Hanya dalam kurun waktu sepekan, terjadi penganiayaan terhadap dua ulama. Sebelumnya hal ini menimpa Kiai Umar Basri, Pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah (Santiong), Cicalengka, Kabupaten Bandung. Kini, penganiyaan ini Komandan Brigade PP Persis, Ustadz Prawoto yang juga dilakukan di waktu shubuh. Ada apa?
Wartapilihan.com, Jakarta —Ustadz H. R. Prawoto yang wafat akibat dianiaya orang yang dianggap orang gila ini membuat prihatin dan merasa kehilangan. Hal ini disampaikan oleh Haerudin Amin, S.Ag., MH, Anggota DPR RI. Ia mengatakan, beliau adalah seorang pendakwah dan anggota Brigade Komando Pusat PP PERSIS, penjaga para ulama.
“Semoga beliau dirahmati Allah dalam kehidupan yang abadi, tentu kita yakin beliau sebagai seorang Syuhada,” kata Haerudin prihatin, Jum’at, (2/2/2018).
Kendati demikian, Haerudin mengatakan masyarakat perlu mengambil i’tibar (pelajaran) dari wafatnya Prawoto untuk meneguhkan keyakinan dan keimanan umat muslim. “Menjadi pelajaran dari sisi keamanan dalam negara bagi masyarakat, adalah tugas negara untuk menjamin rasa aman bagi segenap warganya, maka proses hukum yang adil harus ditegakkan,” lanjutnya.
Ia menekankan jangan lengah agar kejadian ini tak berulang lagi, terutama kepada para ulama. “Para ulama dan asatidz adalah aset Umat yang tak ternilai harga dan kemuliaannya. Mari kita bersama-sama menjaga guru dan para ulama kita,” tukasnya.
Sementara itu, Jazuli Juwaini, Ketua Fraksi PKS berharap, aparat kepolisian benar-benar mengusut kasus tersebut secara tuntas dan terang benderang terutama menyangkut motif penganiayaan yang menurut kabar beredar diduga dilakukan oleh orang yang sakit gila atau tidak waras.
“Agak ganjil memang jika dua peristiwa penganiayaan terhadap ulama ini kebetulan dilakukan oleh orang yang infonya sakit jiwa atau gila. Ini menimbulkan tanda tanya di benak masyarakat, apa yang sesungguhnya terjadi, kenapa kebetulan menyasar ulama kyai atau ustadz,” tanya Jazuli.
Untuk itu, Jazuli berharap aparat kepolisian harus berani mengungkap kasus ini dengan jujur dan transparan serta dapat menjelaskan kepada publik dengan sebaik-baiknya karena hal ini telah menjadi perhatian masyarakat secara luas.
“Jangan sampai kasus ini menyulut permasalahan baru, kondisi saling curiga, merasa terancam dan akhirnya menimbulkan instabilitas keamanan dan kenyamanan masyarakat khususnya di Jawa Barat,” terang dia.
Anggota Komisi I ini juga berharap kepada masyarakat untuk tetap tenang sambil terus waspada tidak mengembangkan spekulasi yang berlebihan dan kontraproduktif dalam upaya mewujudkan ketertiban dan keamanan masyarakat.
“Sambil menunggu penyelidikan yang dilakukan oleh aparat, kita semua berharap masyarakat tetap tenang dan tidak termakan isu yang tidak bertanggung jawab karena dalam kasus-kasus seperti ini sering kali muncul pihak-pihak yang ingin memecah belah masyarakat sehingga menimbulkan instabilitas keamanan, apalagi saat ini dekat dengan momen politik/pilkada,” pungkas Jazuli.
Pembunuh Ulama Miliki Gangguan Jiwa?
Sementara itu, atas kasus ini Reza Indragiri Amriel selaku ahli forensik mengatakan, kalaupun semisal pembunuh kedua ulama ini memiliki gangguan jiwa, maka tidak semua jenis gangguan kejiwaan bisa membuat pelaku kejahatan lolos dari hukum dengan memanfaatkan pasal 44 KUHP.
“Jadi, harus dipastikan seakurat mungkin diagnosis kejiwaan si pelaku,” tutur Reza, kepada Warta Pilihan, Jum’at, (2/2/2018).
Menurut dia, andai pelaku diketahui punya gangguan kejiwaan, masih perlu dicek kapan ia menderita gangguan tersebut. Ia menjelaskan, jika gangguan baru muncul setelah ia melakukan aksi kejahatan, maka perbuatan jahatnya sesungguhnya ditampilkan saat ia masih waras. Karena itu, ia menekankan seharusnya tetap ada pertanggungjawaban secara pidana.
“Yang jelas, orang-orang dengan skizofrenia punya kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan kekerasan ketimbang populasi umum. Ini punya implikasi penting, lho,” terang Reza.
Maka ia berharap, pelaku penganiayaan bukanlah orang skizofrenia yang dikondisikan untuk menyerang Ustad R. Prawoto. “Anggaplah orang skizofrenia maupun jenis-jenis abnormalitas psikis lainnya tidak bisa dihukum. Tapi polisi tetap perlu mencari tahu siapa yang semestinya menjaga orang tersebut,”
Reza berkata demikian karena sesuai pasal 491KUHP pelaku dapat diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah. “Barang siapa diwajibkan menjaga orang gila yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain, membiarkan orang itu berkeliaran tanpa dijaga,” pungkas Reza.
Eveline Ramadhini