Akhir-akhir ini, istilah Radikal kembali muncul ke permukaan. Organisasi massa(Ormas) yang dituduh radikal menjadi sorotan. Wacana pembubaran Ormas yang dinilai Radikal pun mengemuka. Bahkan ada pimpinan Ormas yang meminta kepada pemerintah untuk membubarkan Ormas yang menurutnya sebagai Ormas radikal, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai NKRI.
Istilah radikal berasal dari kata Latin, radix, yang punya arti “akar”. Secara filosofis, radikal adalah memahami sesuatu sampai ke akar-akarnya, secara mendalam.
Dalam konteks pemahaman ajaran agama, maka radikal adalah memahami ajaran agama tertentu secara mendalam. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu arti kata radikal adalah “Secara mendasar(sampai pada hal-hal yang prinsip).”
Encyclopædia Britannica, menarasikan, kata “radikal” dalam konteks politik, pertama kali dipopulerkan oleh Charles James Fox pada tahun 1797, ketika ia mendeklarasikan “reformasi radikal” sistem pemilihan. Begitulah, kata radikal menjadi istilah yang bisa ditarik kesana-kemari: sosial, politik, filsafat, agama, dan sebagainya.
Maka, ketika kata radikal disematkan kepada sebuah komunitas atau pemeluk agama tertentu, maka persoalannya menjadi kabur. Islam radikal misalnya, bisa dimaknai bahwa sebuah komunitas atau seseorang menganut faham yang berlebihan dalam melaksanakan ajaran agamanya. Dan sebagai konsekuensinya, komunitas atau perseorangan itu melakukan aksi “kekerasan” dalam mengaplikasikan ajaran agama yang dianutnya. Misalnya, ingin mengubah sebuah idiologi negara dengan cara-cara kekerasan.
Jika pemahaman tersebut dinisbahkan kepada ormas, komunitas, atau perseorangan dalam Islam, tentu bias. Mengapa? Karena sebagian umat Islam memahami bahwa radikal dalam Islam itu diperlukan, sebagaimana fundamentalisme dalam Islam juga dibutuhkan. Seorang muslim bahkan dituntut untuk radikal, dalam arti, memahami ajaran agamanya secara sungguh-sungguh, sampai ke akar-akarnya.
Itu sebabnya, seorang aktifis dakwah seperti Ustadz Haris Amir Falah, menolak istilah radikalisme disematkan kepada komunitas Islam. Bahkan ide “de-radikalisasi” yang dicanangkan oleh BNPT(Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), menurut pemahaman kalangan jihadis, sama halnya dengan program “memurtad”-kan umat Islam.
Jika yang dimaksud dengan radikal itu adalah sebuah pemahaman atau perbuatan yang melampau batas, Islam punya istilah “Ghuluw” atau ekstrim. Pemahaman dan atau perbuatan yang ekstrem inilah sebenarnya yang perlu dicegah. Di jaman awal Islam, sifat ghuluw itu disematkan kepada kelompok khawarij yang dalam pemahaman maupun perbuatannya sungguh melampaui batas.
Di era modern ini, para ulama menyematkan sifat ghuluw kepada kelompok ISIS yang ada di Irak(dan sebagian di Suriah). Bahkan, sebagian besar ulama Timur Tengah telah mengeluarkan fatwa bahwa ISIS adalah kelompok sesat dan jauh dari ajaran Islam yang cinta damai. Wallahu A’lam.
Herry M. Joesoef