Sejak berabad-abad lalu, ulama memiliki pengaruhnya sendiri dalam peradaban Islam di Indonesia. Bagaimana pandangan pengamat Timur Tengah, Yon Machmudi?
Wartapilihan.com, Depok – Yon Machmudi menjelaskan, perlu untuk menilik kembali sejarah, dimana peran ulama amat penting untuk diingat, dikenang dan dipelajari. Pas sekali, ketika itu Yon sedang menggunakan jasnya yang berwarna hijau. Ia menyampaikan pesan yang layaknya parodi, tetapi sesungguhnya sarat makna.
“Kalau Soekarno bilang Jas Merah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah, saya bilang Jas Hijau, jangan sekali-kali lupakan jasa ulama,” ujarnya berseloroh yang diikuti tawa dan tepuk tangan puluhan hadirin di Rumah Peduli Nurul Fikri, Sabtu pagi, Depok, (26/8/2017).
Adapun perbedaan yang terjadi di antara umat Islam, Ketua Prodi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia ini menjelaskan, meskipun ada hadits yang menyatakan “Perbedaan di antara umatku adalah Rahmat,” namun pada kenyataannya, para ulama pun sering berselisih pendapat dan akhirnya berhubungan dengan renggang satu sama lain.
Perbedaan Islam di Indonesia diawali dari tiga kelompok yang dapat diklasifikasikan, yaitu (1) Tradisionalis, yakni Nadhatul Ulama (NU) yang berfokus pada pesantren dan tarekat, (2) Modernis, yakni Muhammadiyah yang berfokus pada sosial keagamaan dan madrasah, (3) Revivalis, berupa Jong Islamieten Bond yang mendirikan sekolah Belanda. Ia pun mempertanyakan, apakah kemudian ketiga kelompok itu bisa bersatu? Tetapi, Yon mengatakan, dalam praktiknya perbedaan itu menimbulkan masalah-masalah.
“Pada tahun 1949 dalam sebuah konpers Masyumi, ada seorang pengurus yang jadi walikota Jogja, namanya Muhammad Sholeh. Ia mengatakan, ‘Berpolitik itu tidak hanya bisa dilakukan dengan dzikir dan memegang tasbih. Politik itu sekupnya sangat luas. Tidak terbatas hanya pondok pesantren,'” papar Yon.
“Ucapan ini kemudian menimbulkan ketersinggungan kepada para tradisionalis NU. Ia disuruh meminta maaf. Tapi kemudian beliau menolak. Ini adalah perselisihan. Berangsur-angsur menimbulkan sebuah perbedaan yang tadinya bersatu,” imbuhnya.
Lelaki kelahiran Jombang ini mempertanyakan, mengapa terjadi perselisihan ketika kekuasaan di tangan? Dan tidak ada perselisihan ketika tidak ada kekuasaan di tangan? “Ini perlu menjadi bahan renungan bagi kita. Perlu sebuah bentuk integrasi di dalam memandang sebuah sejarah secara utuh. Modernis, tradisional, sekuler punya sejarahnya masing-masing,” pungkas dia.
Menurutnya, pengalaman sejarah merupakan hal penting. Pasalnya, tidak semua hal ideal terjadi di sana, maka generasi muda jangan sampai mengulangi lagi. “Di situ ada persatuan, pernikahan, perceraian. Tidak semuanya ideal. Generasi baru jangan sampai mengulangi sesuatu yang tidak perlu diulangi,” harap Yon.
Eveline Ramadhini