Tiga Pilar Perlindungan Anak

by
Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati, kedua dari kiri, memaparkan angka kekerasan yang kerap dialami sang anak di Gedung KPAI, Jakarta, Senin (26/3). Foto: Zuhdi.

“Kepedulian masyarakat sekitar menjadi salah satu kunci pencegahan kekerasan terhadap anak,” kata Ketua KPAI Susanto.

Wartapilihan.com, Jakarta –Kesehatan mental menjadi isu penting dalam kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua. Beban hidup yang dirasakan baik karena situasi perkawinan, kesulitan ekonomi, hingga problem pribadi seringkali menjadi pemicu orang tua melampiaskan kekesalannya pada anak-anak.

Bagaimanapun, orang tua perlu berpikir logis dan menggunakan nalar sehat bahwa anak masih bergantung padanya dan masih dalam proses tumbuh kembang. Kepedulian masyarakat sekitar menjadi salah satu kunci pencegahan kekerasan terhadap anak. Hal itu disampaikan Ketua KPAI Susanto dalam merespon kasus kekerasan yang kembali terjadi kepada sang anak oleh orang tuanya di Gedung KPAI, Menteng, Jakarta, Senin (26/3).

Ia menjelaskan, tiga pilar perlindungan anak yaitu keluarga, masyarakat dan sekolah perlu dikuatkan kembali. Jika ada keluarga yang berpotensi menjadi pelaku maka antisipasi di lingkungan sekolah dan masyarakat perlu dikuatkan untuk mencegah terjadinya kekerasan berkelanjutan pada anak-anak.

“Tiga pilar ini menjadi pelindung utama anak dan ketiga pilar ini perlu menguatkan fungsi kontrol untuk perlindungan anak,” ujar Susanto.

Sebelumnya, ananda C pada Ahad (25/3) di Karawang akhirnya meninggal dunia setelah dirawat secara intensif selama kurang lebih 16 hari di ruang PICU, RSUD Karawang, Jawa Barat. Pilu dan nestapa ananda C menjadi duka yang mendalam bagi seluruh anak Indonesia. Ananda C mengalami kekerasan beruntun yang diduga dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri, yaitu S. Beban hidup yang ditanggung S tidak seharusnya dilampiaskan kepada ananda C.

“Kejadian ini membuat kita semua merasa pilu. KPAl menyesalkan adanya kejadian ini,” ungkap Wakil Ketua KPAI Rita Pranawati dalam kesempatan sama.

KPAl mencatat, kekerasan yang dilakukan oleh penanggung jawab utama pengasuhan bukanlah kasus yang pertama dalam kurun waktu Januari-Maret 2018. Tercatat setidaknya ada 23 kasus anak mengalami kekerasan mulai dari mengalami kekerasan fisik, dipukul berulang, disekap, disterika, dipasung, disulut rokok, ditanam hidup-hidup, bersama-sama menjatuhkan diri, hingga diracun.

“Tercatat, 16 anak meninggal di tangan orang tua dan orang dekatnya. Belum lagi kasus-kasus kekerasan lainnya yang tidak terlaporkan ke KPAI,” katanya.

Dalam pantauan KPAI, lanjut Rita, kasus kekerasan tidak hanya terjadi di seputar Jakarta, namun juga dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah (Pati), Jawa Timur (Surabaya, lombang, Malang, Magetan), Jawa Barat (Tasikmalaya, Garut, Cirebon, Bekasi, Karawang), DKI Jakarta, Banten, Kalimantan Timur, hingga Papua.

“Sedangkan dilihat dari pelaku, pelaku kekerasan terhadap anak ini dilakukan di rumahnya sendiri oleh orang dekat,” tukasnya.

Berdasarkan data KPAI, Ibu menempati pelaku kekerasan tertinggi sebanyak 44%, ayah 18%, ibu dan ayah tiri sebanyak 22%, pengasuh 8%, pengasuh pengganti (tame, ayah tiri) sebanyak 8%. Dari kasus-kasus diatas, dapat dilihat bahwa penyebab orang tua melakukan kekerasan terhadap anak diantaranya ketidakharmonisan keluarga, faktor ekonomi, pengetahuan tentang pengasuhan yang kurang, dan problem pribadi yang mengarah pada kesehatan mental.

