Terjadi pro-kontra atas kebijakan Full Day School yang akan dilangsungkan. Tetapi LPAI punya pandangan sendiri terkait hal ini. Bagaimana selengkapnya?
Wartapilihan.com, Jakarta –Ketua Bidang Organisasi dan Pengkaderan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Idham Khalid setuju dengan adanya Full Day School. Pasalnya, sistem tersebut sebenarnya sudah dijalani di sekolah-sekolah swasta sejak dulu.
“Ide yang diusulkan oleh mendikbud kita sangat menarik, yaitu “full day school” atau sekolah hingga sore, suatu sistem yang sebenarnya sudah berjalan di hampir semua sekolah swasta baik yang bertaraf internasional atau tidak di kota-kota besar,” ucap Idham kepada Warta Pilihan, Rabu (16/8/2017).
Ia justru merasa aneh karena banyaknya pihak yang sangat keras menolak, bahkan hingga mem-bully menteri. “Entah pasukan darimana atau memang benar-benar mereka orang desa dan tidak tahu bahwa sekolah-sekolah yang hebat-mahal-favorite dan mereka idam-idamkan bila melewati gedung-gedungnya yang megah itu ternyata sudah lama menerapkan sistem yang sama?”
Ia mengatakan demikian karena pada dasarnya orang tua yang seharusnya jadi ibu rumah tangga juga sibuk mengejar karirnya sendiri, dan cenderung tidak begitu memperhatikan pendidikan anak. Maka, menurutnya, hanya ada tiga pilihan agar anak menjadi berkualitas, yaitu (1) Menitipkan anak ke institusi terpercaya, (2) Menitipkan anak kepada kakek dan neneknya, atau (3) melarang ibu-ibu bekerja.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Wilayah Provinsi Papua ini mengatakan, anak yang diurus kakek-nenek adalah yang banyak terjadi saat ini. “Tidak ada salahnya dengan pilihan ini, meski kontroversial, ada yang mengatakan lalu kapan kakek-nenek istirahat dan menikmati masa pensiun mereka? Pernahkah kita mendengar ‘jeritan’ mereka?”
Adapun beberapa keuntungan yang bisa didapat dari Full Day School yaitu, (1) Jam aktifitas anak yang bisa diatur Karen hampir sama, (2) Mengerjakan PR di sekolah, sehingga beban orang tua lebih ringan, dan (3) Hari Sabtu hingga Minggu bisa berlibur dengan orang tua.
Pertama, jika jam aktifitas orang tua kerja dan anak bersekolah hampir sama, menurut Idham sangat bisa diatur supaya bisa mengantar anak sebelum sekolah dan menjemput anak setelah sekolah. “Bila program mengantar anak sekali setahun saja heboh banget, lha ini dibuatkan program antar-jemput setiap hari kok malah ortunya marah-marah? Ketahuan enggak ikhlasnya nih, maunya ortu pencitraan sekali setahun doang,” tandas Idham.
Ia menegaskan, banyak yang sesat pikir terhadap Full Day School ini. Pasalnya, yang dimaksud adalah Full Day at School yang lebih tepatnya. “Lha kok lebih banyak jam sekolah anak-anaknya? Di sinilah letak sesat pikir pertama, sekolah full day itu bukan belajar fullday, bapak ibu sekalian. Sekolah full day itu, anaknya di lingkungan sekolah full day, istilahnya lebih tepatnya Fullday at School,”
“Kegiatannya bermacam-macam. Bisa termasuk les, termasuk ekstrakurikuler, pembinaan agama, pembinaan karakter, bermain, bersosialisasi, kegiatan sosial, hingga mengerjakan PR,” tukasnya.
Ia prihatin dengan sistem saat ini, dimana orang tua justru menghabiskan waktu terlibat dalam pendidikan formal anak, sehingga pendidikan karakter terabaikan, dan hanya berfokus pada nilai semata.
“Lihat realita, realita sedang menuju ke zaman orang tua yang sibuk sendiri, jangankan anak di sekolah, anak di sampingnya saja, orang tuanya sibuk facebookan sendiri,” ia prihatin.
Maka dari itu, Idham menyarankan agar jangan karena segelintir orang tua yang idealis dan ingin mendidik anak-anaknya sendiri, lalu mengorbankan pendidikan sebangsa yang mayoritas anak-anaknya ‘terlantar’ dari keluarga. “Dan ingat, sebelum kita mem-bully menteri baru dan membanding-bandingkan dengan menteri sebelumnya, sebaiknya tanya dulu, jangan-jangan anak-anak menteri sebelumnya juga sekolah sampai sore,” tandasnya.
Eveline Ramadhini