Dalam al-Qur’an, kata Al-Baits sama sekali tidak ditemukan, baik yang merujuk sebagai sifat Allah maupun yang disandingkan untuk makhluk-Nya. Kendati demikian, para ulama sepakat, sifat ini termasuk salah satu dari sembilan puluh sembilan nama Allah.
Wartapilihan.com, Depok –Masalah kebangkitan manusia setelah mati, dalam hierarki doktrin eskatologi Islam, dipercaya terjadi setelah kehancuran kosmos, tepatnya setelah kiamat usai. Hal ini diungkapkan Dr Syamsul Yakin, dalam seri Asmaul Husna, Jum’at pagi (11/8/2017), di Depok.
“Sejak masa jahiliah hingga era modern, kaum sekuler sulit menerima doktrin ini. Mereka terjebak kebanggaan akan daya akal yang dangkal yang mengungkungi pengetahuan mereka,” ujar Dr Syamsul.
Mereka, kata Dr Syamsul, mempertanyakan secara ontologis: ”Mungkinkah setelah mati manusia bisa kembali bangkit?”. Lalu disusul dengan pertanyaan yang mengundang polemik: ”Apakah yang dibangkitkan hanya jiwa atau raga atau keduanya?” Dalam perspektif pemikiran dalam Islam, dikenal Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd yang mempercayai bahwa hanya jiwa manusia yang kelak dibangkitkan Tuhan. Sedangkan ulama lain seperti al-Ghazali meyakini keduanya, yakni jiwa dan raga.
“Argumen al-Ghazali yang bersifat fisikal ini didasari oleh kenyataan bahwa Allah dengan begitu mudah menciptakan jiwa dan raga. Bagi al-Ghazali, bukan hal yang sulit bagi Allah, setelah kiamat nanti, membangkitkan manusia baik secara fisikal (materi) maupun secara ruhaniah (jiwa/immateri). Bukankah dengan mudahnya pula Allah mengatakan: ”Segala sesuatu akan hancur kecuali Dia sendiri” (QS. Al-Qashashash/28: 20),” terangnya.
Tercantum pula dalam surat al-An’am/6 ayat 94: ”Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya”. Inilah paham ortodoksi al-Ghazali tentang doktrin eskatologi yang merambah dunia Islam yang nyaris berlaku secara baku, standar, dan final.
Ulama lain, terang Dr Syamsul, yakni Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd berpendapat yang dibangkitkan kelak oleh Allah hanya jiwa atau bersifat spiritual. Bagi mereka, penggambaran al-Qur’an tentang surga dan neraka yang sangat bersifat fisikal hanya sekadar ilustrasi bagi orang awam. Tepatnya, agar dapat dimengerti secara rasional-argumentatif. Buktinya, Nabi saw pernah berpesan: ”Surga tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terbersit di dalam hati manusia”.
“Hanya saja tesis seperti di atas, secara praksis, dalam dunia Islam tidak mampu menjadi arus utama. Alasannya, secara psiko-teologis, sifat manusia yang selalu mendambakan kebahagiaan dunia dan akhirat, lahir dan batin, fisikal dan spiritual, ternyata pendapat al-Ghazali lebih mendominasi,” ungkapnya.
Lepas dari perbedaan pendapat di atas, ia berpendapat yang pasti Allah yang akan membangkitkan manusia untuk menapaki kehidupan eskatologi yang abadi. “Dialah Allah al-Ba’its atau Yang Maha Membangkitkan. Secara lebih pasti nanti apakah manusia dibangkitkan secara ruhani atau jasmani atau bahkan keduanya adalah hak prerogatif Allah semata,”
Menurut sebagian ulama, makna al-Ba’its itu dapat dikaitkan pada dua hal. Pertama, Allah adalah Zat yang membangkitkan apa saja dari kegelapan ketiadaan kepada cahaya keberadaan. Kedua, Allah sebagai al-Ba’its adalah Zat yang menghidupkan semua makhluk pada hari kebangitan. Allah menyatakan: ”Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur” (QS al-Hajj/22: 7).
“Sementara itu, ada yang berpendapat pada saat itu ketika Allah akan membangkitkan manusia dari dalam kubur, Allah juga menampakkan semua tindakan, pikiran, perasaan yang dijalani manusia selama hidupnya. Manusia akan mati sesuai cara hidup mereka.” Ungkap dosen UIN Syarif Hidayatullah ini.
Ia lanjut menerangkan, menurut Prof. Quraish Shihab, bagi kita yang hendak meneladani sifat Allah ini, di samping dituntut meyakini keniscayaan hari kebangkitan, kita juga harus dapat membangkitkan jiwa kita. “Tujuannya agar kita senantiasa hidup dengan akidah yang benar, ilmu pengetahuan yang luas, serta berani memperjuangkan hidup kendati berat sekalipun. Sebab hidup yang tidak pernah diperjuangkan tidak akan dimenangkan,”
“Di samping itu, dengan hidupnya jiwa dan raga, kita bisa membangkitkan semangat dan kehidupan orang lain dari yang semula bodoh menjadi rajin belajar, dari yang tidak kuat akidahnya menjadi semakin dakat kepada Tuhan, dan dari negeri yang selalu terhina di mata dunia menjadi mulia, dari negeri seribu bencana menjadi negeri yang aman dan sentosa,” papar Pengasuh Pondok Pesantren Madinatul Qur’an Indonesia ini.
“Mari kita siapkan kematian, sebelum hari berbangkit datang. Sebab Allah swt telah berfirman, ”Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing)” (QS. al-Zumar/: 68),”
Apalagi, kata al-Ghazali dalam karyanya Kimia al-Sa’adah, akhirat itu begitu mengerikan. Jika kita tidak mempersiapkan bekal, maka kita akan mendapati kesulitan yang perih dan berkepanjangan. “Terakhir, benar kata Abu Bakar Siddiq seperti dikutip Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Nashaaih al-Ibaad: ”Barangsiapa yang masuk kubur tanpa bekal seakan-akan dia mengarungi lautan tanpa kapal”,” pungkasnya.
Eveline Ramadhini