Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Film Buya Hamka yang mulai diputar 19 April 2023 telah memunculkan berbagai komentar dan analisis yang positif. Banyak yang menilai film ini memberikan pelajaran yang berharga bagi umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya. Sosok, pemikiran, dan pejuangan Buya Hamka, mampu ditampilkan dengan baik oleh penulis skenario, sutradara, dan para pemainnya.
Namun, di beberapa group WA, sempat terbaca, bahwa Buya Hamka adalah seorang otodidak, alias belajar sendiri tanpa guru. Pendapat itu muncul karena Buya Hamka tidak menempuh pendidikan formal, sebagaimana banyak ilmuwan atau ulama saat ini, yang menempuh jenjang pendidikan tinggi, mulai S1 sampai S3.
Jika otodidak diartikan sebagai “belajar tanpa guru” maka Buya Hamka bukanlah ulama yang belajar tanpa guru. Justru, sejak kecil, Buya Hamka sudah dididik dan diarahkan oleh guru-guru yang hebat. Guru terpenting adalah ayahnya sendiri, seorang ulama dan pendidik yang hebat, bernama Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA).
Presiden Soekarno merupakan salah satu tokoh yang sangat menghormati HAKA. Bahkan, ia senantiasa menyebut dirinya sebagai anak angkat Syeikh Abdul Karim Amrullah – yang juga dikenal dengan nama Haji Rasul. Salah satu nasehat HAKA kepada Ir. Soekarno adalah: “Jangan terlalu mewah, Karno! Kalau hidup pemimpin terlalu mewah, segan rakyat mendekati!”.
Meskipun di waktu kecil sempat mengalami hubungan yang kurang akrab dengan ayahnya, tetapi ayahnya terus berdoa dan berusaha agar anaknya ini menjadi ulama. Dalam autobiografinya Hamka berucap: “Akan selamatlah suatu bangsa kalau orang tua dan gurunya mengenal jiwa anak diwaktu demikian”
Oleh ayahnya, Hamka sempat dimasukkan di sekolah Desa atau disebut juga sebagai Sekolah Arab di Padang Panjang. Namun hanya sampai kelas dua, karena ia mengikuti ayahnya untuk pulang kampung pada dua bulan sebelum bulan puasa tahun 1918. Hamka lahir tahun 1908, jadi ketika itu usianya baru 10 tahun.
Disamping ayahnya, guru lain yang berperan penting dalam membentuk kecintaannya terhadap ilmu adalah Zainuddin Labay el-Yunusy – kakak kandung dari Rahmah el-Yunusiyyah, pendiri Diniyah Putri Padang Panjang. Disebutkan, bahwa Zainuddin Labay adalah seorang guru hebat yang berhasil membuka pikiran Hamka.
Sejak kecil, Hamka sudah dididik agar menjadi ulama, seperti keinginan ayahnya. Hamka dipindahkan dari Sekolah Desa ke Madrasah Tawalib. Pagi dimasukkan di Sekolah Diniyah, sore ke Sekolah Tawalib. Di Sekolah Diniyah ia diajarkan menulis dan membaca menggunakan huruf Melayu dan huruf latin, serta pelajaran-pelajaran agama. Adapun di Sekolah Tawalib ia mendapatkan materi nahwu, sharaf, fiqih, hadist dan lainnya.
Di Sumatera Thawalib yang dibangun oleh ayahnya ini, Hamka mempelajari ilmu agama dan mempelajari bahasa Arab. Pemikiran Hamka terbuka ketika ia mendapatkan kursus bahasa Inggris oleh Sutan Marajo. Namun hanya beberapa lama, gurunya ini pindah ke Padang. Hamka kemudian menemukan kesenangan barunya di Perpustakaan Zainaro, yang didirikan oleh Zainuddin Labay dan Sinaro. Hampir setiap hari ia datang ke perpustakaan itu untuk meminjam buku dan membantu-bantu agar dapat membaca banyak buku. Di sinilah budaya ilmu mulai tertanam pada diri Hamka.
Pada tahun 1924, Hamka berangkat ke Jawa. Jadi, ketika itu umurnya baru 16 tahun. Di Pulau Jawa inilah Hamka belajar berbagai hal kepada guru-guru pejuang. Ia belajar Tafsir di rumah Ki Bagus Hadikusumo, ketua Muhammadiyah.
Hamka juga diajak untuk ikut belajar di Syarikat Islam, dengan terlebih dahulu harus masuk menjadi anggota dengan syarat berusia 18 tahun. Padahal, umurnya ketika itu baru 16 tahun. Namun, pamannya yang memintanya untuk mengaku telah 18 tahun, sehingga diterima. Ia kemudian mendapatkan pelajaran dari tiga tokoh besar dalam sejarah tanah air, yaitu H.O.S. Cokroaminoto yang mengajarkan “Islam dan Sosialisme, R.M. Suryopranoto yang memberikan materi “Sosilogi” dan “Agama Islam” oleh H. Fakhruddin, yang kelak kemudian menjadi pemimpin terkenal Muhammadiyah.
Pada tahun1925, Hamka berangkat ke Pekalongan. Enam bulan lamanya ia tinggal dengan iparnya Buya St. Mansur, yang juga tokoh Muhammadiyah. Di sini, Hamka dididik kepribadiannya, dengan harapan dapat menjadi tokoh-tokoh besar pergerakan Islam.
Setelah hampir setahun lamanya di pulau Jawa, Hamka kemudian pulang dengan membawa pandangan baru. Ia sudah mulai pandai berpidato dalam pertemuan-pertemuan ramai dengan berisi. Ketika di Sumatera, ia tanamkan perasaan pada dirinya, yaitu gabungan dari didikan Tjokroaminoto, Suryopranoto, Fakhruddin, Hadikusumo dan St. Mansur.
Tahun 1927 – ketika umurnya menginjak 19 tahun – Hamka pergi ke Mekkah untuk menuntut ilmu. Di sini ia bertemu dan belajar kepada para ulama besar. Namun, yang kemudian memberikan pengarahan agar segera kembali ke Tanah Air, adalah Haji Agus Salim.
Hamka menuruti nasehat Haji Agus Salim. Ia bersyukur, kemudian aktif dalam dunia pergerakan Islam dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada saat yang sama, Hamka terus belajar dan mengasah ketajaman penanya dengan melahirkan begitu banyak karya tulis.
Jadi, melihat perjalanan pendidikan Buya Hamka – sampai menjadi penulis, pejuang, dan ulama besar – beliau bukanlah seorang otodidak. Beliau memang pembelajar sejati. Tetapi, beliau tidak belajar sendiri, tanpa guru. Sepanjang perjalanan hidupnya, Buya Hamka dididik oleh guru-guru hebat. Dan memang begitulah rumus pendidikan yang ideal. Tiga pihak harus baik: pelajar, guru, dan orang tua!
Pentingnya memahami proses pendidikan Buya Hamka adalah agar kita memahami, bahwa Buya Hamka adalah produk pendidikan. Secara fisik, Buya Hamka sama dengan manusia lainnya. Yang membedakannya adalah proses pendidikannya. Hamka, dididik oleh guru-guru terbaik, dan telah menjalani kurikulum terbaik – yakni kurikulum kehidupan yang memadukan aspek adab dan ilmu secara adil. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 11 April 2023).
(NB. Data tentang Buya Hamka, dikutip dari buku: Adian Husaini dan Bambang Galih Setiawan, Pemikiran dan Perjuangan M. Natsir dan Hamka dalam Pendidikan (Jakarta: GIP, 2018).