Teringat Masa Lalu

by

Ada saudara angkatku yang lahir dan tinggal di Kebayoran Baru Jakarta.
Namanya Taufan. Ayahnya asal Bantul sedangkan ibunya asal Tejokesuman Yogyakarta, tetanggaan dengan rumah kostku.

Tahun itu, tahun 1971.
Taufan berketetapan hati untuk lebaran di Yogya di rumah kakeknya yang merupakan tetanggaku.
Karena dia sendirian, maka kuajak dia keliling naik becak di sekitar kraton dan gedung Art gallery Senisono yang tak jauh dari Malioboro.

Di sepanjang jalan dia ngedumel seperti mau menangis.
” Gue nyeseel… nyesel banget ! Kenape gue lebaran di sini ?!
Aduuuh Jogya kok sepi begini ?
Nyesel… benar-benar gue nyesel !”

” Memang beginilah Yogya. Namanya juga kota pelajar.
Kalau lebaran pada pulang kampung. Tapi nggak apa-apa kan sekali lebaran di sini ” kataku.

Wajah Taufan, yang baru berusia sekitar tujuh belas tahun itu tampak begitu sendu memilu… benar-benar mau nangis.
Aku jadi bingung nggak bisa menghiburnya.
Apalagi esok harinya, orang Jogya itu kan, setelah pulang dari sholat idul fitri di lapangan, kelihatan biasa-biasa saja, seperti tidak lebaran, tidak sebagaimana di Jakarta.

Aku sendiri telah terbiasa, tiga kali lebaran di kota Jogya ini dan sekali di Semarang.
Di Semarang dari seminggu menjelang lebaran di rumah teman kuliah yang orang tuanya dedengkot NU, dan aku baru pulang ke Yogya seminggu setelah lebaran.

Di kota Semarang sangat meriah. Konvoi kendaraan malam takbiran dari Simpang Lima sampai ke kawasan elit yang bernama Candi seperti tak putus-putusnya.
Di kampung-kampung pun sangat meriah.
Apalagi di masjid-masjid NU, orang shalat taraweh sambil berkipas, maklum belum ada AC dan shalatnya dua puluh tiga rakaat dan ramai pula ..wah wah baru kali itu aku melihat orang shalat taraweh berkipas.

Setelah shalat Idul Fitri makan besar dilaksanakan di masjid.
Ketupat dan lauk pauk tumpah ruah dari setiap rumah.
Luar biasa, orang NU itu guyub, ramah-tamah dan baik hati.
Tapi heran, di teve kok kayaknya sangar-sangar. Apa lagi kalau lihat Banser… idiiiih !

Aku sendiri di besarkan di keluarga Muhammaddiyah.
Kakek-ku orang Jawa Asli, Haji Akmal, ayahnya seorang Kiyai, Kiayi Haji Abdul Latif, mungkin NU. Kami punya Surau sendiri di Kalimantan.
Setiap harinya dipenuhi oleh keluarga besarku.
Jadi kalau kami shalat taraweh seperti orang Muhammadiyah sebelas rakaat, tapi setiap selesai dua rakaat kami salawatan seperti orang NU.

Surau kami juga ada beduknya yang dipukul tiga kali waktu magrib, empat kali waktu isha, dua kali waktu subuh, empat kali waktu dzohor dan empat kali waktu ashar.
Kalau bulan Ramadhan, waktu sahur beduk kami ditabuh dengan irama yang khas, konon iramanya irama Banten Serang.
Karena kakekku orang Jawa yang lahir di Serang.
Moyangku ku Sendiri adalah orang Demak yang membantu Sultan Hasanuddin berdakwah di Serang dan sekaligus berperang melawan Belanda.

Usai perang, keluarga besar moyangku hijrah ke Pontianak, dan berhenti di kota Singkawang, kota China.
Di Singkawang buka tanah sekuat macul.

Al kisah ketika aku masih kecil yang membuat beduk di surau kami adalah Ayahku, Hasan Akmal.
Tapi kalau beduk itu ditabuh keterlaluan oleh abang-abang sepupuku yang sudah gege-gede ( remaja tanggung ) di waktu sahur, ayahku pula yang membelah beduk itu.
Tapi menjelang lebaran dia pula yang kembali membikin beduk, karena orang lain tak ada yang bisa bikin beduk.

Tapi ayahku itu di sayangi oleh keluarga besar kami dan semua ponakan yang jumlahnya mendekati lima puluhan, karena ayahku seorang ahli ibadah yang seniman.
Setiap perlombaan bikin gerbang dan karnaval agustusan yang melibatkan seluruh keluarga kami untuk menyaingi cap go meh China selalu kampung kami jadi pemenangnya.
Dan ayahku lah yang mengajak seluruh ponakannya bergabung membuat kapal atau teng dan apa saja atribut perang dari bambu dan rotan yang dibungkus dengan kertas pembungkus semen lalu dilukis.
Maklum di tahun lima puluhan itu masih terasa eforia kemerdekaan.

Setelah kakekku dan ayahku meninggal dunia kampungku terasa mati, bahkan di kota Singkawang nyaris tak ada karnaval lagi, yang ada cuma cap go meh.
Takbir keliling di kampung kami pun tak ada lagi walaupun shalat taraweh tetap ramai.
Bukan hanya itu, keluarga besar kami pun seperti kehilangan tempat berkumpul.
Sepupu dan ponakanku sudah mulai keranjingan bermusik dan main voli.
Jadi di kampungku belakangan ada group musik dan group voli.
Juga telah berdiri satu masjid dan sebuah surau lagi.
Dengan demikian keluaga besarku terpecah, ada yang di masjid dan ada di surau baru di samping di surau lama kakekku.
Bahkan mereka seperti tidak tahu bahwa mereka satu moyang yaitu kiayi haji Abdul Latif.

Sewaktu aku pulang kampung lima tahun silam, seorang abang sepupuku berkata dengan wajah sendu memilu, ” Setelah ayahmu wafat kampung ini jadi sunyi …. Tidak ada lagi orang tua yang mampu menghimpun anak-anak muda dari saudara-saudara kita …Kami jadi suka teringat dengan ayahmu, dengan suara adzannya dan segala aktivitasnya …”

( Iwan Hasanul Akmal )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *