Wartapilihan.com, Jakarta – Kuasa hukum Ahok menyatakan keberatannya atas kehadiran saksi ahli Prof. Yunahar Ilyas pada sidang kesebelas Ahok di Gedung Kementerian Pertanian, kemarin (21/2). Mereka menganggap Yunahar dianggap tidak objektif karena menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Sebagai kader Muhammadiyah, kami merasa tersinggung dengan cara mereka,” tegas Komandan Kokam PP Pemuda Muhammadiyah, Mashuri Masyhuda, dalam rilisnya (Rabu, 22/2).
Petinggi Muhammadiyah ini tidak terima alasan pihak Ahok bahwa Yunahar adalah Wakil Ketua Umum MUI Pusat, pihak yang mengeluarkan pendapat keagamaan atau fatwa soal ucapan Ahok yang dianggap menghina Al Qur’an dan Ulama.
Karena faktanya, menurut Mashuri, Yunahar dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai ahli mewakili Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang juga sudah di-BAP oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri saat penyidikan. Tak hanya itu, Buya Yunahar juga ditugaskan resmi oleh PP Muhammadiyah karena sesuai keahliannya.
“Beliau adalah Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Tarjih dan Tabligh yang urusannya kajian-kajian keislaman, fatwa dan lain-lain. Prof. Yunahar juga guru besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di bidang tafsir. Beliau sudah menerbitkan banyak buku dan jurnal keislaman yang jadi rujukan di kampus dan masyarakat umum. Jadi dari sisi bidang ilmu yang dimiliki dan jabatannya Prof. Yunahar sangat layak dan kompeten sebagai ahli agama,”tegasnya.
Prof Yunahar Ilyas dihadirkan Jaksa Penuntut Umum sebagai perwakilan dari Muhammadiyah menjelaskan kesaksiannya sebagai ahli agama pada persidangan kasus penistaan agama Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Ia menjelaskan bahwa sistem demokrasi modern tidak mempersempit kepemilihan berdasarkan agama.
“Sistem demokrasi modern memperbolehkan primordialisme, apakah partai, agamanya, alumni kampus, menurut saya itu tidak ada masalah. Memilih berdasarkan agama tidak bertentangan dengan konstitusi, bahkan justru akan memperkuat kesatuan Republik Indonesia.”
“Di negara manapun dalam negara demokrasi diperbolehkan. Memilih atas dasar agama, boleh,” lanjut Yunahar.
Menurutnya, memilih berdasarkan agama merupakan sesuatu yang absah dalam lingkup demokrasi. Pasalnya, umat muslim tidak menuntut dibuatkan undang-undang bahwa non-muslim tidak diperbolehkan menjadi pemimpin, melainkan memilih berdasarkan yang dicenderungi.
“Apakah yang terbaik satu kampung, urusan dia, satu kampus urusan dia, satu agama sepenuhnya urusan dia. Yang tidak dibolehkan apabila mereka umat Islam menuntut dibuatkan Undang-Undang tidak boleh non-muslim jadi pemimpin, baru itu melanggar ketentuan,” papar Prof Yunahar.
Pemaknaan kata ‘aulia’ dalam surat Al-Maidah 51 menurut Yunahar dijelaskan sebagai pemimpin yang bersifat struktural. Menurutnya, hal tersebut tidak masalah jika non-muslim menjadi pemimpin asalkan bukan dalam bidang struktural, seperti bidang profesional atau bidang yang tidak dipilih masyarakat secara umum.
“Struktural adalah pemimpin yang dipilih, seperti presiden dan wakil presiden, gubernur dan DPR. Kalau menteri kan enggak dipilih. Jadi tidak pernah mempersoalkan menteri non-muslim,”paparnya. |
Reporter : Eveline Ramadhini