“Secara etika dan moral hukum, hal ini (kaburnya narapidana) bisa dimaklumi, karena secara naluriah mereka butuh keselamatan jiwa, juga informasi tentang kondisi keluarga mereka di luar,” ujar Ditjenpas Sri Utami.
Wartapilihan.com, Jakarta — Seribuan narapidana di Lapas Kelas II A Palu dilaporkan kabur setelah gempa berkekuatan 7,4 SR menghancurkan bangunan lapas. Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Sri Puguh Budi Utami mengatakan, kaburnya para tahanan dan narapidana di lapas Palu, Rutan Poso dan Rutan Donggala, semata-mata sebagai kebutuhan penyelamatan diri atas dampak gempa.
“Kondisi ini terjadi karena bangunan lapas dan Rutan di wilayah tersebut secara nyata rusak serta mengancam keselamatan mereka (narapidana dan tahanan),” ujar Utami yang baru saja kembali dari pemantauannya ke daerah bencana tersebut, Senin (1/10).
Ia tidak menampik sempat ada provokasi perlawanan dengan pembakaran oleh penghuni di Rutan Donggala. Menurutnya, secara etika dan moral hukum, hal ini bisa dimaklumi, karena secara naluriah mereka butuh keselamatan jiwa, juga informasi tentang kondisi keluarga mereka di luar. Ini terbukti dengan sebagian besar mereka kembali melaporkan diri ke lapas rutan.
“Lumpuhnya penyelenggaraan layanan, khususnya layanan makan serta kondisi hunian yang belum seutuhnya dapat dipergunakan, menjadi pertimbangan mereka tetap berada di masyarakat atau dekat dengan keluarganya,” jelas Utami.
“Karena itu, Ditjen PAS akan mempertimbangkan situasi kedaruratan dan akan menentukan batas maksimal kepada tahanan dan narapidana sebagai komitmen menjalani tindak pidananya,” sambungnya.
Utami menjelaskan, pihaknya juga akan melakukan relokasi pembangunan seutuhnya di Rutan Donggala, karena seutuhnya tidak dapat berfungsi pasca pembakaran.
Sementara, pemulihan bangunan tingkat berat akan dilakukan di Lapas Palu, tembok antar bangunan dan tembok luar yang roboh. Sedangkan pemulihan tingkat sedang dilaksanakan Rutan Parigi dengan pembangunan tembok luar yang roboh. Dan pemulihan tingkat ringan dilakukan di Rutan Palu terhadap keretakan di bagian dalam rutan.
“Pimpinan wilayah telah melakukan koordinasi dengan Pemda dan kami berkoordinasi dengan Kementrian Keuangan, BAPPENAS, BNPB untuk dukungan kebutuhan darurat dan upaya pemulihan,” katanya.
“Kami mengusulkan kepada Bapak Menteri untuk menetapkan kondisi Pemasyarakatan di Palu dan sekitarnya sebagai Wilayah Darurat Gempa,” imbuh Utami.
Saat ini, terdapat 15 UPT (unit pelaksana teknis) di wilayah Sulawesi Tengah dan 8 di antaranya terkena dampak gempa. Sedangkan jumlah hunian keseluruhan sebanyak 3220 orang narapidana dan tahanan, over 123% dari kapasitas seharusnya.
UPT yang berdampak gempa adalah Lapas Palu, Rutan Palu, Rutan Donggala, Cabang Rutan Parigi, Rutan Poso, Bapas Palu, LPKA Palu, dan LPP Palu.
“Kami juga akan melengkapi pendataan tahanan dan narapidana yang berada di luar atas situasi penyelamatan dari robohnya bangunan lapas dan rutan, serta menetapkan masa transisi sebagi respon situasi tanggap darurat, dengan himbauan wajib lapor sampai dengan dapat berfungsinya secara utuh layanan lapas dan rutan,” tandasnya.
Untuk kepentingan pengendalian dan ketertiban keamanan lapas rutan, simpul dia, pihak wilayah dan lapas rutan bekerjasama dengan kepolisian dan TNI.
Sementara, kontributor Wartapilihan.com menjelaskan, kondisi sosial masyarakat di sekitar Kota Palu setelah gempa dan tsunami yang menerjang nampak tak terkendali. Setelah minimarket dan toko kelontong dikuras isinya oleh warga, kini SPBU pun tak luput dari penguasaan warga setempat.
“Semua SPBU di Kota Palu dan sekitarnya sementara ini dikuasai warga dan tidak ada penjagaan baik dari polisi atau tentara,” kata kontributor di Palu, Umar Masyhur Palupuri, Senin (1/10).
Menurutnya, aparat tidak mengambil tindakan tegas karena dikhawatirkan terjadi keributan yang lebih besar. “Jadi sementara seolah dibiarkan saja agar tidak terjadi chaos,” ujarnya.
Sementara itu, Pelabuhan Pantoloan di Kota Palu sudah mulai dibuka untuk kapal pengangkut logistik bagi korban bencana.
“Tadi ada kapal Lambelu masuk, tapi masyarakat juga sudah standby di bawah kapal, mereka mencegat bantuan yang datang,” kata Umar.
Menurutnya, tindakan itu dilakukan karena masyarakat telah frustasi lantaran bantuan yang lambat masuk dan pemerintahan yang seolah tidak berfungsi.
“Apalagi sebelumnya Menkopolhukam dan Mendagri membolehkan masyarakat mengambil barang-barang dari minimarket dan toko kelontong yang ada,” jelasnya.
Berdasarkan data dari Disaster Management Institute of Indonesia (DMII), hingga Senin (1/10/2018), tercatat 1.203 orang meninggal dunia, 46 orang hilang, 540 terluka dan 16.372 mengungsi.
Ahmad Zuhdi