“KPAI menghimbau para orang tua agar menyadari bahwa anak adalah amanah Sang Maha Pencipta yang tidak pernah dapat memilih siapa orang tuanya. Dalam kondisi apapun anak haruslah diterima dengan sebaik-baiknya. Anak pun bukan milik orang tua. Ia pun memiliki harkat martabat kemanusian yang harus dilindungi dan dijaga. Dalam hal ini, orang tua menjadi penanggung jawab utama pengasuhan anak,” saran dia.

Selain itu, ia mengingatkan kembali bahwa masing-masing anak mengalami fase tumbuh kembang yang berbeda-beda. Fase tumbuh kembang ini perlu dimaknai sebagai proses tumbuh kembang anak untuk belajar. Ketika anak merengek, menangis. apalagi anak masih balita adalah bagian dari ekspresi perasaannya.

“Tidak ada anak nakal sebagaimana persepsi orang dewasa karena sesungguhnya anak sedang belajar mengekspresikan perasaannya, meminta sesuatu, atau belajar tentang tingkah laku yang baik,” tandasnya.

Berdasarkan Survey Nasional Kualitas Pengasuhan Anak yang dilakukan KPAl tahun 2015 hanya 25% orang tua yang belajar tentang pengasuhan sebelum memiliki anak. Indeks Persiapan Pengasuhan, pola komunikasi, akses terhadap media digital dan pencegahan kekerasan masih dibawah 4 (dalam skala 1-5) yang artinya masih jauh dari ideal. Selain itu, penting kiranya Kementerian/Lembaga dan masyarakat membuka ruang-ruang konsultasi tentang pengasuhan agar masyarakat dapat berkonsultasi secara nyaman.

“Kami menghimbau Kementerian atau Lembaga dan masyarakat untuk mengoptimalkan peningkatan kecakapan pengasuhan anak sebagai upaya pencegahan kekerasan terhadap anak,” imbuh Rita.

Terkait dengan ketahanan keluarga, simpul Rita, KPAI mendorong kementerian Agama dan organisasi lintas agama untuk menyiapkan bimbingan pra perkawinan dan konsultasi perkawinan. Bimbingan pra nikah dan konsultasi perkawinan diharapkan menjadi bagian dari upaya menjaga keharmonisan perkawinan sehingga dampaknya akan dapat dirasakan oleh anak.

“Termasuk pada perkawinan kedua, anak tetap memiliki hak yang harus dilindungi oleh pengasuh pengganti dan berhubungan secara baik dengan orang tua kandung. Semoga ananda C menjadi anak terakhir yang mengalami kekerasan oleh orang tuanya sendiri,” tutupnya.

Sementara itu, Kapolres Karawang AKBP Hendy F Kurniawan mengatakan bahwa pihaknya akan mempertimbangkan proses hukum terhadap Ibu Sinta, pelaku tindak kekerasan terhadap bayi Calista.

“Kita akan mempelajari latar belakangnya (kasusnya), sehingga saya memikirkan apakah proses hukum ini akan adil bagi Ibu Sinta. Apalagi Ibu Sinta masih memiliki satu anak lagi (berusia enam bulan),” kata Hendy kepada media, Senin (26/3).

Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap beberapa saksi, termasuk tersangka, motif ekonomi dan keseharian Calista yang rewel diduga menjadi penyebab sang ibu nekat melakukan tindak kekerasan tersebut.

“Kita sudah memeriksa para saksi, termasuk hasil visum dan tersangka juga sudah mengakui perbuatannya. Sejak hamil Calista satu atau dua bulan, Ibu Sinta sudah ditinggal oleh suaminya. Secara ekonomi dia juga tidak mempunya kemampuan yang cukup. Jadi membuat tekanan hidunya berlebih,” tambah mantan Kasubdit Jatanras Polda Metro Jaya itu.

Kendati kepolisian Karawang tengah mencari alternatif hukum yang pas bagi tersangka, polisi berpangkat melati dua itu menjamin kalau proses hukum akan tetap berjalan.

“Sampai saat ini proses hukum masih berjalan, kemarin kita dari kepolisian responsif menerima informasi dari masyarakat,” tutupnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *