Wartapilihan.com, Jakarta – Setelah Pemerintah melalui Menkopolhukam Wiranto resmi menerbitkan peraturan pengganti perundang-undangan (Perppu), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melakukan live conference dengan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra. Cukup banyak logika cerdas Profesor Hukum pemegang trah Masyumi ini keluar. Meski bukan pendukung HTI, namun apa yang dilakukan Pemerintah hari ini berlawanan dengan niatan pemerintah sendiri untuk pengembangan ekonomi yang didukung dengan politik yang kondusif.
“Perppu Pembubaran Ormas ini mengingatkan saya di tahun 1959. Perppu yang keluar hari ini mirip Perpres 15/1959. Saat itu, Perpres dikeluarkan untuk membubarkan partai yang pimpinannya memberontak, dan saat itu yang dianggap memberontak adalah PSI (Sosialis), Masyumi dan Partai Kristen Indonesia. Namun, karena niatan Presiden hanya membubarkan PSI dan Masyumi, maka Partai Kristen tetap aman. Bubarnya kedua partai itu karena kegigihan mereka menolak Pancasila sebagai dasar negara yang dipaksakan, dan NASAKOM (Nasionalis Agama Komunis) yang dipaksakan untuk diterima. Pada akhirnya saat itu PKI yang dianak emaskan Soekarno,” kata pakar hukum tata negara tersebut.
Lebih lanjut, Yusril mengingatkan pemerintah bahwa Asas _’Contrarius Actus’_ tidak bisa digunakan oleh Kemenkumham. Kalau Pemerintah tetap memaksa, maka rakyat harus melawan dengan Usulan Keputusan Sela, dan dibawa ke PTUN. Hal ini karena jika diterapkan akan rusak tatanan hukum. Sebagai contoh, KUA bisa menerbitkan surat nikah tetapi tidak bisa membatalkan pernikahan yang sudah sah, kan kasian orang lagi mesra tiba-tiba surat nikahnya dicabut jatuhnya jadi Zina. Sebagaimana Menkumham tidak bisa membubarkan perusahaan yang sukses hanya karena like dan dislike.
“Asas Contrarius Actus tidak bisa dicabut. Andaikata itu dilakukan Kemenkumham kita lawan ke PTUN. Kita meminta putusan sela sampai menunggu kekuatan Mahkamah Agung dan ada kekuatan tetap (inkraht),” terang Yusril.
Selain itu, kata Yusril, Islam bukan dan tidak akan pernah menjadi musuh Pancasila. Sebagai studi kasus dapat merujuk pada kasus Pelajar Islam Indonesia (PII) yang dulu telah berdiri sejak awal kemerdekaan. Saat berlaku asas tunggal di masa Soeharto, PII menolak dan kemudian dibubarkan.
“Saat Soeharto berhenti digantikan Habibie, Asas Tunggal dihapus dan diganti dengan bolehnya berasas selain Pancasila. Maka muncul banyak partai dan organisasi yang berasas selain Pancasila, seperti Islam. Ini membuktikan Islam bukan musuh Pancasila,” ungkapnya.
Menururnya, terma dan ide khalifah harus disikapi biasa saja, karena ini fakta dalam tatanan Islam, dan bahkan hal yang jamak berlaku di Indonesia, seperti pelajaran dari buku Fiqh Islam termasyhur di Indonesia tulisan Sulaiman Rasyid. Bahkan gelar _Sayyidin Panatagama Khalifatullah_ di Jawa adalah gelar berkah dari Sultan Turki. Itu juga alasan NU dulu menjadikan Presiden sebagai _Waliyul Amri ad-Dharuri bi asy-Syaukah_ (1952-1954).
“NU menunjuk Soekarno sebagai khalifah sementara darurat, sehingga legal untuk memberikan wewenang kepada jajarannya seperti untuk menikahkan manusia,” jelas Ketua Umum Partai Bulan Bintang tersebut.
Terakhir, simpul Yusril, Pemerintah harus sadar, bahwa selama Perpu belum disetujui DPR, dan atau belum ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi, maka yang berlaku tetap UU saat ini. Kalau ternyata, MK menolak dan kemudian Pemerintah memilih melanjutkan ‘usaha tidak menyenangkan’-nya dengan mengeluarkan Perpres, maka sejatinya Perpres wajib keluar jika ada amanat dari UU di atasnya, seperti ‘yang belum diatur akan diatur kemudian dengan Perpres’.
“Semoga Pemerintah kembali dapat mesra dengan kaum muslimin. Namun, itu semua bergantung pada _worldview_ orang-orang penting strategis di ring-1 kepemimpinan. HTI silakan kalau ingin melakukan demo, tentu dengan cara-cara santun dan tidak merusak. Peliharalah nama HTI yang baik ini. Jangan sampai kita merusak citra Islam,” pungkasnya.
[Ahmad Zuhdi/Supraha]