Sudah bukan rahasia lagi, bila bawang putih yang biasa menjadi kebutuhan pokok masyarakat, sebagian besar berasal dari impor. Selama ini, kebutuhan bawang putih dalam negeri, 90% di antaranya dipenuhi oleh impor. Petani bawang Indonesia sudah kalah dengan petani-petani Cina atau India.
Kementerian Pertanian (Kementan) menyebutkan kebutuhan bawang putih nasional sebanyak 500.000 ton per tahun. Kuota yang dapat dipenuhi dari pasokan dalam negeri hanya 20.000 ton per tahun.
Sayangnya, meski sudah dibantu impor, harga bawang putih di dalam negeri tetap mengalami kenaikan yang signifikan. Dari harga normalnya sekitar Rp 28.000 tiba-tiba harganya bisa melesat hingga mencapai Rp 60.000 per kilogram dalam periode yang singkat, menjelang bulan Puasa lalu.
Lalu apakah negara selama ini tidak mencari solusi untuk meningkatkan produksi bawang putih? Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan, Indonesia bukan tidak punya lahan untuk menanam bawang putih. Namun, perdagangan komoditas ini sudah sangat terbuka.
Sehingga produk bawang putih dari luar negeri tak perlu ijin khusus untuk bisa masuk pasar Indonesia. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, juga menyatakan hal yang sama, selama ini bawang putih sepenuhnya diatur oleh mekanisme pasar.
Harga yang terbentuk di pasar, murni dari mekanisme suplai dan deman. Jadi kalau petani bawang putih di sini menjual hasil pertaniannya lebih mahal dari impor, ya tak akan kan dibeli pengumpul. Semua akan memilih bawang impor.
Hal ini pula yang membuat pemerintah selama ini kesulitan mengendalikan mekanisme perniagaannya. Harga bawang putih yang selama ini lonjakan harganya begitu tajam, menjadi bukti bahwa ketiadaan peran negara sangat merugikan bagi rakyat.
Selain bawang putih, komoditas pertanian lain yang juga diserahkan ke mekanisme pasar adalah perdagangan singkong. Ya, produk yang sangat dikenal dan banyak dijumpai di setiap sudut kebun di tanah air ini ternyata pemenuhan kebutuhannya juga melalui impor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang Januari-April 2017, impor singkong dari Vietnam mencapai 1.234 ton dengan nilai US$ 499,8 ribu. Sedangkan pada April 2017 impor singkong mencapai 499,8 ton dengan nilai US$ 94,6 ribu.
Pemerintah beralasan, impor singkong selama ini untuk memenuhi kebutuhan pada posisi suplai yang kurang, seperti menutup kebutuhan industri. Pabrik-pabrik yang menggunakan bahan baku singkong, memang perlu mengonsumsi singkong agar tak berhenti beroperasi.
Pemerintah sendiri, memang belum mengatur tataniaga singkong ini. Padahal Pemerintah Indonesia semestinya meniru kebijakan pangan negara maju, seperti Amerika Serikat dan Cina, yang tetap memprioritaskan kepentingan petani dan industri dalam negeri melalui berbagai kebijakan yang bertujuan menghambat dan mengendalikan membanjirnya pangan impor.
Tiongkok misalnya, mengendalikan bahan pangan impor, seperti gula dengan mengenakan sanksi ketat melalui kenaikan bea masuk impor. Meskipun pemerintahan di sana tetap mengizinkan impor 1,94 juta ton gula dengan bea masuk impor 15%, sebagai bagian dari komitmennya terhadap Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Bagaimana pun, negara perlu menunjukkan kehadiran dan keberpihakan terhadap petaninya sendiri. Tanpa intervensi dan perlindungan pemerintah maka nasib petani dalam negeri, bahkan di negara maju sekalipun, akan terus lemah dan kalah oleh produk pangan impor yang disubsidi pemerintah negara eksportir.
Apalagi, jika kehadiran produk impor itu justru didukung oleh kekuatan tertentu yang menguasai perdagangan dalam negeri, misalnya demi kepentingan perburuan rente impor.
Saat ini pemerintah memang mulai memandang perlu pengaturan perniagaan komoditas pertanian, yang karena alasan tidak terlalu menjadi kebutuhan utama masyarakat, mekanismenya malah diserahkan ke pasar. Kementerian Perdagangan, memang baru saja menggulirkan aturan tata niaga bawang putih.
Diharapkan dengan aturan ini nanti, impor tidak lagi bebas. Importir harus dapat rekomendasi dari Kementerian Pertanian, setelah itu baru izin dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan. Selain itu, Seluruh distributor, sub distributor, dan agen wajib daftar. Kemudian harus daftar gudang dan posisi stok.
Hal ini akan memudahkan pemerintah untuk mengendalikan harga. Tak ada lagi yang bisa mempermainkan harga, karena semua stok dan mata rantai distribusinya termonitor dengan baik.
Selain itu, Kementerian Perdagangan juga sudah membuat kesepakatan dengan importir dan pedagang, untuk menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang bisa dievaluasi secara berkala.
Tentu, selain pengaturan tata niaga, pemerintah juga perlu mendorong swasembada komoditas pertanian yang seharusnya bisa dilakukan secara mandiri. Di sini, peran pemerintah untuk memberi subsidi yang tepat kepada petani perlu dilakukan. Sehingga, ketergantungan impor bawang putih, bahkan singkong bisa hilang.
Rizky Serati