Sebagai penulis saya terkadang menceritakan dari sudut pandang kedua belah pihak yang bertikai.
Wartapilihan.com, Depok– Misalnya, saya menulis dari pihak kalangan filsafat ( ilmu kalam ) berpendapat begini, dan kemudian dari sudut pandang pihak kalangan ahlussunah begitu. Lalu akhirnya saya simpulkan menurut pendapat saya.
Tapi ada penulis yang menulis berdasarkan dari sudut pandang sepihak saja.
Misalnya, ia menulis dari sudut pandang mutakallimin saja atau dari ahlussunnah saja.
Kata kalangan mutakallimin orang yang mengklaim ahlussunnah itu salah paham.
” Kami menggunakan falsafah sepanjang tidak melampaui nash Qur’an wa Sunnah “.
Lalu kata ahlussunnah, muttakallimin zindik.
Dan ada juga penulis yang menulis dari dua sudut pandang yang berbeda, misalnya dari sudut pandang Mutakallimin dan dari sudut pandang Ahlussunnah juga, dan dia tidak menyimpulkan menurut pendapatnya, melainkan dia serahkan kepada pembaca untuk menyimpulkan sendiri mana yang benar dan mana yang salah.
Ini tipe penulis berita berimbang namanya, tanpa berpihak.
Saya sebagai menganut ilmu tauhid ahlussunnah memberi kesimpulan bahwa pemahaman ahlusunnah adalah yang benar berdasarkan dalil nash dan akal, karena bagaimanapun dalam beragama ( Islam ) bahwa akal tetap memiliki peran di samping iman untuk mendapatkan kebenaran.
Satu contoh, Umar bin Khattab radhiallahu anhu berkata kepada Hajar Aswad ; ” Kau hanya batu, kalau aku tidak melihat Rasulullah menciummu maka aku tidak akan menciummu.. “.
Perkataan ini menandakan bahwa akal Umar bin Khatab ikut berperan dalam hal ini, ialah maksud Umar bin Khattab bahwa dia tidak sekedar mencium dengan taqlid tapi ittiba’ur Rasul.
Ada orang yang mengikut saja tanpa berpikir sebagaimana cara Umar bin Khattab, bisa jadi dia terpeleset kepada khurafat, yaitu pemberhalaan terhadap batu hitam tersebut.
Oleh karena itu, batu tersebut dilindungi dan dijaga, karena di masa lalu ada banyak orang yang mencongkel untuk mengambil serpihan batu tersebut.
Dan begitu pula terhadap batu-batu di dinding Ka’bah untuk dibuat jimat ( diberhalakan ).
Bagi filosof bahwa Umar bin Khattab dalam hal ini menggunakan akal budi atau filsafat.
Sedangkan bagi ahlussunnah, Umar bin Khattab adalah seorang mukmin yang muttaba’ah, mengikuti Rasul dengan iman dan akal sehat, tidak membabi buta.
Bagi saya akal tetap diperlukan sepanjang tidak melampaui Al Qur’an was Sunnah.
Akal tidak boleh dikesampingkan dan juga tidak boleh dibiarkan liar sehingga diberhalakan, tapi akal wajib tunduk ketika kebenaran Al Qur’an was Sunnah telah disampaikan, apakah itu menyangkut hal yang nyata, terjangkau oleh indera ataupun yang ghaib yang tak terjangkau oleh pikiran manusia.
Wallahu a’lam.
( Iwan Hasanul Akmal )