Hilangnya Fatsun Politik DPD

by

WARTAPILIHAN.COM, Jakarta – Pakar ilmu politik, Makmun Murod Al Barbasy menuturkan, hal yang tidak biasa dilakukan oleh politisi adalah etika berpolitik atau fatsun politik. Yaitu tanggung jawab, tata krama dan nilai-nilai dalam berpolitik. Hal itu disampaikan saat diskusi `DPD untuk Apa` di Hotel Sofyan, Menteng, Jakarta Pusat pada Sabtu (27/5).

“Di DPR kita sering menjumpai anggota yang memainkan dana reses termasuk DPD. Jangan sampai DPD hanya menjadi bantu loncatan, saat di DPD bilang DPD harus diperkuat, tetapi ketika di DPR bilang DPD harus digembosi, ini kan sama sekali tidak ada etika politiknya,” kata Makmun.

Lebih lanjut, hal ini kata Makmun merupakan momentum DPD untuk melakukan evaluasi sehingga masa jabatan 2,5 tahun dapat digunakan optimal dan efektif baik untuk pimpinan maupun anggotanya.

“Ketika saya membuka media sosial, banyak netizen yang berkomentar negatif soal DPD. Artinya fakta di masyarakat belum mendapatkan kinerja yang baik. Jadi saya rasa cukuplah 2,5 tahun ini tidak usah sampai 5 tahun, agar anggota dan pimpinan DPD bekerja maksimal dan masyakat memilihnya kembali sebagai perwakilan daerah,” sambungnya.

Makmum melihat, keberadaan DPD lebih menarik daripada DPR karena masing-masing anggota tidak ada ikatan tertentu dengan partai, fraksi dan lain sebagainya. DPD semakin tampil seksi karena Oesman Sapta Odang (OSO) yang saat ini menjadi Ketua DPD merupakan Ketua Umum di partai Hanura.

“Setelah saya membaca putusan MA (Mahkamah Agung), sebenarnya posisi OSO sangat kuat, kalau masalah pelantikan itu seremonial saja menurut saya. Tetapi perdebatan dari segi hukum sudah selesai. Makanya kalau DPD berbasis aktivis ini agak susah juga, tetapi anggota DPD harus belajar kepada aktivis,” tandasnya.

Senada dengannya, pakar hukum, Ahmad Rivai menilai, ketika keputusan paripurna sudah di ketok palu maka hal itu sudah masuk tata usaha negara, adapun MA melantik DPD merupakan kewajiban yudikatif.

“Kalau pemimpin DPD hanya menjalankan rutinitas ini tidak bagus, DPD Ketua partai no problem, yang menjadi masalah seperti ada anggota DPD sebelumnya tidak pernah menjabat mereka bukan anggota partai, tetapi mereka tiba-tiba menjadi anggota DPD karena anggota parpol ini yang salah,” terangnya.

Lebih lanjut, jelas Rivai, yang menjadi problem bukan malah menguatkan keterwakilan daerah tetapi berantem di pusat karena persoalan yang tidak substansial. Pemimpin DPD harus kuat, cerdas dan visioner agar dapat membuat DPD progressif.

“Saya melihat DPD bisa berhasil apabila bisa mengamandemen pasal 22 huruf d, kalau mereka tidak bisa melakukan itu semua, lalu untuk apa peran mereka buat daerah. Mestinya pasal ini yang harus diperjuangkan untuk otonomi daerahnya. Ribut boleh, tapi kerja harus terus jalan,” sambung Rivai.

Menurutnya, pemimpin DPD harus berani mewarnai. Apabila memiliki kedekatan dengan Presiden tetapi tidak digunakan maksimal hal itu hanya sia-sia dan tidak jauh DPD seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)

“LSM tidak punya fungsi yang kuat walaupun bisa membuat dan mengusulkan undang-undang. DPD dengan fungsi yang kuat justru harus bisa melakukan lebih dari itu, tidak hanya amandemen dan konvensi kenegaraan tetapi juga bisa mencari jalan lain. Sehingga tidak sama dengan LSM,” demikian ujar Rivai.

Reporter: Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *