Sejak reformasi konstitusi, untuk ketiga kalinya MPR masa jabatan 2014-2019 melaksanakan konvensi ketatanegaraan, menyelenggarakan sidang paripurna, memfasilitasi lembaga-lembaga negara untuk secara terbuka menyampaikan kinerjanya kepada publik.
Wartapilihan.com, Jakarta –Sebagai pengawal ideologi Pancasila, MPR menjalankan amanat dengan mengerahkan seluruh Anggota MPR untuk memasyarakatkan nilai-nilai Pancasila ke seluruh lapisan masyarakat. Badan Sosialisasi MPR telah melaksanakan berbagai program untuk membumikan dan menggelorakan nilai-nilai Pancasila ke seluruh pelosok tanah air, menyentuh seluruh segmentasi masyarakat yang sangat beragam dan luas wilayahnya.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau terus belajar, perubahan ke arah yang lebih baik adalah keniscayaan, dan perubahan menjadi fenomena yang abadi. Oleh karena itu, MPR melakukan pengkajian terhadap sejumlah aspirasi penting dan strategis dari masyarakat dan daerah, terkait dengan sistem ketatanegaraan, konstitusi dan implementasinya,” kata Ketua MPR Zulkifli Hasan dalam pidatonya di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (16/8).
Artinya, lanjut Zulkifli, tidak ada satupun sistem bernegara yang paripurna dalam suatu waktu, karena niscaya dituntut menyesuaikan dengan tuntutan zaman.
Badan Pengkajian MPR dan Lembaga Pengkajian MPR menyerap aspirasi masyarakat dan daerah, diskusi dengan sejumlah kampus, penyelenggara negara, dengar pendapat dengan masyarakat, seminar serta simposium.
“Hasilnya, terdapat arus besar aspirasi masyarakat yang menghendaki agar kita memiliki haluan negara sebagai kerangka hukum dan politik, untuk pemandu sistem perencanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan,” ungkapnya.
Menurutnya, landasan ideal tentang ekonomi Pancasila harus dperkuat dengan Politik Ekonomi Pancasila yang kuat. MPR memandang penting, pelaksanaan Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi oleh berbagai elemen bangsa sebagaimana termaktub dalam Ketetapan MPR RI Nomor XVI/MPR/1998. Hal substansial dan strategis lainnya tentang sistem ketatanegaraan juga tengah dikaji oleh MPR, antara lain penataan kewenangan DPD dan penataan kekuasaan kehakiman.
“MPR mengajak kepada semua elemen masyarakat untuk memperkokoh pelaksanaan etika kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang meliputi Etika Sosial dan Budaya, Etika Politik dan Pemerintahan, Etika Ekonomi dan Bisnis, Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan, Etika Keilmuwan serta Etika Lingkungan,” tambah Zulkifli Hasan.
Di tahun ke-72 kemerdekaan Indonesia ini, kata Zulkifli, bangsa Indonesia edang menghadapi tantangan yang tidak mudah. Demokrasi dan kebebasan telah memberi peluang kepada siapa saja untuk melaju dan bahkan melakukan akselerasi diri atau kelompok. Ini memang sesuatu yang niscaya dalam kehidupan demokrasi.
“Di satu pihak, ada orang-orang yang frustrasi atas ketertinggalannya. Lalu mereka mencari pegangan sendiri karena mengganggap apa yang disepakati bersama tak memberi perlindungan dan tak memberi jaminan bagi dirinya untuk bisa maju bersama. Pada bagian ini mereka menganggap pentingnya negara dan bangsa menekankan aspek memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa,” ucapnya.
Adapun ihwal ideologi negara, falsafah negara, dan dasar negara telah final. Perjalanan bangsa ini telah mekar dengan baik. Mereka tumbuh secara alami hingga kemudian dicabik-cabik oleh kolonialisme. Seiring lahirnya abad modern dan hadirnya paham negara kebangsaan, para pendahulu kita mulai merumuskan ide-ide tersebut sejak era kolonial. Hingga kemudian pada 1 Juni 1945, Bung Karno mengemukakan gagasan tentang Pancasila. Sebuah gagasan luar biasa dari seorang pemimpin terbesar sepanjang sejarah.
Setelah melalui penyempurnaan dan masukan dari Panitia Sembilan, maka lahirlah Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Rumusan Pancasila yang baku kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945. Di masa revolusi, UUD 1945 diganti oleh UUD RIS dan kemudian UUDS 1950. Setelah Konstituante tak kunjung berhasil mencapai kata sepakat, sekali lagi Bung Karno menunjukkan kebesarannya sebagai seorang pemimpin.
Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit itu kemudian diterima secara bulat oleh parlemen, tanpa ada pertentangan sedikit pun. Itu menunjukkan jalan yang ditunjukkan Bung Karno memang yang terbaik dan menjadi jiwa dari seluruh kekuatan politik saat itu. Dalam dekrit itu, Bung Karno tak hanya menyatakan kembali ke UUD 1945 – ingat, bukan kembali ke UUDS 1950 yang saat itu berlaku atau ke UUD RIS yang runtuh oleh Mosi Integral — tapi juga menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian satu kesatuan.
“Kami percaya, Pancasila dan UUD 1945 bukanlah palugada terhadap pihak yang tidak satu pandangan, tidak satu barisan atau tidak satu partai dalam berindonesia. Pancasila dan UUD 1945 adalah muara bersama dari beragam mata air. Karena itulah Pancasila disebut sebagai ideologi terbuka,” tegasnya.
Zulhas mengingatkan bagaimana kisah persahabatan Pak Kasimo dan Pak Natsir yang bersepeda bersama setelah debat sengit di parlemen. Pak Prawoto, mantan wakil perdana menteri dan saat itu menjadi wakil ketua Konstituante, adalah pribadi yang jujur, berdedikasi, dan sangat sederhana. Ia tak kunjung memiliki rumah. Ketika hendak membeli rumah yang sudah lama ia kontrak, Pak Kasimo membantunya.
“Sebab itu, jika ada pihak-pihak yang melakukan klaim-klaim sebagai yang Pancasilais dan menuduh yang lain tidak Pancasilais, maka yang bersangkutan harus belajar lagi tentang sejarah Pancasila. Mari kita berlaku bijak, dewasa, dan satria,” saran dia.
Pak Natsir pernah berucap: “Dan dasar satu-satunya bagi satu bangsa, ialah tidak persamaan agama atau persamaan keturunan, tapi bersamaan keyakinan hidup, bahwa bangsa itu mempunyai tanah air yang satu, dan bernegara yang satu”.
“Itulah yang menyatukan kita semua. Kita sebagai sesama anak bangsa harus saling yakin meyakini dan saling percaya mempercayai. Bukan saling menuduh dan saling mencurigai. Sekali lagi kita harus memiliki persamaan keyakinan hidup tentang berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu: Indonesia,” tutupnya.
Ahmad Zuhdi