Mengapa Anak Menjadi Nakal?

by
Ilustrasi anak yang mem-bully. Sumber: http://kualalumpurpost.net/wp-content/uploads/2015/07/Pelajar-pukul.png

Pekan ini, seorang anak kelas 2 SD meninggal seusai di-bully dan disiksa oleh teman seperjawatannya di Sukabumi, Jawa Barat. Apa yang menyebabkan hal ini sampai terjadi?

Wartapilihan.com, Jakarta –Ketua Bidang Organisasi dan Pengkaderan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Idham Khalid menjelaskan mengapa anak menjadi sangat nakal. Menurut Idham, perjalanan seorang anak tumbuh menjadi remaja pelaku agresi cukup kompleks. Pasalnya, dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti aspek biologis, psikologis dan sosio-kultural.

“Secara biologis, ada kemungkinan bahwa beberapa anak secara genetik cenderung akan mengembangkan agresi dibanding anak yang lain. Agresi yang tinggi pada anak-anak dapat merupakan hasil dari abnormalitas neurologis,” ujar Idham, kepada Warta Pilihan, Kamis siang, (10/8/3017).

“Secara psikologis, anak yang agresif kurang memiliki kontrol diri dan sebenarnya memiliki ketrampilan sosial yang rendah; anak-anak ini memiliki kemampuan perspective taking yang rendah, empati terhadap orang lain yang tidak berkembang, dan salah mengartikan sinyal atau tanda-tanda sosial, mereka yakin bahwa agresi merupakan cara pemecahan masalah yang tepat dan efektif,” lanjutnya.

Ia menerangkan, jika dirunut dari lingkungan keluarga, anak-anak yang mengembangkan perilaku agresif ini biasanya tumbuh dalam pengasuhan yang tidak kondusif. Dengan kata lain, anak mengalami kelekatan (attachment) yang tidak aman dengan pengasuh terdekatnya
“Orang tua menerapkan disiplin yang terlalu keras ataupun terlalu longgar, dan biasanya ditemukan masalah psikologis pada orang tua, seperti konflik suami-istri, depresi, bersikap antisosial, dan melakukan tindak kekerasan pada anggota keluarganya,” tutur Idham.

Lelaki yang sudah menjadi pengurus LPAI sejak tahun 2007 ini mengungkapkan, faktor pubertas dan krisis identitas ialah hal yang normal terjadi pada perkembangan remaja. Dalam rangka mencari identitas dan ingin eksis, biasanya remaja kemudian gemar membentuk geng. “Geng remaja sebenarnya sangat normal dan bisa berdampak positif, namun jika orientasi geng kemudian ’menyimpang’ hal ini kemudian menimbulkan banyak masalah. Dari relasi antar sebaya juga ditemukan bahwa beberapa remaja menjadi pelaku bullying karena ’balas dendam’ atas perlakuan penolakan dan kekerasan yang pernah dialami sebelumnya (misalnya saat di SD atau SMP),”

Sedangkan secara sosio-kultural, bullying, dalam pandangan Idham, dilihat sebagai wujud rasa frustrasi akibat tekanan hidup dan hasil imitasi dari lingkungan orang dewasa. Tanpa disadari, lingkungan memberikan referensi kepada remaja bahwa kekerasan bisa menjadi sebuah cara pemecahan masalah.

“Misalnya saja, lingkungan preman yang sehari-hari dapat dilihat di sekitar mereka dan juga aksi kekerasan dari kelompok-kelompok massa. Belum lagi tontotan-tontonan kekerasan yang disuguhkan melalui media visual. Walaupun tak kasat mata, budaya feodal dan senioritas pun turut memberikan atmosfer dominansi dan menumbuhkan perilaku menindas,” lelaki kelahiran Manado ini mencontohkan.

Ia juga menyayangkan, para guru cenderung ‘masa bodo’ terhadap siswanya, tidak membaca indikator gerak-gerik anak atau dengan kata lain tidak kontrol terhadap siswanya, “(Belum lagi) pengaruh lingkungan keluarga di rumah dan lingkungan di luar rumah. Didikan pihak orang tuanya yang selalu berantem di hadapan anak-anaknya menunjukan perilaku tidak baik terhadap anak,” tandasnya.

Hal ini, menurut Idham, mengingatkan kembali berbagai kekerasan yang ditampilkan baik melalui keluarga, tontonan, apa lagi YouTube yang menampilkan gambar-gambar kekerasan yang tanpa sensor dan juga permainan game bertengkar hingga menghabiskan nyawa. Menurutnya, hal ini sangat mempengaruhi pola pikir anak. “Keterangan dari anak-anak, korban terus dihabisi dengan perlakuan kekerasan bertingkat, yang memang bertujuan menghabiskan nyawa seperti game tekken, film film perkelahian. Yang memang kemenangannya klo lawannya tidak bernyawa,”

“Sangat memprihatinkan. Apakah dari Pemerintah tidak dapat memblok permainan online yg berbahaya?” Ia bertanya-tanya.

Ia menyarankan, masyarakat mesti melaporkan Pemerintah bagian Kominfo atau semacamnya. “Kemudian mengikuti perkembangan anak-anak, mengecek situs-situs yang membahayakan termasuk situs porno dan harus bisa memblokirnya. Ini untuk masa depan anak-anak bangsa kita dan masa depannya. Mungkin pemerintah kewalahan. Harus dibantu dengan memberi info atau laporan,” pungkasnya.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *