KETIKA SIMBOL-SIMBOL ISLAM JADI REBUTAN

by

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            Dalam beberapa hari terakhir, media massa kita banyak diwarnai dengan berita tentang masuknya Ganjar Pranowo dalam tayangan azan maghrib di satu stasiun TV. Tayangan itu ramai disorot. Ada yang menyebut itu sebagai satu bentuk politik identitas. Tapi, Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) membantahnya.

Dalam tayangan video itu, Ganjar Pranowo mengenakan baju koko putih, berpeci hitam, menyambut kedatangan jamaah yang akan menghadiri shalat berjamaah. Sekjen PDIP menyatakan, bahwa Ganjar Pranowo merupakan sosok yang sopan dan religius. Religiusitas Ganjar itu, katanya,  tidak dibuat-buat.
“Istrinya, Bu Siti Atiqah juga dari kalangan pesantren, menampilkan kehidupan spritualitas yang mencerminkan sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhan, bukan sesuatu yang dibuat-buat,” kata Hasto, Sabtu (9/9/2023).
Bahkan, lanjutnya, “Sejak dulu, sejak zaman mahasiswa, Pak Ganjar Pranowo ini sosoknya seperti itu. Sosok yang rajin beribadah, sosok yang baik, sosok yang santun, sosok yang merakyat, itu tidak dibuat-buat itu sesuatu original, keluar dari Pak Ganjar Pranowo,” imbuhnya. (Selengkapnya https://news.detik.com/pemilu/d-6921878/ganjar-pranowo-muncul-di-tayangan-azan-stasiun-tv-ini-kata-pdip).

*****

            Begitulah pro-kontra telah mewarnai kemunculan seorang bakal calon presiden dalam satu acara ibadah dalam Islam, yaitu azan maghrib. Hal seperti ini bukan barang baru. Menjelang hajatan politik, simbol-simbol keislaman menjadi rebutan para pemain politik. Simbol-simbol Islam itu makin banyak digunakan oleh para kandidat kepala daerah, anggota legislatif, atau pun para calon presiden atau calon wakil presiden.

Sebagai muslim, sepatutnya kita merasa senang bahwa “faktor Islam” masih begitu diperhitungkan dalam arena politik di Indonesia. Bahkan, ada kecenderungan meningkat. Para politisi tentu paham benar bahwa masyarakat Indonesia memang dikenal sebagai masyarakat religius. Maka, wajar jika para bakal calon capres dan cawapres ingin dipersepsikan oleh masyarakat sebagai seorang yang taat beragama, seorang yang religius.

Dalam masa-masa seperti ini, para ulama, tokoh agama, atau pondok-pondok pesantren, menjadi tujuan kunjungan para bakal calon capres dan cawapres itu. Mungkin, begitu pula yang terjadi pada tokoh-tokoh agama atau lembaga pendidikan agama lain, di daerah-daerah lain di Indonesia. Yang jelas, para politisi tidak ingin dipersepsikan oleh masyarakat sebagai orang yang jauh dari agama, apalagi orang yang memusuhi agama.

Ini patut kita syukuri. Sangat mengerikan, misalnya, jika ada politisi yang secara terbuka menyatakan dukungannya kepada praktik LGBT atau penghapusan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Padahal, di beberapa negara Eropa hal seperti ini sudah terjadi. Bahkan, ada Perdana Menteri yang secara terbuka menyatakan dirinya seorang praktisi LGBT.

            Jóhanna Sigurdardóttir, adalah Perdana Menteri wanita pertama Islandia yang juga seorang lesbian pertama yang menjadi kepala pemerintahan. Ia secara terbuka mengakui dirinya sebagai lesbian tahun 2009. Ia juga anggota perlemen terlama. Itu artinya, masyarakat Islandia sudah tidak peduli dengan soal agama dan moralitas pribadi pemimpinnya. Kondisi seperti ini bisa dijumpai di banyak negara. Faktor agama sudah tidak dianggap penting sebagai identitas para pemimpin negara mereka.

Sebuah Tesis Master di Universitas Indonesia menyimpulkan, bahwa faktor religiusitas ternyata memiliki hubungan positif dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Judulnya: Religiusitas dan Kesejahteraan di Indonesia: Analisis data Indonesian Family Life Survey.”

            Disebutkan, bahwa penelitian itu bertujuan mempelajari hubungan antara religiusitas dan tingkat kesejahteraan dengan menggunakan data panel IFLS tahun 2007 dan 2014. Hasil regresi logistik ordinal menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara tingkat religiusitas dengan tingkat kesejahteraan,  dimana individu yang mengalami peningkatan religiusitas memiliki kecenderungan 9,57 (95% CI: 8,64-10,63) kali lebih besar untuk mengalami perubahan tingkat kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang mengalami penurunan tingkat religiusitas. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin baik tingkat religiusitas maka semakin baik pula tingkat kesejahteraan. (https://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak/id_abstrak-20507298.pdf).

Sebagai muslim, saya senang jika para pemimpin bangsa semakin meningkat religiusitasnya; semakin kuat imannya, semakin taat kepada Allah SWT, dan juga semakin kuat dalam memegang amanah kepemimpinannya!

Bagaimana jika mereka menjadikan faktor agama sekedar sebagai alat pencitraan untuk menarik dukungan politik  atau meraup suara umat? Soal hati, serahkan kepada Allah SWT. Tetapi, Malaikat juga tahu, apakah tujuan para politisi itu menggunakan simbol-simbol Islam adalah sekedar untuk pencitraan atau mereka memang bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT! Tuhan Yang Maha Esa tidak bisa dibohongi!

Jika ada yang bermaksud menipu Allah dan kaum muslimin, pasti akan mendapat hukuman yang mengerikan! Tugas kita menilai secara lahiriyah saja. Dan tugas para ulama untuk senantiasa mengingatkan para pemimpin kita agar mereka benar-benar menjadi pemimpin yang adil, yang diridhai Allah dan akan mendapatkan perlindungan di Hari Kiamat nanti. (Solo, 9 September 2023).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *