Oleh: Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Jokowi akan jadi masa lalu. Setidaknya lima tahun lagi. Bahkan tak sampai lima tahun. Tahun 2022 atau 2023, Jokowi pun akan diabaikan para pengikutnya. Semua partai dan politisi akan fokus ke 2024. Pilpres dan pileg diadakan serentak. Pilkada juga digelar di tahun yang sama.
Wartapilihan.com, Jakarta –Lihat nasib SBY. Meski punya partai, banyak pihak yang cenderung tak menghitung lagi. Diantara faktornya karena kurang lihai menempatkan posisioning partainya dalam perkembangan politik. Oposisi ogah, mendekat ke istana ditolak. Putra Mahkota yaitu AHY pun mati langkah. Perolehan partai turun, bergainingnya pun jatuh. Padahal, dua periode SBY jadi presiden dan relatif tak punya musuh yang militan.
Bayangkan jika Jokowi tak lagi jadi presiden. Pensiun tanpa partai. Sementara ia harus menghadapi musuh politik yang sangat militan. Bergaining dengan parpol, tak lagi kuat. Tiga-empat tahun kedepan, parpol tak akan lagi butuh Jokowi. Parpol butuh calon pemimpin masa depan.
Pensiun muda, tentu bukan hal yang ideal jika tak punya eksistensi. Yang paling ideal tetap punya partai sebagai sarana untuk eksis. Dan partai paling ideal untuk Jokowi adalah PDIP. Gak mungkin Jokowi jadi Ketum PPP. Meski PPP sedang cari figur. Gak mungkin juga ketua umum PAN. Satu kamar sama Amien Rais. Juga gak mungkin Golkar, karena kedepan Golkar tak lagi butuh Jokowi. PKS? Apalagi. PSI? Sudah gagal.
PDIP paling cocok buat Jokowi. Tapi, loyalitas Jokowi ke Megawati dipertanyakan. Disini masalah muncul. Tapi, dalam politik, tak ada yang mustahil. Setiap saat segalanya bisa berubah. Bergantung negonya.
Yang pasti, Mega tak mungkin selamanya pimpin PDIP. Suatu saat akan berhenti. Itu hukum alam. Setelah itu, kepemimpinan PDIP mesti diserahkan kepada kader berikutnya. Siapa?
Selain Muhammad Prananda Prabowo dan Puan Maharani, pasti nama Jokowi yang akan muncul. Pramono Anung dan Cahyo Kumolo, meskipun kader organik, sepertinya gak masuk nominasi.
Puan tak sekuat dan sekharisma ibunya. Sang ibu adalah pejuang. Puluhan tahun bergerilya untuk kemudian berhasil mengambil alih PDI. Sebelum kemudian dirubah jadi PDIP. Dalam proses ini, banyak darah tertumpah.
Sementara Puan, tak perlu bergerilya dan berdarah-darah seperti ibunya. Terima mateng, itu bahasa simpelnya. Dibanding Puan, Jokowi lebih berkeringat. Dari Solo ke Balaikota DKI, dan dari Balaikota DKI ke istana. Tentu bukan perjuangan yang mudah. Dalam konteks ini, Jokowi lebih teruji.
Jadi, jika pertimbangannya adalah masa depan PDIP pasca Mega, Jokowi lebih potensial untuk membesarkan PDIP dibanding Puan. Konstutuen Jokowi jauh lebih besar dan solid. Ada Jokowers, tapi gak ada Puaners.
Jika Jokowi ingin jadi ketum PDIP, maka perjuangannya sangat berliku. Sebab, ia harus mampu lebih dulu merubah maindset para kader PDIP tentang “suksesi aklamatif” yang selama ini selalu memilih ketua umum dari trah Soekarno. Mampukan Jokowi menjinakkan banteng?