Calista, bayi 15 bulan korban penganiayaan ibu kandungnya sendiri tengah menjadi sorotan publik. Pasalnya, buah hatinya sendiri yang telah sang ibu bunuh. Kasus lain, seorang ibu di Jombang membunuh ketiga anaknya dengan cara meracuni mereka hingga tewas. Bagaimana langkah yang tepat untuk membuat efek jera terhadap para pelaku ini?
Wartapilihan.com, Jakarta – Menurut Iip Syafrudin, Ketua Bidang Sumber Daya LPAI, ia mengatakan, langkah hukum yang diberlakukan terhadap ibu kandung Calista, sepatutnya dapat memunculkan dua ragam efek jera. Efek jera langsung adalah agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya. Efek jera tak langsung, tepatnya disebut efek tangkal, adalah agar masyarakat tidak meniru perbuatan pelaku.
“Dalam konteks ini, LPAI sangsi bahwa penanganan di luar jalur pengadilan atas Sinta akan dapat memenuhi efek jera sekaligus efek tangkal tersebut,” tutur Iip, Senin, (26/3/2018), di Jakarta.
Berdasarkan penyelidikan, kesulitan ekonomi yang membuat sang ibu membunuh bayinya. Karena hal itu, tindak pidana tersebut sebagai faktor penggugur proses pidana atas diri pelaku berisiko. Namun, hal tersebut menurutnya justru dapat disalah-artikan masyarakat, bahwa dispensasi hukum seolah berlaku bagi masyarakat tertentu.
“Padahal, dalam nalar kejahatan sebagai solusi, sangat sulit dipahami bahwa kesulitan ekonomi justru tidak berlanjut dengan kejahatan ekonomi sebagai ‘jalan keluar’ atas masalah hidup pelaku tersebut. Kesulitan ekonomi yang dikompensasi dengan tindakan penganiayaan bayi merupakan bentuk perendahan harkat kemuliaan manusia oleh orang yang dianggap sebagai figur terdekat atas darah dagingnya sendiri,” papar dia prihatin.
Risk assessment menurut Iip dapat dilakukan dalam rangka memastikan bahwa masyarakat tidak akan terekspos lagi dengan perilaku kekerasan si pelaku kelak setelah ia keluar dari penjara. “Dalam konteks semacam kasus Calista, risk assessment diadakan untuk memastikan bahwa andai kelak memiliki bayi kembali, Sinta tidak akan melakukan penganiayaan lagi terhadap anaknya,” imbuh dia.
Risk assessment, ia melanjutkan, dapat didesain sebagai salah satu elemen dari program rehabilitasi di dalam penjara. Elemen lainnya, karena tindak kriminalitas terkait dengan relasi orang tua dan anak, maka edukasi keterampilan pengasuhan juga disertakan dalam program rehabilitasi terhadap pelaku.
Risk assessment, edukasi pengasuhan, dan pemberdayaan ekonomi sepatutnya diselenggarakan tanpa mengorbankan proses pidana. Jadi konkretnya, terhadap pelaku semestinya tetap dijalankan proses hukum hingga jatuh putusan hakim.
“Nantinya, apabila hakim memvonis bersalah pelaku, hakim dapat memasukkan tiga agenda tersebut di atas sebagai bentuk penanganan yang negara kenakan terhadap terpidana selama ia menjalani masa hukumannya,”
Vonis hakim, sebagai wujud tuntasnya proses hukum, juga mencerminkan terpenuhinya nilai keadilan yang diidamkan masyarakat dan bayi Calista sendiri. Spesifik terhadap bayi Calista, vonis bersalah yang hakim jatuhkan mencerminkan pengembaliaan harkat kemuliaan diri bayi malang tersebut.
“Hanya dengan kerangka berpikir dan bingkai kerja di atas, kebutuhan pelaku akan treatment (seperti yang dikemukakan Kapolres Karawang) serta kepentingan masyarakat dan anak-anak Indonesia akan adanya punishment dan protection akan menemukan titik harmonisnya. Treatment, punishment, protection, inilah trisula ideal penegakan hukum atas kasus-kasus kejahatan terhadap anak di Tanah Air,” tukas Iip.
Risk assessment sejauh ini belum dipraktikkan di Indonesia, padahal dapat diselenggarakan untuk memprediksi seberapa mungkin pelaku kejahatan dengan kekerasan akan mengulangi perbuatannya. Risk assessment dilakukan dengan meninjau beberapa faktor pada diri pelaku.
“Pertama, riwayat gangguan mental dan penyalah-gunaan obat-obatan. Kedua, pola dalam mengekspresikan amarah. Ketiga, kemampuan memenuhi kebutuhan diri sendiri. Keempat, fantasi-fantasi kekerasan. Dan kelima, kemampuan menjaga stabilitas hal-hal mendasar, semisal tempat tinggal, pekerjaan, dan perkawinan,” pungkasnya.
Eveline Ramadhini