“Ketika suatu peradaban muncul, biasanya ia akan melakukan peminjaman, pengambilan dan pengembangan hingga kepada aneksasi ilmu pengetahuan dari peradaban yang lebih dahulu muncul,” ujar dosen pascasarjana UIKA Bogor, Budi Handrianto.
Wartapilihan.com, Jakarta – Pergerakan atau transmisi ilmu pengetahuan dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak netral (value free), tapi sarat dengan nilai (value laden) yang dilingkupi oleh peradaban di mana ilmu tersebut berada ketika ilmu pengetahuan “dikuasai” peradaban Mesopotamia. Demikian disampaikan peneliti INSIST Budi Handrianto di Kalibata, Jakarta, Sabtu (10/3).
Ia menjelaskan, karakter ilmu yang berkembang waktu itu dibentuk berdasarkan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut masyarakat Mesopotamia (terutama para pemikirnya). Demikian pula ketika berpindah ke peradaban Mesir, lalu pindah ke Yunani, beberapa sempat dikristenkan sebelum abad pertengahan kemudian di Islamisasi oleh peradaban Islam di era klasik (medieval Islam) dan diwesternisasi.
Dalam pandangan positivisme, ilmu pengetahuan harus objektif (bebas nilai), fenomenalisme (mempelajari hanya yang bisa diamati), reduksionisme (mereduksi fakta-fakta) dan naturalisme (alam semesta sebagai objek yang bergerak mekanis). Positivisme tumbuh dengan pesat. Bahkan kata Ian Hacking (1983) sebagaimana dikutip Akhyar, positivisme telah menjadi tidak hanya fllsafat sains, tapi juga agama humanis modern.
Positivisme menjadi ”agama” karena telah melembagakan pandangan dunianya nenjadi doktrin bagi berbagai bentuk pengetahuan manusia. Hal ini sesuai pembicaraan di awal bahwa ilmu pengetahuan bertransmisi sesuai dengan pandangan hidup para pemikir peradaban baru tersebut.
Pandangan (positivisme) ini tidak saja ditolak oleh ilmuwan muslim seperti Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Ismail Raji Al-Faruqi, Seyyed Hossein Nasr, Ziauddin Sardar, dan Iain-lain, tapi juga ilmuwan Barat sendiri seperti Karl R. Popper, para filsuf Mazhab Frankfurt, Paul Feyerabend, Withehead, Paul Illich, Thomas Kuhn, dan lainnya. Mereka berpendapat bahwa ilmu tidak bebas nilai, melainkan terikat dengan nilai-nilai tertentu. Di balik klaim bebas nilai, tersembunyi nilai-nilai ideologis yang mempunyai maksud tersendiri.
“Tidak dalam semua sesuatu harus objektif, karena kita harus membeli nilai. Dan nilai itu terikat dengan Islam. Bahaya positivisme adalah subjek dan objek berada di garis yang sama,” ujar Handrianto.
Pandangan Barat tentang ilmu atau sains itu netral kemudian mengarah pada netral dari agama. Seperti dilansir Hamid Fahmy Zarkasy, ia menulis, karena sains Barat tidak memberi tempat pada wahyu, agama dan bahkan pada Tuhan, maka sains Barat dianggap netral. Netral di sini aninya bebas dari agama. Realitas Tuhan tidak menjadi pertimbangan dalam sains Barat, karma Tuhan dianggap tidak riil. Namun sains tidak bebas dari ideologi, kultur, cara pandang dan kebudayaan manusia Barat.
Dan ternyata dalam sains sendiri terdapat asumsi-asumsi, doktrin-doktrin yang tidak beda dengan agama. Pada akhirnya doktrin-doktrin sains yang dipercayai sebagai pasti, dipertentangkan dengan doktrin-doktrin agama yang dianggap tidak rasional dan tidak empiris. Yang terpojok dan dipojokkan adalah agama. Agama bahkan dipertanyakan dan dituntut untuk direformasi agar mengikuti asumsi-asumsi sains. Agama jadi termarjinalkan dan kini ditinggalkan.
Ilmu yang dihasilkan oleh manusia lanjut Hamid, merupakan produk dari suatu agama atau kebudayaan. Di sinilah nantinya akan ditemukan bahwa ilmu itu tidak bebas nilai (not value free) seperti yang disebarkan peradaban Barat selama ini, tetapi sarat nilai. Ilmu yang di dalam peradaban Barat sekular diklaim sebagai bebas nilai, sebenarnya tidak benar-benar bebas nilai, Tapi hanya bebas dari nilai-nilai keagamaan dan ketuhanan.
“Paham keilmuan sekularistik inilah sebenarnya yang sedang melanda pemikiran muslim saat ini. Paham ini, sudah tentu dapat menghambat dan menyelewengkan pembangunan peradaban Islam,” katanya.