Unsur Pidana Alfian Tanjung Tidak Terpenuhi

by
Alfian Tanjung. Foto: Istimewa

“Menunjuk kepada kategori korban adalah orang, maka Partai Politik (in casu PDI-P), tidaklah terpenuhi unsur tindak pidana yang didakwakan,” ujar Abdul Chair Ramadhan.

Wartapilihan.com, Jakarta –Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali melakukan sidang terhadap terdakwa Alfian Tanjung, Rabu (4/4). Alfian didakwa melakukan pencemaran nama baik karena menyatakan 85 persen anggota PKI ada di PDI Perjuangan.

Saksi ahli yaitu pakar hukum Abdul Chair Ramadhan dalam sidang mengatakan,
Jaksa Penuntut Umum menggunakan dakwaan subsidair yang dialternatifkan. Menurutnya, karakteristik dakwaan alternatif adalah saling mengecualikan dan memberi pilihan kepada Hakim untuk menentukan dakwaan mana yang kiranya tepat untuk dipertanggungjawabankan.

“Adapun syarat dakwaan alternatif dapat dikemukakan yakni, beberapa pasal yang didakwakan berada dalam persintuhan dua atau beberapa pasal tindak pidana yang saling berdekatan corak dan ciri kejahatannya,” ujar Chair.

Namun, lanjutnya, peristiwa pidana itu tidak sampai menimbulkan “titik sintuh” perbarengan atau concurcus idealis maupun concurcus realis. Betapa dekatnya titik singgung antara pasal yang didakwakan antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan lain perkataan antara pasal yang satu dengan yang lainnya terjalin “titik singgung” yang bisa meragukan dalam suatu peristiwa pidana, oleh karenanya Penuntut Umum mendakwa dengan dakwaan alternatif.

Dakwaan Penuntut Umum tidak dirumuskan dengan jelas dan cermat, sebagaimana dimaksudkan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Seharusnya dinyatakan batal demi hukum sebelum masuk pokok perkara, sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat 3 KUHAP, berbunyi : Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b “batal demi hukum”. Hal ini dapat dilihat dari dakwaan yang tidak mengkonkritkan antara norma hukum pasal yang didakwakan dengan fakta hukum yang terjadi.

“Semua dakwaan menyatakan dengan frasa mempengaruhi persepsi masyarakat untuk membangkitkan rasa kebencian terhadap PDI Perjuangan, padahal masing-masing unsur pasal berbeda satu dengan yang lainnya.
Dakwaan kesatu primair, menunjuk pada Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 A ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE),” paparnya.

Yang menjadi pertanyaan, kata Chair adakah akibat nyata yang dapat dibuktikan telah terjadi peningkatan rasa kebencian terhadap PDI Perjuangan? Sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum. Dalam hal ujaran kebencian menurut Ahli haruslah ada ungkapan rasa marah secara eksplisit.

“Ungkapan rasa marah itu kemudian menimbulkan rasa kebencian terhadap pihak yang dituju. Berdasarkan analisis yang telah Ahli lakukan, tidak ditemuidanya ungkapan rasa marah pada diri terdakwa. Seiring dengan itu, Penuntut Umum pun tidak menyebutkannya dalam surat dakwaan. Kemudian, menyangkut tentang golongan korban ujaran kebencian, tidaklah termasuk di sini Partai Politik,” jelasnya.

Ia menerangkan, golongan dimaksud adalah golongan penduduk berdasarkan hukum tata Negara, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 156 KUHP, sebagai lex generalis Pasal Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Pasal 28 ayat (2) UU ITE juga tidak memenuhi unsur “tanpa hak”. Sebab, informasi tersebut adalah bukan didapat secara melawan hukum (tanpa hak), melainkan dengan hak, sebab disampaikan oleh Ribka Tjiptaning sendiri melalui media elektronik, dan telah menjadi “pengetahuan umum.”

Pada dakwaan kesatu subsidair menunjuknpada Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE. Masuknya Pasal 27.ayat (3) tidaklah tepat, sebab ujaran kebencian hanya diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE, tidak pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dengan norma hukum pokok, yakni Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict, yang mensyaratkan adanya pengaduan.

Tegasnya, papar Chair, Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan. Pihak yang berhak mengadukan) adalah orang (naturlijk person) bukan badan hukum (recht person). Dengan demikian, dipertanyakan legal standing pelapor yang mengatasnamakan sebagai fungsionaris partai (in casu PDI Perjuangan), sebagai korban.

“Oleh karenanya, dapat dikatakan tidak ada kasus dalam hal ini, no cases!,” tegas dia.

Selain itu, dakwaan kedua primair menunjuk Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP. Perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela “kepentingan umum” atau terpaksa untuk membela diri. Terhadap apa yang dinyatakan oleh Terdakwa adalah dalam rangka membela kepentingan umum dari adanya indikasi “kebangkitan komunis” di Indonesia dengan berbagai bentuknya, dan berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Pasal 310 KUHP mensyaratkan adanya perbuatan dengan cara “menuduh” seseorang telah melakukan perbuatan tertentu. Adapun yang dilakukan oleh Terdakwa bukanlah termasuk perbuatan menuduh. Kesemua pernyataan tersebut didasarkan pada pernyataan (pengakuan) Ribka Tjiptaning pada saat wawancara di stasiun 3 Televisi.

“Tegasnya, apa yang dinyatakan terdakwa berdasarkan pengakuan kader PDI-P yakni Ribka Tjiptaning. Selain itu, menunjuk kepada kategori korban adalah orang, maka Partai Politik (in casu PDI-P), tidaklah terpenuhi unsur tindak pidana yang didakwakan,” ucapnya.

Terlebih lagi, Pasal 310 ayat (1) digabungkan dengan ayat (2). Padahal ayat (1) berupa lisan sedangkan ayat (2) berupa tulisan. Dengan mengacu kepada postulat “lex specialis derogate lex generalis”, berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP, maka Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak dapat lagi diterapkan.

“Perlu dicatat, bahwa keberlakuan Pasal 311 ayat (1) menujuk kepada Pasal 310 KUHP. Penerapan Pasal 311 ayat (1) KUHP, barulah dapat diterapkan apabila Hakim akan mengadakan pemeriksaan apakah betul-betul penghinaan itu telah dilakukan oleh terdakwa karena terdorong membela kepentingan umum atau membela diri,”.

Jikalau memang terdakwa meminta
untuk diperiksa (Pasal 312 KUHP), simpul Chair, apabila pembelaan itu tidak dapat dianggap oleh Hakim, sedangkan dalam pemeriksaan itu ternyata, bahwa apa yang dituduhkan oleh Terdakwa itu tidak benar, maka tidak disalahkan menista lagi, akan tetapi dikenakan Pasal 311 KUHP (memfitnah).

“Disini, Penuntut Umum telah mendahului Hakim. Apabila Pasal 310 KUHP tidak terpenuhi, maka secara otomatis Pasal 311 KUHP juga tidak terpenuhi,” tutupnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *