka teks al-Qur’an pasti telah diturunkan untuk menyesuaikan dengan konteks bangsa Arab pada saat itu, baik bahasa maupun budaya.
Berikutnya, juga para mufassir al-Qur’an, mereka pasti hanya menafsirkan al-Qur’an dengan konteks pada zaman dan tempat mereka saja. Penfasiran mereka tentu sudah menjadi usang (obsolete). Maka, ketika kita menggunakan al-Qur’an untuk saat ini, perlu ada pula penyesuaian. Perlu ada orang-orang yang menginterpretasikan al-Qur’an dengan konteks zaman ini. Karena zaman sudah jauh berubah. Itulah menurut Nashr Hamid Abu Zayd.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Barangsiapa yang mengatakan sesuatu mengenai al-Qur’an tanpa landasan ilmu atau dengan opininya sendiri, maka ia telah memesan tempat duduknya di neraka” (HR. Imam at-Tirmidzi). Tentu kita tidak menolak apabila muncul mufassir-mufassir baru pada abad ini. Kita pasti akan bangga dan gembira apabila ada ulama tafsir pada saat ini yang bisa menafsirkan al-Qur’an untuk zaman ini.
Tapi, menilik Hadits di atas, kita harusnya juga berpikir lagi, untuk menafsirkan al-Qur’an tidaklah mudah dan mengemban tanggung jawab yang berat. Orang yang menafsirkan al-Qur’an haruslah memiliki landasan ilmu yang kuat seperti penguasaan Bahasa Arab dan literatur Hadits yang mendalam dan komprehensif. Jika ini sudah terpenuhi, masih ada prosedur yang harus diikuti, yaitu menafsirkan suatu ayat dengan ayat lain, dan/atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan Sunnah/hadits Rasulullah SAW, dan/atau menafsirkan dengan keterangan para mufassirin dari kalangan Sahabat, Tabi’in, dan para ulama salaf. Demikian menurut Imam as-Suyuthi dalam kitab ‘At-Tahbir fi `ilmi at-Tafsir’.
Sahabat dekat dan mertua Nabi SAW, Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq ra pernah ditanya akan tafsir suatu ayat, namun beliau tidak berani memberikan banyak komentar. Padahal beliau adalah sahabat dekat Rasulullah, yang mana merupakan sumber al-Qur’an. Ini berarti tidak bisa sembarang orang yang menafsirkan al-Qur’an. Namun, Abu Zayd menganggap bahwa siapa saja, dari dasar keilmuan apa saja, dapat bebas menafsirkan al-Qur’an. Karena ia telah menggeser al-Qur’an sebagai teks biasa.
Padahal, apabila al-Qur’an dipandang sebagai teks biasa yang dipengaruhi oleh bahasa dan budaya, menurut Dr. Henri Shalahuddin dapat menyebabkan dampak sebagai berikut:
- “Bahwa al-Quran dihasilkan secara kolektif dari serangkaian faktor politik, ekonomi, dan sosial.” Ia adalah hasil dari suatu fenomena dari pengalaman Nabi dalam waktu dan tempat tertentu mewarnai pemikiran dan bahasa beliau. Padahal dalam surat al-Haqqah: 44-46 berfirman, “Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami; niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”.
- “Menyamarkan kedudukan suci dan keabsolutan al-Qur’an”. Karena sudah dipandang sebagai teks yang tafsirannya harus mengikuti waktu dan tempat.
- “Penentuan kontekstual terhadap makna dengan mengesampingkan kemapanan bahasa dan susunan bahasa (semantic structures), menyebabkan kosa kata dalam teks kitab suci selalu permisif untuk disusupi berbagai dugaan, pembacaan subjektif dan pemahaman yang hanya mendasarkan relativitas sejarah”. Permainan kata dalam bahasa ini nantinya akan menyebabkan kaburnya makna. Sehingga yang dilarang bisa menjadi diperbolehkan, begitu juga sebaliknya.
- “Memisahkan makna antara ‘yang normatif’ dan yang ‘historis’ di satu sisi dan menempatkan kebenaran (truth) secara kondisional menurut kultur tertentu dan suasana di historis di sisi lain, akan cenderung pada paham sekuler”. Orang akan memandang ayat-ayat al-Qur’an sebagai sesuatu yang relative dan subjektif. Jadi, tidak ada yang boleh memonopoli al-Qur’an seenaknya.
Jika boleh memberikan pengibaratan kepada al-Qur’an, maka al-Qur’an adalah sebuah jalan raya. Ia adalah sarana untuk kita dapat sampai kepada Allah. Tapi, untuk menyusuri jalan ini diperlukan seorang ahli. Yang mana ia memahami aturan jalan, tujuan dari tiap jalur, dan dapat mengendalikan kendaraan yang menyusuri jalan itu. Apabila kita melakukan liberalisasi tafsir seperti yang dikemukakan oleh Abu Zayd, maka tentu akan terjadi banyak masalah. Bisa saja dalam jalan itu kita menabrak kendaraan orang lain, tersesat ke dalam jalur yang salah, atau menjungkirbalikkan kendaraan sendiri. “Bebas-bablasisme” harus kita hindari, agar kita bebas bala (bencana).
Demikian laporan seminar tentang liberalisme di INSISTS, khususnya tentang pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd yang sangat liberal, sebagaimana diuraikan oleh Dr. Henri Shalahuddin. (***)