WARTAPILIHAN.COM, Jakarta – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga perwakilan daerah dalam menyampaikan, mengusulkan dan membahas undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, dan lain sebagainya masih menimbulkan banyak persoalan. Sehingga, sebagian masyarakat menilai sendiri fungsi dan keberadaan DPD tersebut tidak maksimal.
“Berantem berbeda pendapat itu boleh, saya sebagai anggota DPD dua periode setuju mengatakan kalau mereka tidak kerja. Orang dewasa yang ke Senayan harus orang yang bijak, keputusan itu tergantung musyawarah atau suara terbanyak. Jangan sampai DPD menjadi mubazir,” kata Laode Ida saat diskusi `DPD untuk Apa` di Hotel Sofyan, Menteng, Jakarta Pusat pada Sabtu (27/5).
Menurutnya, DPD tidak lebih dari NGO (non goverment organization) plat merah saja yang hanya mengusulkan tetapi tidak memperjuangkan aspirasi dari konstituen di daerah pemilihannya.
“Hari ini DPD saya tidak tahu kenapa tidak seperti dulu, ada harga kebutuhan naik saja langsung bikin konferensi pers. Akhirnya mereka liar bergerak sendiri-sendiri karena tidak ada figur kuat. Maka figurnya harus kuat, berkarakter dan tampil setiap hari memperjuangkan kepentingan daerah,” tegas mantan anggota DPD dua periode ini.
Laode menegaskan, persoalan yang terjadi di DPD saat ini karena lemahnya kontrol parlemen maupun sosial. Tidak ada track record yang dapat dilihat publik, sehingga DPD harus berkreasi menangkap dan mengemas apa yang menjadi persoalan di masyarakat.
“Media massa bisa mengontrol DPD, jadi sebetulnya media harus menongkrongi DPD untuk melihat apa yang dilakukan anggota-anggotanya maupun pimpinannya. Kemudian saya tidak melihat FORMAPPI masih kontrol DPD atau tidak, sehingga itu bisa digunakan suka-suka oleh anggota di dalam DPD, ini bahaya,” jelas Laode.
Sebab, sejauh ini ia melihat tanpa kontrol efektif dari masyarakat luas, anggota DPD hanya ingin memperoleh keuntungan materi saja di dalamnya. Laode menceritakan saat dirinya di DPD ketika meminta teman-teman membahas undang-undang Kelautan, tidak ada satu pun yang hadir baik di Senayan maupun di luar kota.
“Anehnya mereka setiap rapat yang ada tanda-tangan mau hadir, artinya disitu ada dana transport. Termasuk dana reses saya kira kontra produktif, sebab ketika pulang kampung dan bertemu konstituen tidak membawa hasil yang dicapai, Kuncinya amandemen Pasal 22 UUD 1945, kedua konvensi ketatanegaraan kepada tiga lembaga yaitu DPR, DPD dan Presiden,” saran dia.
Laode mengingatkan DPD tidak boleh berada di kamar sepi, DPD ramai sekarang hanya karena soal kepemimpinan Ketua DPD bukan kinerja yang telah di capai. DPD harus menjadi lembaga yang bebas hambatan, kreatif dan kredibel dengan aktor-aktornya.
“Ini momentum yang tepat untuk Pak OSO (Oesman Sapta Odang) memperjuangkan perubahan amandemen. Citra yang melekat pada Pak OSO dekat dengan partai penguasa harus digunakan dengan baik. Saya kira di bawah kepemimpinan Pak OSO harus menghasilkan kritik yang konstruktif untuk kebaikan bangsa ini,” pungkasnya.
Reporter: Ahmad Zuhdi