Perppu Ormas Dalam Pandangan Mahasiswa

by
Forum Nasional Mahasiswa Universitas Indonesia mengenakan jaket kuningnya sebagai aksi unjuk rasa tolak Perppu, di DPR RI (16/8/2017).

Perppu Ormas No 2 tahun 2017 mendapatkan pertentangan dari berbagai umat Islam. Bagaimana mahasiswa memandang Perppu ini?

Wartapilihan.com, Depok –Anggota Forum Mahasiswa Nasional Universitas Indonesia, Sheila RJ mengkritik, Perppu ini merupakan cek kosong bagi negara untuk merepresi organisasi warga yang tidak mereka sukai dengan label “Anti Pancasila” dengan cara praktis. Pasalnya, dalam Perppu Ormas ini negara dapat secara langsung membekukan atau membubarkan sebuah lembaga masyarakat yang dianggap memiliki ideologi bertentangan dengan Pancasila, tanpa pengawasan ataupun proses peradilan.

Sheila melihat, ada kejanggalan dalam penetapan Perppu ini. Pasalnya, jika kelompok intoleran memang ada sejak dulu, semestinya UU Ormas dapat direvisi. Namun, kesadaran seolah datang terlambat dan panik, sehingga ditetapkan Perppu dengan terburu-buru.

“Anehnya, kesadaran akan ‘bahaya’ ormas intoleran baru muncul sekarang
? Pemerintah merasa terjepit waktu, panik, serta tidak yakin untuk mampu menjalani keseluruhan proses secara paripurna,” ujar Sheila dalam acara Diskusi Lingkar, di Coffee Toffee, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok, Selasa siang (8/8/2017).

Adapun beberapa hal yang dikritisi dari berbagai aspek, mahasiswa Kriminologi Universitas Indonesia ini menekankan, Perppu Ormas ini janggal dalam hal prosedur penyusunan dan juga ambiguitas norma.

Pertama, dalam hal prosedur penyusunan, penerbitan Perppu Ormas tidak memenuhi urgensi ‘Hal ihwal kegentingan yang memaksa’ yang telah diatur dalam pasal 22 UUDNRI tahun 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 38/PUU-VII/2009 yang dapat disusun berdasarkan kekosongan hukum. “Perubahan substansi tentang Ormas tidak memiliki urgensi untuk diatur dengan Perppu, karena pada praktiknya, UU tentang Ormas telah memadai sehingga tidak terjadi kekosongan hukum,” papar Sheila.

Kedua, terjadi ambiguitas norma, yakni keambiguan dalam penafsiran UU, sehingga dapat ditafsirkan sesuai dengan keinginan pemerintah, seperti yang tercantum dalam pasal 59 ayat 3 yang mengatakan ‘dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan’. “Rumusan tersebut sangatlah ambigu dan luas sehingga membuka ruang penafsiran yang tidak terbatas oleh penegak hukum untuk mengkategorikan sebuah ucapan atau tindakan sebagai “tindakan permusuhan”.

Maka dari itu, Sheila mengatakan, diperlukan suatu upaya untuk menertibkan pergerakan rakyat yang dianggap dapat menimbulkan “ketidakstabilan politik” dengan dalih “penertiban ormas anti-Pancasila” seperti melalui Perppu No.2/2017 ini. “Hal ini tak ubahnya dengan apa yang terjadi saat era Orba. Penanda utama bagi legitimasi rezim Orba bisa bercokol selama 32 tahun adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang ditopang dengan stabilitas politik dan keamanan, dan kerena nya, aksi-aksi kekerasan negara tampak normal dan sah,” pungkasnya.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *