Produksi garam nasional pada 2016 hanya mencapai 144.000 ton dari kebutuhan sebanyak 4,1 juta ton. Pada tahun ini, harga garam meningkat lebih dari 100%, yang tadinya per kilogram hanya Rp. 1000, kini jadi Rp. 4.000 hingga Rp. 4.500. Bagaimana peran pemuda atasi masalah ini?
Wartapilihan.com, Jakarta –Andreas Senjaya, pemilik dan penemu iGrow menjelaskan, solusi dan aksi harus dilakukan oleh pemuda. Ia bersama kawan-kawannya bergerak untuk memberdayakan petani garam dalam rangka atasi salah satu masalah negeri berupa langkanya produksi garam dan mahalnya harga garam bagi rumah tangga maupun industri.
“Isu tentang garam mulai mencuat di media; kita berpikir ada yang salah dari proses distribusi, produksi dan konsumsi yang dilakukan pemerintah terhadap hal ini (kelangkaan garam),” tutur Andreas kepada Warta Pilihan, Jum’at (1/9/2017).
Andreas yang sebelumnya sudah bergerak melalui iGrow untuk meningkatkan kesejahteraan petani di Indonesia, kini juga akhirnya terinspirasi untuk ‘menanam’ garam juga, yang sebelumnya belum disentuh oleh iGrow. Ia memberdayakan 20 petani di daerah Cirebon, Jawa Barat di lahan seluas 10 hektar.
“Kita baru penanaman baru mulai. Sekarang sudah selesai persiapan tanahnya, kira-kira 10 hektar. Kemungkinan pekan depan seharusnya sudah panen,” ungkap Andreas.
Ia mengatakan, mekanisme yang selama ini dilakukan iGrow ialah berperan sebagai pemodal, menghimpun
pngalaman, kemampuan, dan finansial dari para investor yang bergerak. Ia menjelaskan, iGrow merupakan sebuah aplikasi yang menghubungkan antara petani, pemilik lahan tidak terpakai dan investor.
“iGrow itu seperti penanaman di berbagai wilayah di Indonesia, dengan cara menghubungkan antara stakeholder-stakeholder pertanian yang tadinya tidak terhubung satu sama lain. Seperti pemilik modal, pemilik lahan tidak terpakai, dan petani,” jelasnya.
Ia mengatakan, ketika baru saja iGrow rilis mengenai garam, kurang dari 36 jam lahan investasi bagi investor habis dilahap; sehingga terkumpul dana yang akan dikelola sebanyak 4 Miliar. IGrow merencanakan, harga garam akan sama atau lebih murah dari pasaran.
“Masih ada beberapa yang masih menunggu transfernya memang, tapi sudah habis. Kira-kira 19 persen per tahun bagi hasil dengan investor. Kita gak merencanakan (harga garam) untuk lebih mahal. Mungkin sama atau bahkan lebih murah,”
“Untuk ke depannya akan terus berlanjut, dan mungkin akan diperluas lagi untuk lahan yang baru,” paparnya.
Sebagai pemuda, lulusan Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia ini mengatakan, dalam masalah garam ini perlu untuk melihat solusi sebagai penyelesaian masalah, bukan hanya sekedar menganalisa dan menggunjing, kemudian mengkritik tanpa aksi.
“Kalau yang jadi masalah kualitas, maka itu yang jadi PR buat kita dan kita segera perbaiki kualitas. Kalau yang jadi masalah kuantitas, bagaimana caranya membuka lahan baru untuk produksi. Intinya sih berpikir bagai mana solusi untuk menyelesaikan masalah, bukan hanya sekedar menganalisis dan menggunjingserta mengkritik tanpa aksi,” jelas Andreas.
Ia mengaku optimis dengan masuknya garam lokal ke pasaran. Pasalnya, ia menganalisa pada industri masih membutuhkan banyak garam. Hal itu, baginya, justru dapat dijadikan peluang.
“Sebelum mulai menanam kita sudah melihat dulu suplai dan demand-nya. Untuk hal ini sih harusnya tidak jadi hal yang terlalu sulit. Lagipula kita masih butuh banyak jumlah garam industri, justru itu jadi keuntungan ketika ada lokal yang mau untuk bisa masuk ke pasaran,” tandasnya.
Eveline Ramadhini