Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada 9 November 2023, situs https://www.setav.org, memuat satu artikel berjudul “Gaza and the collapse of Western normative hegemony.” Ditulis dalam artikel tersebut: “The response of Western countries to Israel’s actions in Gaza further underscores the crumbling normative superiority of the West. The so-called normative hegemony of the West had already lost its credibility.”
Apa yang terjadi di Gaza sejak 7 Oktober 2023 adalah nyata-nyata pembasmian bangsa Palestina oleh negara Yahudi Israel. Kekuatan militer dan persenjataan Israel digunakan untuk membunuh puluhan ribu warga Jalur Gaza. Sebagian besarnya anak-anak dan perempuan.
Ironisnya, media-media utama di Amerika Serikat dan Eropa pun melakukan pemberitaan yang bias. Para bayi, anak-anak, dan perempuan Palestina yang tewas digambarkan dengan kata-kata “kematian” (dead). Sebaliknya, jika korban menimpa warga Yahudi Israel, maka akan ditulis sebagai “dibunuh” (murdered).
“This double standard, hypocrisy, and a dominant discourse that legitimizes Israel’s actions are clear indicators that a “state of exception” has been established for Israel within the international community,” tulis media ini.
Bagaimana pun, kebrutalan Israel dalam Perang di Gaza telah mempertontonkan keruntuhan hegemoni Barat secara normatif. (The brutality of the war we are witnessing is a stark sign of the erosion of Western normative hegemony).
Sebenarnya, dunia sudah berulangkali menyaksikan keruntuhan hegemoni moralitas Barat, sebagai pemimpin dunia. Berbagai tragedi kemanusiaan telah terjadi sejak tampilnya Barat sebagai peradaban yang dominan. Bahkan, setelah runtuhnya Uni Soviet dan hancurnya pamor komunisme, berulangkali Barat tidak mampu memainkan perannya sebagai penguasa dunia untuk mewujudkan perdamaian.
Serangan AS terhadap Irak tahun 2003 pada akhirnya terbukti tidak memiliki alasan yang benar, alias kebohongan. Tuduhan terhadap Irak sebagai pemilik senjata pemusnah masal tidak tidak terbukti. Padahal, sekitar 1 juta penduduk Irak menjadi korban dari serangan AS tersebut.
Meskipun memiliki kekuatan ekonomi dan militer yang sangat besar, tetapi tidak dapat dipungkiri, AS berada dalam cengkeraman kekuasaan tokoh-tokoh Yahudi. Dalam bukunya, The High Priests of War, Michel Colin Piper menyebutkan, belum pernah dalam sejarah AS terjadi dominasi politik AS yang begitu besar dan mencolok oleh ‘tokoh-tokoh pro-Israel’ seperti dimasa Presiden George W. Bush.
Sebagian besar anggota neo-konservatif adalah Yahudi. Salah satu prestasi besar kelompok ini adalah memaksakan serangan AS atas Irak, meskipun elite-elite militer AS dan Menlu Colin Powell sendiri, semula menentangnya.
Piper membahas peran kelompok garis keras Zionis Yahudi di AS dengan menguraikan satu persatu latar belakang dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam konspirasi neo-konservatif ini, seperti Richard Perle, William Kristol, Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, Rupert Murdoch, juga ilmuwan dan kolomnis terkenal seperti Bernard Lewis, Charles Krauthammer, dan tokoh-tokoh Kristen fundamentalis seperti Jerry Falwell, Pat Robertson, dan Tim LaHaye. Cengkeraman atau pembajakan kelompok neo-kon terhadap politik AS sebenarnya meresahkan banyak umat manusia. Mereka sedang menjalankan satu skenario besar “Perang Global”, dengan menempatkan Islam sebagai musuh utama peradaban dunia.
Dalam berbagai kasus konflik antar-negara, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sudah lama disadari, bahwa PBB memiliki banyak kelemahan dan kegagalan. Badan dunia ini tak berdaya mencegah dan mengatasi berbagai tindak kekejaman dan ketidakadilan, apalagi jika dilakukan oleh negara-negara kuat.
Kasus pembantaian Muslim Bosnia, kasus pembasmian etnis Rohingya, kasus penjajahan Palestina, kasus Muslim Uighur, dan sebagainya, menjadi saksi ketidakberdayaan PBB dalam mengatasi problem kemanusiaan global itu. Meskipun negara-negara Barat menganut sistem demokrasi, tetapi di PBB hal itu tidak berlaku.
Kasus Gaza semakin menguatkan opini bahwa Peradaban Barat yang ketanya memegang nilai-nilai kemanusiaan (humanity) memang telah kehilangan legitimasi moral untuk memimpin dunia. Penyair Pakistan Mohammad Iqbal menggambarkan sifat Peradaban Barat sebagai: “Her eyes lack of the tears of humanity, because of the love of gold and silver.”
Semoga umat Islam Indonesia segera menyiapkan diri untuk mengambil peran penting dalam tataran global ini. Amin. (Depok, 25 Desember 2023).