Wartapilihan.com – “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS Ibrahim 24-27)
Seorang mukmin berbeda dengan orang kafir. Orang Mukmin, seperti digambarkan di atas, hidupnya senantiasa memberi manfaat kepada orang lain. Ia seperti pohon yang buahnya (tingkah lakunya) berguna bagi orang banyak. Karena itu Rasulullah saw menyatakan bahwa orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang banyak manfaatnya.
Akarnya teguh dan menjulang ke langit, maknanya seorang mukmin mempunyai prinsip (aqidah) yang kokoh dan tak tergoyahkan dengan godaan-godaan orang kafir, godaan nafsu atau godaan dunia yang melenakan. Pohon yang akarnya kokoh –menyerap air dan mineral-mineral dalam ‘tanah’- maka pohon itu akan tumbuh dengan bagus dan menghasilnya buah yang dapat dinikmati orang banyak.
Beda dengan orang kafir. Allah menggambarkan orang kafir dengan pohon yang buruk. Laksana ‘alang-alang’’atau benalu yang menganggu tumbuhnya tanaman. Orang kafir tidak mempunyai prinsip, atau memegang prinsip ‘keduniawian’ atau hawa nafsu belaka. Al Quran menyatakan ‘Apakah kamu tidak melihat orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhannya?’
Orang-orang kafir sepertinya membangun, tapi sebenarnya merusak. Mereka pandai membangun benda-benda, gedung-gedung, jalan raya dan lain-lain, tapi mereka buta terhadap ‘pembangunan manusia’. (Lihat lebih lanjut Abul Ala Maududi, Dasar-Dasar Islam dan Dasar-Dasar Iman).
Allah SWT menyatakan : “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. (QS al Baqarah 11)
Ya orang kafir yang memulai memproduksi senjata api dan bahkan nuklir, dengan alasan motto bahwa kalau ingin damai, maka harus siap perang. Maka berlomba-lombalah akhirnya negara-negara memperkaya senjata api pembunuh manusia. Dan bisnis senjata adalah bisnis yang sangat menguntungkan di dunia industry.
Begitu pula orang-orang kafir ‘memproduksi obat-obatan kimia’, yang sebenarnya mereka sendiri tahu, ada efek samping atau ada bahaya produksi obat-obatan seperti itu. Tapi karena orang kafir tidak mempunyai ‘prinsip adanya hidup setelah mati’ mereka tidak peduli dengan hal seperti itu. Mereka mempunyai prinsip bahwa hidup manusia itu seperti hewan, yang kuat yang menang. Bukan yang benar yang menang.
Al Quran menyatakan : “Dan mereka berkata: “Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apa benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?” (QS Al Isra’ 49)
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat, lalai.” (QS ar Ruum 7)
Orang-orang kafir memang heran kalau mereka akan dibangkitkan lagi setelah kematian. Padahal hal yang sama pernah ditanyakan orang kafir kepada Rasulullah saw. Yaitu ketika suatu saat Rasulullah berkumpul dengan para sahabatnya, ‘seorang kafir’ menggali kuburan dan mengambil tulang belulang dan menanyakan kepada Rasulullah mungkinkah tulang-tulang yang telah hancur berkeping-keping itu akan dihidupkan lagi. Rasulullah terdiam, kemudian turunlah wahyu :
“Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?” Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” (QS Yasin 78-79)
Maka membangun manusia mesti dimulai dengan membangun aqidah atau prinsip hidup. Darimana, mau kemana dan untuk apa hidup di dunia ini. Pertanyaan ini akan terus selalu muncul dibenak manusia sampai ia menjawabnya dengan jawaban yang memuaskan akal dan jiwa.
Pembangunan aqidah untuk manusia telah diteladankan Rasulullah saw dengan turunnya wahyu yang pertama, yaitu Iqra’ bismirabbikalladzii khalaq, bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS adz Dzaariyat 56).
Setelah tahu bahwa ia diciptakan Allah dan di dunia ini untuk beribadah kepadaNya dan nanti akan kehidupan lagi, maka seorang Muslim akan bersungguh-sungguh mengumpulkan bekal di dunia ini untuk keselamatan di akhirat nanti. Rasulullah saw menyatakan : “Addunya mazraatul akhirat, dunia ini adalah lading (kebun) untuk akhirat.”
Setelah ‘ilmu prinsip hidup/aqidah’ diberikan, maka seseorang perlu diberi pemahaman syariat. Yaitu jalan hidup yang dibangun dari aqidah itu. Syariat Islam yang mencakup semua aspek kehidupan manusia ini –budaya, politik, ekonomi, sosial dan lain-lain- mesti diamalkan agar manusia dapat berbahagia di dunia dan akhirat. Tidak bisa dipisah-pisahkan antara aqidah dan syariat, antara ‘fondasi rumah’ dan tembok-tembok yang dibangun di atas rumah. Antara akar dan batang. Bila akar dan batangnya selaras, maka akan menghasilkan daun, buah dan lain-lain yang bermanfaat bagi manusia lainnya.
Bila manusia mempunyai prinsip hidup seperti ini, maka insya Allah hidupnya akan memberi manfaat pada banyak orang di sekitarnya. Aqidah dan Syariat bila dijalankan dengan benar, maka akan menghasilkan akhlaq yang mulia. Dan itulah misi Rasulullah saw yang sebenarnya : “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia.”
Fitrah manusia menyukai akhlaq yang mulia. Dan itulah memang misi Rasulullah saw, membawa ajaran Islam yang sesuai fitrah manusia.
Dari sinilah membangun peradaban dimulai. Karena manusialah yang membangun peradaban, membangun benda-benda yang bermanfaat baginya. Bukan benda-benda yang membangun manusia, sebagaimana faham materialisme.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum, kecuali (kaum itu) yang mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri ” (QS ar Ra’ad 11) ||
Penulis : Dachli Hasyim