Sukmawati Memecah Belah Persatuan

by
Sukmawati. Foto; Istimewa

“Perilaku arogan Sukmawati dengan mengkultuskan diri sebagai pemilik negara adalah absurd, arogan, kronisme dan cenderung primordialisme. Namun harus diingat bahwa bangsa ini tidak pernah diperjuangkan oleh kelompok, satu orang, satu suku dan agama,” ujar Natalius Pigai.

Wartapilihan.com, Jakarta –Pembacaan puisi berjudul ‘Ibu Indonesia’ oleh Sukmawati Soekarnoputri sempat viral di media sosial yang dapat berbuntut panjang karena dianggap melecehkan agama Islam.

Mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai menuturkan, apa yang dipertontonkan Sukmawati adalah wujud nyata sikap pemimpin yang cenderung destruktif terhadap bangunan sosial, budaya dan agama di negeri ini yang dibangun dengan susah payah oleh para pendiri bangsa.

“Para penegak hukum mengikuti kemauan kekuasaan, hukum menyertai opini para kaum oligarki mengabaikan asas keadilan (fair trail dan due proces of law),” ujar Pigai kepada Warta Pilihan di Jakarta, Kamis (5/4).

Maka, lanjut Pigai, tidak mengherankan jika Presiden sebagai simbol negara ikut merendahkan wibawa negara, turun dari Bizantium hanya sekedar memenuhi keinginan kekelompok kecil yang naif. Ia menilai, tindak tanduk pemimpin negeri ini sangat kontras dengan selama ini berkoar-koar adagium Bhineka Tunggal Ika sebagai salah satu tiang penyangga (pilar) berdirinya negara bangsa Indonesia.

“Perilaku arogan Sukmawati dengan mengkultuskan diri sebagai pemilik negara adalah absurd, arogan, kronisme dan cenderung primordialisme. Namun harus diingat bahwa bangsa ini tidak pernah diperjuangkan oleh kelompok, satu orang, satu suku dan agama,” katanya.

Karena itu, saran Pigai, pemimpin negeri ini, Presiden, MPR, DPR dan Pengelola negara harus mencari jalan keluar untuk mampu memastikan adanya jaminan kehidupan dan eksistensi komunitas suku, agama, ras dan antar golongan dengan jalan baru yaitu menempatkan simbol-simbol negara bangsa secara dinamis, fleksibel dan mampu menampung seluruh ideologi, pandangan hidup, nilai budaya, ideologi agama yang ada, lahir, tumbuh, dan berkembang.

“Negara harus hadir dalam mengimplementasikan Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika. Sampai kapanpun, bangsa ini akan bermasalah ketika penetrasi Islam transnasional begitu kencang berkembang pada mayoritas, namun negara menutup ideologi, dan agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia,” tandas Pigai.

Tim Advokat GNPF Ulama Kamil Pasha meminta kepolisian memproses laporan masyarakat kendati Sukmawati sudah menyampaikan permohonan maafnya dalam konferensi pers di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (4/4).

“Proses hukum harus terus berjalan, agar dapat menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk tidak sembarangan bertindak dan berucap,” pinta Kamil.

Terlebih, kata dia, puisi Sukmawati bukan hanya menyerang pribadi muslim semata, tapi juga penodaan terhadap syariat Islam sekaligus gangguan dan ancaman terhadap ketertiban umum, persatuan dan kesatuan yang jadi konsern Pasal 156a KUHP.

“Jika kasus-kasus penodaan agama seperti ini hanya selesai dengan permintaan maaf atau penyesalan di atas materai 6000, dikhawatirkan akan terus berulang karena tidak ada konsekuensi hukum berat yang menimpa pelakunya,” tutur Kamil.

“Apalagi mengingat betapa angkuhnya Sukmawati terkait wacana perdamaian dan pencabutan laporan terhadap Habib Rizieq Shihab pada Januari 2017 silam,” imbuhnya.

Pengamat hukum Luthfi Hakim menuturkan, permintaan maaf Sukmawati dari konteks hukum termasuk hal-hal yang meringankan. “Kalau dia (Sukmawati) tidak minta maaf, maka jadi hal-hal yg memberatkan,” ucap Luthfi saat dihubungi Warta Pilihan.

Sementara itu, pengamat hukum Ferdinand menjelaskan bahwa puisi Sukmawati merupakan karya seni yang bersifat border less. Sastra, kata Ferdinand merupakan karya seni dan seni adalah produk budaya.

“Hukum juga proses budaya ciptaan manusia yang menjadi sistem nilai. Siapa yang bisa menafsirkan bahwa puisi Sukmawati menghina agama dapat ditanyakan kepada ahli bahasa,” terang dia kepada Warta Pilihan.

Dalam konferensi pers, Sukmawati mengatakan bahwa puisi Ibu lndonesia yang ia bacakan sesuai dengan tema dari acara pagelaran busana yakni cultural identiti, yang mana semata mata adalah pandangan saya sebagai seniman dan budayawan dan murni merupakan karya sastra Indonesia.

“Saya mewakili pribadi, tidak ada niatan untuk menghina umat Islam Indonesia dengan Puisi Ibu indonesia. Saya adalah seorang muslimah yang bersyukur dan bangga akan keislaman saya,” ujar dia.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *