WARTAPILIHAN.COM, Jakarta – Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo (FS) urun aspirasi terkait ditangkapnya sejumlah warga di beberapa daerah di kawasan hutan RPH (resort pemangkuan hutan) karena mengambil kayu bakar untuk keperluan sehari-hari. Mereka ditangkap dijerat tersangka dengan Pasal 12 huruf e jo Pasal 83 ayat (1) huruf b UU RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ancaman hukuman paling singkat satu tahun penjara.
“Sesuai aturan yang ada, para masyarakat sekitar hutan tak perlu ditangkap saat mengambil kayu bakar di hutan. Kecuali mereka terbukti secara terang-terangan melakukan pembakaran hutan,” kata Sekretaris Dewan Pakar DPP Golkar tersebut dalam rilisnya, Selasa (16/5).
Politisi Golkar itu menilai, UU RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan tersebut hanya untuk perusahaan atau korporasi yang nakal, bukan untuk masyarakat yang tidak terorganisir seperti yang termuat pada pada pasal 1 ayat 3.
“Undang-undang itu ditujukan untuk korporasi. Dalam UU itu disebutkan masyarakat di sekitar hutan boleh mengambil kayu. Jika ada penangkapan bagi masyarakat mengambil kayu untuk kebutuhan sehari-hari bisa menghubungi kami. Karena penangkapan itu menyalahi aturan yang ada,” sambungnya.
Oleh karena itu, ia meminta pada masyarakat di sekitar hutan, yang mengetahui keterlibatan pejabat setempat terhadap penebangan hutan yang dilakukan oleh perusahaan besar, bisa segera dilaporkan ke pihak berwajib. Pasalnya, pejabat tersebut membiarkan tindakan melanggar hukum itu.
“Sementara pejabat setempat mengatahui ada perusahaan yang mencuri kayu, bisa ditindak atau diberu sanksi hukum karena telah membiarkan pencurian kayu tersebut, mereka bisa dikena pasal. Karena mereka telah melakukan pembiaran,” imbuhnya.
Firman mengaku sangat paham dari UU tersebut, karena saat pembahasan UU itu dirinya sebagai Ketua Panja UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
“Jangan sampai rakyat yang jadi korban, apalagi mereka masyarakat tradisional yang hidup dari zaman-zaman di sekitar hutan. Mereka hidupnya ditopang dari hutan tersebut, dan mereka cenderung tak merusak hutan,” Firman menerangkan.
Wakil Ketua Baleg tersebut menegaskan kembali, UU itu diperuntukan bagi perusahaan nakal yang menebang hutan untuk keperluan bisnis.
“Undang-undang itu untuk perusahaan yang besar dan sudah mapan yang melakukan pencurian. Bukan masyarakat biasa yang mengambil kayu untuk memasak,” tandasnya.
Reporter: Satya Wira