Di kampus saya dulu, saya dikenal pendiam.
Namun untuk beberapa orang lain saya dikenal banyak omong.
Oleh sebagian orang saya dikenal sebagai si keras hati, si keras kepala dan si pemberontak, tapi sebagian yang lain melebeli saya adalah si lembut hati, sentimentil dan romantis.
Beberapa orang menilai saya sebagai yang sombong lagi songong, sementara beberapa lainnya merasa nyaman bila saya bercerita, lalu seakan ingin menyandarkan kepala di bahu saya.
Ada orang yang saya kenal mengatakan saya seorang yang cuek, tapi beberapa orang lain mengatakan saya penuh perhatian bahkan terlalu peduli.
Ada juga yang merasa tak penting menyapa saya jika berpapasan dan bahkan buang muka atau melengos, tapi beberapa lainnya tanpa ragu memeluk saya kala bertemu.
Dan ada beberapa kali saya di peluk dengan hangat oleh orang yang baru saya kenal ataupun sudah lama saya kenal.
Banyak orang punya penafsiran sendiri lalu memilih pergi dari hadapan saya.
Namun ada juga yang hanya mendengar dari orang lain tapi sudah merasa sangat mengenali lalu pasang wajah angker seperti di tampar malaekat, dan sisanya tetap tinggal meski seringkali merasa kecewa dengan segala kekurangan saya, dan tetap saja seakan mendengar tanpa peduli seberapa menyebalkannya diri saya.
Ya, penilaian orang terhadap diri kita memang bisa beragam serupa itu.
Terserah mereka sajalah, kita tidak pelu merasa terlalu gembira bila dipuji dan jangan pula ingin membela diri mati-matian, apa lagi menunjukkan antipati berlebihan kala tak disukai.
Dibenci dan disukai adalah dua hal yang pasti kita alami.
Mereka yang benci tak akan sudi mendengar apa yang kita katakan walaupun baik untuknya, dan mereka yang suka toh belum tentu melakukan pesan yang kita sampaikan atau peduli kala kita butuh pertolongan.
Yah… jangankan kita, orang biasa, nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam saja yang jelas-jelas dimuliakan Allah subhanahu wa ta’ala dan banyak orang toh tak sedikit yang membencinya dan bahkan menista serendah-rendahnya dengan jargon kebebasan berekspresi alias kebebasan bersikap dan berbicara.
Ya suka-suka mereka sajalah untuk melegalkan suatu kejahatan.
Namun, penilaian manusia terhadap kita bukan segalanya, yang utama bagi kita adalah penilaian Allah subhanu wa ta’ala dalam mempengaruhi sikap dan langkah kita, setelah itu barulah manusia.
Kalau kita terlalu mempertimbangkan sikap banyak orang kepada kita maka kita akan seperti di atas perahu kecil yang terombang ambing di tengah samudera dengan gelombang dan ombaknya yang dahsyat, yang boleh jadi menghempaskan kita di batu karang atau membenamkan kita di tempat yang dalam yang tak kita harapkan.
Jadi, yang penting kita berjuang semampu kita saja untuk berbuat baik sesuai kehendak dan ridha-Nya.
Allah berfirman ;
Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah ( Al An’am 116 )
* Iwan Hasanul Akmal