TOKOH HINDU: MEMBANGUN TOLERANSI JUSTRU DENGAN MENGAKUI PERBEDAAN

by

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Sejak beratus tahun hadir di Indonesia, umat Islam sudah membangun toleransi dengan para pemeluk agama-agama lain. Tetapi, selama itu pula, para ulama Islam tidak pernah menganjurkan atau mencontohkan mencampur-adukkan salam lintas agama, untuk membangun kerukunan atau toleransi umat beragama.

Melihat banyaknya orang yang menggunakan salam lintas agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur merasa perlu mengeluarkan taushiyah atau seruan agar umat Islam tidak melakukan hal semacam itu. Berikut beberapa poin penting yang termaktub dalam imbauan bernomor 110/MUI/JTM/2019:

(1) Dalam mengimplementasikan toleransi antar umat beragama, perlu ada kriteria dan batasannya agar tidak merusak kemurnian ajaran agama. Prinsip tolerasi pada dasarnya bukan menggabungkan, menyeragamkan atau menyamakan yang berbeda, tetapi toleransi adalah kesiapan menerima adanya perbedaan dengan cara bersedia untuk hidup bersama di masyarakat dengan prinsip menghormati masing-masing fihak yang berbeda.
(2) Islam pada dasarnya sangat menjunjung tinggi prinsip toleransi, yang antara lain diwujudkan dalam ajaran tidak ada paksaan dalam agama (QS. al-Baqarah [2]: 256); prinsip tidak mencampur aduk ajaran agama dalam konsep “Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku sendiri” (QS. al-Kafirun [109]: 6), prinsip kebolehan berinteraksi dan berbuat baik dalam lingkup muamalah (QS. al-Mumtahanah [60]: 8), dan prinsip berlaku adil kepada siapap un (QS. al-Ma’idah [8]: 8)
(3) Bahwa doa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah. Bahkan di dalam Islam doa adalah inti dari ibadah. Pengucapan salam pembuka menurut Islam bukan sekedar basa basi tetapi do’a.
(4). Dewan Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur menyerukan kepada umat Islam khususnya dan kepada pemangku kebijakan agar dalam persoalan salam pembuka dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Untuk umat Islam cukup mengucapkan kalimat, “Assalaamu’alaikum. Wr. Wb.” Dengan demikian bagi umat Islam akan dapat terhindar dari perbuatan syubhat yang dapat merusak kemurnian dari agama yang dianutnya.
(Lihat: “Ini Imbauan MUI Jatim Soal Pejabat Tak Gunakan Salam Pembuka Semua Agama” selengkapnya https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4778988/ini-imbauan-mui-jatim-soal-pejabat-tak-gunakan-salam-pembuka-semua-agama).

*****

Itulah imbauan MUI Jatim tentang pengucapan salam lintas agama. Intinya, untuk membangun toleransi antar umat beragama, biarlah masing-masing agama mengamalkan ajaran aganya sendiri. Apalagi umat Islam yang memiliki uswah hasanah yang lengkap dalam kehidupan. Termasuk dalam soal pengucapan salam Islam. Ada panduan yang jelas tentang masalah ini.

Gagasan toleransi dengan menghormati perbedaan dari MUI Jatim itu sejalan dengan pemikiran seorang tokoh agama Hindu bernama Ngakan Made Madrasuta, penulis buku  berjudul  “Tuhan, Agama dan Negara”  (Media Hindu, 2010). Menurutnya, setiap agama memiliki konsep Tuhan yang khas. Ada perbedaan konsep Tuhan antara Hindu, Kristen, Yahudi, dan Islam.

Menurut Ngakan, Tuhan dalam agama Hindu, yakni Sang Hyang Widhi tidak dapat disebut  “Allah”.  Ia menegaskan: “Membangun toleransi bukan dengan mencampuradukkan pemahaman tentang Tuhan, tetapi sebaliknya justru dengan mengakui perbedaan itu. Dalam pengertian ini, Krishna bukan Kristus, Sang Hyang Widhi bukan Allah!” (hal. 33).

Kaum Hindu juga menolak cara-cara kaum misionaris Kristen yang menggunakan sebutan Tuhan dalam agama Kristen di Bali dimirip-miripkan dengan sebutan Tuhan dalam agama Hindu. Majalah Media Hindu, (edisi November 2011) menulis: “Lebih lagi bila sebutan tuhan yang disembah di “Pura Gereja” ini dimirip-miripkan dengan Tuhan orang Hindu Bali, misalnya Sang Hyang Yesus, Sang Hyang Allah Aji, Ratu Biang Maria, misalnya.”

Tahun 2011, Penerbit Paramita Surabaya, menerbitkan buku berjudul “Membedah Kasus Konversi Agama di Bali: Kronologi, Metode, Misi dan Alasan di Balik Tindakan Konversi Agama dari Hindu ke Kristen dan Katolik di Bali serta Pernik-pernik Keagamaan di Dunia”, karya Ni Kadek Surpi Aryadharma.

Penulis buku ini menulis: “Karena itu orang Kristen di Bali mestinya tidak mengambil simbol-simbol keagamaan Hindu. … karena itu budaya agama Hindu itu 100% tidak boleh digunakan oleh orang Kristen.”

Tentang penggunaan ungkapan Om swastyastu dalam salam lintas agama, perlu disimak penjelasan orang Hindu berikut ini:           Salam Om Swastyastu yang ditampilkan dalam bahasa Sansekerta dipadukan dari tiga kata yaitu: Om, swasti dan astu. Istilah Om ini merupakan istilah sakral sebagai sebutan atau seruan pada Tuhan Yang Mahaesa. Om adalah seruan yang tertua kepada Tuhan dalam Hindu…. Mengucapkan Om itu artinya seruan untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan.” (http://www.mail-archive.com/hindu-dharma@itb.ac.id/msg07018.html).

Jadi ungkapan Om Swastyastu adalah satu bentuk ibadah dalam agama Hindu. Dari penjelasan itu tampak, bahwa ungkapan salam Hindu itu sangat terkait erat dengan konsep Tuhan dan sembahyang dalam agama Hindu. Jadi, kata “Om” dalam agama Hindu berarti “Ya Tuhan”.

Dalam buku kecil berjudul “Sembahyang, Tuntunan Bagi Umat Hindu” karya Jro Mangku I Wayan Sumerta (Denpasar: CV Dharma Duta, 2007), disebutkan sejumlah contoh doa dalam agama Hindu yang diawali dengan kata “Om”, seperti doa sebelum mandi: “OM, gangga di gangga prama gangga suke ya namah swaha”.

               Itulah sikap orang Hindu, yang patut kita hormati. Menurut tokoh Hindu tadi, Tuhan orang Hindu berbeda dengan Tuhannya orang Kristen, atau Tuhannya orang Islam. Karena itu, ia menegaskan: “Membangun toleransi bukan dengan mencampuradukkan pemahaman tentang Tuhan, tetapi sebaliknya justru dengan mengakui perbedaan itu. Dalam pengertian ini, Krishna bukan Kristus, Sang Hyang Widhi bukan Allah!”

               Sebagai muslim, mari kita bangun toleransi beragama dengan tetap menghormati perbedaan yang ada pada tiap agama. InsyaAllah sikap seperti ini lebih selamat, dunia dan akhirat. Yang berbeda pendapat, silakan, dan masing-masing akan bertanggung jawab kepada Allah SWT. Tugas ulama, seperti MUI Jatim, memang mengingatkan pemimpin dan masyarakat. Wallaahu A’lam bish-shawab. (Depok, 8 September 2023).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *