Surat NGO Untuk Rohingya

by

NGO (non government organization) baik dalam maupun luar negeri mengecam keras kebiadaban yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap muslim Rohingya.

Wartapilihan.com, Jakarta – Perserikatan bangsa-bangsa PBB menyebut etnis rohingya sebagai etnis yang paling menderita di muka bumi. Daftar etnis minoritas ini talk di Myanmar tertindas di Bangladesh mayoritas etnis rohingya tinggal di Rakhine, salah satu bagian provinsi di Myanmar, namun dari Bangladesh sebaliknya, Bangladesh tidak mau menerima mereka karena dianggap sebagai warga Myanmar. Ketiadaan identitas ini menyebabkan mereka tidak memiliki akses pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal yang layak. Bahkan, ruang gerak mereka dibatasi hanya pada lingkup geografis tertentu.

Sejak 1982, etnis rohingya telah mengalami persekusi dan pengukuran berulang kali. Terakhir, sepanjang minggu ini, tidak kurang 3000 orang melarikan diri ke perbatasan Bangladesh karena kebrutalan yang dilakukan oleh militer Myanmar. Dalam sepekan ini, jumlah korban dari etnis Rohingya mencapai kurang lebih 800an orang, termasuk perempuan dan anak-anak.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal The Union of NGOs of The Islamic World Atty. Ali Kurt mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres tentang tanggung jawab kemanusiaan di Rohingya. Berikut kutipannya:

Yang Mulia,

Seperti Anda lihat dengan jelas, 15% populasi muslim di Rakhine Myanmar, telah mengalami genosida secara brutal dan kekejaman sebelum dunia beradab melalui operasi militer, di samping serangan Buddhis yang dimulai secara bersamaan di banyak wilayah Myanmar baru-baru ini.

Kekejaman yang diterapkan terhadap Muslim Rakhine si Myanmar ini adalah “pembersihan etnis” dan “genosida” Selama genosida yang dilakukan pada tahun 1938, 1942, 1954, 1978 dan 2012, ribuan Muslim Rakhine terbunuh dan ratusan ribu terpaksa meninggalkan daerah, sehingga menjadi pengungsi dan pembersihan etnis berubah menjadi sistematik.

Seperti diketahui, Muslim Rakhine terdaftar dalam daftar pertama sebagai “orang tanpa kewarganegaraan” menurut laporan Manusia PBB Biro Hak dan Pengungsi. Puluhan ribu orang Rakhine yang tertindas meninggalkan negara mereka karena agama dan alasan etnis berjuang untuk bertahan di negara-negara muslim lainnya. Dimana mereka berlindung, jutaan muslim yang tidak meninggalkan negara berusaha bertahan di Bangladesh. Mereka bisa masuk setelah mengatasi bahaya. Jika tidak, mereka berusaha bertahan di daerah dataran tinggi. Dan kehutanan di negara tersebut di bawah kondisi primitif serta berhadapan langsung dengan kematian setiap saat.

Muslim Rakhine merupakan persentase populasi yang cukup besar. Namun mereka berada dalam status minoritas di negara mereka sendiri. Selain menjadi muslim, mereka menutupi identitas sebagai seorang muslim dan berusaha membesarkan anak – anak mereka sesuai peraturan Islam. Kejahatan apa yang telah mereka lakukan! Mereka tidak punya senjata. Namun mereka menjadi sasaran, terkena bom, serangan dan genosida dengan senjata paling fatal oleh tentara yang dilengkapi dengan  kekuatan yang tidak proporsional.

Peristiwa di Myanmar saat ini sama dengan rasa empati umat manusia yang dimiliki oleh saudara laki-laki dan perempuan Bosnia-Herzegovina. Sayangnya, tanpa terkecuali anak-anak, anak perempuan, ibu, wanita, tua-muda, pria-wanita dibantai. Desa mereka di jarah, rumah di hancurkan, masjid, madrasah, pendeta dan tempat-tempat ibadah menjadi sasaran.

Dalam keadaan ini, negara tidak memberikan kartu identitas untuk bangsanya, tidak mengenali keberadaan mereka, anak-anak tidak bisa bersekolah, orang tidak bisa bepergian, menikah, punya harta dan sifat mereka disita di dunia modern. Dimana semua negara modern telah menandatangani “Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia”. Orang-orang Rakhine bahkan tidak bisa mendapatkan keuntungan dari hak dan kebebasan fundamental yang paling sederhana.

Pertanyaannya adalah mengapa dunia benar-benar terdiam sebelum tragedi ini, solusinya tidak dapat ditemukan dengan cara apa pun. Dalam satu abad ketika hak asasi manusia dan kebebasan digarisbawahi secara ketat, orang-orang di Myanmar dibunuh secara menyeluruh (genosida). Dalam menghadapi kekejaman ini, mengapa PBB membatasi diri hanya mengutuk dan tidak melakukan intervensi dengan cara yang lebih efektif?

Apakah tidak jelas bahwa keterlibatan sikap politis mereka tidak menghentikan kekejaman untuk berperilaku sejauh ini dan tidak akan berhenti di masa depan?

Sebagai Uni LSM Dunia Islam, sebuah organisasi payung LSM lebih dari 300 di 63 negara, kami mengundang PBB untuk segera melakukan tindakan melawan peristiwa tidak manusiawi ini, dan mengambil semua tindakan yang diperlukan termasuk intervensi de facto tanpa penundaan untuk mengakhiri semua kekejaman yang dilakukan oleh Negara Myanmar dan umat Buddha rasis. Dengan demikian, kita semua dapat menyelamatkan saudara laki-laki dan saudari Rakhine kita yang tertindas dari semua tindakan tidak manusiawi tersebut.

Sekretaris Jenderal The Union of NGOs of The Islamic World.

Atty. Ali Kurt.

Dalam negeri, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendesak PBB untuk ikut menangani secara sungguh-sungguh, bahkan bila perlu mengambil alih tragedi kemanusiaan yang telah dan sedang berlangsung secara terus menerus di Myanmar. Sudah terbukti secara meyakinkan pemerintah Myanmar tidak tersedia menghentikan praktik genosida terhadap etnis Rohingya.

“Kami mendesak pemerintah Bangladesh untuk membuka perbatasan demi alasan kemanusiaan, sehingga memungkinkan etnis Rohingya menyelamatkan diri dari persekusi pemerintah Myanmar,” kata Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bahtiar Effendy dalam keterangan tertulisnya yang diterima Warta Pilihan, Kamis (31/8).

Selain itu, dia juga mendesak ASEAN untuk menekan Myanmar agar menghentikan praktik genosida terhadap etnis Rohingya. Bila dalam waktu yang dipandang cukup hal tersebut tidak dilakukan oleh Myanmar, maka wajar bagi ASEAN untuk mempertimbangkan pembekuan keanggotaan negara tersebut di Asean. Karena besarnya jumlah korban, ASEAN perlu untuk tidak mengedepankan prinsip non-intervensi dan menggantinya dengan keharusan untuk ikut bertanggung jawab atas nasib dan melindungi etnis Rohingya.

“Kami meminta pemerintah Republik Indonesia untuk mengevaluasi kebijakan diplomasi sunyi yang selama ini diterapkan kepada Myanmar karena terbukti tidak berhasil mendesak Myanmar mengakhiri praktik-praktik genosida terhadap etnis Rohingya,” tegasnya.

“Kami juga mendesak Mahkamah Kejahatan Internasional untuk mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab atas praktek genosida terhadap etnis Rohingya di Myanmar,” imbuhnya.

Terakhir dia meminta para aktivis HAM dan kemanusiaan di seluruh dunia untuk memberikan perhatian serius terhadap kasus genosida etnis Rohingya sehingga tragedi bisa diakhiri. Muhammadiyah bersedia menjadi leading sector di dalam mengorganisasikan kegiatan masyarakat ASEAN dan dunia pada umumnya untuk menggalang bantuan dan dukungan kemanusiaan bagi etnis rohingya.

“Kami meminta pemerintah Republik Indonesia untuk mempertimbangkan kemungkinan disediakannya sebuah kawasan atau daerah di Indonesia untuk menampung sementara pengungsi rohingya sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap pengungsi perang Vietnam di Pulau Galang beberapa dekade silam,” tutupnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *