Kasus Penistaan Agama Meiliana

by
Meiliana, tersangka kasus Penistaan Agama. Foto: The Jakarta Post.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau kepada masyarakat agar semua pihak menghormati keputusan yang ditetapkan pengadilan.

Wartapilihan.com, Jakarta — Zainut Tauhid Sa’adi selaku Wakil Ketua Umum MUIprihatin karena banyaknya komentar yang tanpa mengetahui duduk perkaranya.

Sebelumnya, Meiliana yang merupakan warga Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara, oleh Pengadilan Negeri Medan, divonis selama 18 bulan akibat kasus Penistaan Agama, dimana ia melanggar Pasal 156 a KUHP atas memprotes volume suara azan.

“MUI menyesalkan banyak pihak yang berkomentar tanpa mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Sehingga pernyataannya bias dan menimbulkan kegaduhan dan pertentangan di tengah-tengah masyarakat,” kata Zainut, Sabtu, (25/8/2018).

Ia mengatakan demikian karena seakan-akan masalahnya hanya sebatas pada keluhan ibu Meiliana terkait dengan volume suara azan yang dianggap terlalu keras.

“Jika masalahnya hanya sebatas keluhan volume suara azan terlalu keras, saya yakin tidak sampai masuk wilayah penodaan agama, tetapi sangat berbeda jika keluhannya itu dengan menggunakan kalimat dan kata-kata yang sarkastik dan bernada ejekan, maka keluhannya itu bisa dijerat pasal tindak pidana penodaan agama,” tutur Zainut.

Kasus seperti yang dialami oleh Meiliana pernah terjadi juga terhadap ibu Rusgiani (44) yang dipenjara 14 bulan karena menghina agama Hindu. Ibu rumah tangga itu menyebut canang atau tempat menaruh sesaji dalam upacara keagamaan umat Hindu dengan kata-kata najis. Hal serupa juga dialami kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Jakarta.

“Hendaknya masyarakat lebih arif dan bijak dalam menyikapi masalah ini, karena hal ini menyangkut masalah yang sangat sensitif yaitu masalah isu agama.

Jangan membuat pernyataan yang justru dapat memanaskan suasana dengan cara menghasut dan memprovokasi masyarakat untuk melawan putusan pengadilan. Apalagi jika pernyataannya itu tidak didasarkan pada bukti dan fakta persidangan yang ada,” tegas dia.

MUI berharap agar masyarakat mengambil hikmah dan pelajaran berharga dari berbagai kasus yang terjadi, bahwa dalam sebuah masyarakat yang majemuk dibutuhkan kesadaran hidup bersama untuk saling menghomati, toleransi dan sikap empati satu dengan lainnya.

“Sehingga tidak timbul gesekan dan konflik di tengah-tengah masyarakat,” pungkasnya.

Sementara itu, Anggota DPR RI Komisi I dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini menilai kasus yang menyeret Meiliana karena mengeluhkan suara azan masuk dalam penistaan agama.

“Ya (termasuk penistaan agama) ketika menyinggung orang azan, ya. Yang paling pas menafsirkan itu tentu, apalagi kalau sudah ke pengadilan ya, para hakim di pengadilan,” di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (23/08/2018).

Terkait dengan kasus Meiliana tersebut, Jazuli meminta semua masyarakat menghormati agama lain, baik itu Islam maupun Nasrani.

“Di Indonesia ini minimal ada 6 agama yang sudah diakui, antara satu dengan yang lain itu harus saling menghormati,” kata Jazuli di Kompleks Parlemen, Jakarta.

Jazuli juga memberikan contoh suara azan dalam Islam untuk memanggil shalat. Sementara itu, bagi orang Nasrani ada bunyi lonceng. Dari perbedaan itu, ia mengimbau masyarakat tidak saling menghina dan menyudutkan satu sama lain.

“Karena itu semua tidak boleh ada yang menghina, tidak boleh ada yang menyudutkan. Harus menghormati,” ujarnya.

Jazuli juga mengatakan pernyataan itu sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, supaya masyarakat saling menghormati ajaran agama masing-masing.

“Tujuannya itu SBK 3 menteri itu agar secara teknis orang-orang saling menghormati bagaimana caranya dalam implementasi melaksanakan ajaran agama,” katanya.

Jazuli juga mengatakan masyarakat dalam keberagaman harus menjaga satu sama lain, dengan tidak menyinggung hal-hal sensitif. Ia juga mengatakan menyinggung agama lain itu dilarang dalam agama Islam.

“Termasuk orang Islam, tidak boleh menyinggung agama lain, tidak boleh menghina agama lain. Dalam Alquran jelas orang Islam dilarang mencaci maki agama lain dan beribadah dengan cara agama lain,” terangnya.

Kronologi

Berdasarkan keterangan MUI Sumatera Utara, pada tanggal 29 Juli 2016 sekitar pukul 19.15 WIB yang berawal dari adanya keberatan terhadap azan di masjid al-Maksum Jl. Karya Kota Tanjung Balai oleh Saudari Meliana.

Di antara salinan dialognya dengan BKM masjid Al-Maksum Jl. Karya Kota Tanjung Balai yang salinan dialognya berdasarkan transkip percakapan yang dikirim MUI Kota Tanjung Balai, Nomor : A. 056/DP-2/MUI/XII/2016 adalah sebagai berikut:

Pak Haris : Ada Bapak atau Mamak ?
Anak Meliana : Ada
Pak Haris : “Katanya di rumah ini ada yang keberatan suara azan dari masjid” ?
Anak Meliana: “Iya Lho, itu masjid bikin bising, tidak tenang, bikin rebut saja.”
Pak Haris : “Lho, itu kan rumah ibadah, umat Muslim mengumandangkan azan ada lima kali sehari.”

Tak berapa lama kemudian muncul Saudari Meliana dengan ucapan keras menjawab.

Meliana : “Lu ya, lu ya (maksudnya kamu, sambil telunjuk tangannya menunjuk muka Pak Haris Tua Marpaung) kita sudah sama-sama dewasa, ini negara hukum, itu masjid bikin telinga gua pekak, sakit kuping saya. Hari-hari ribut, pagi ribut, siang ribut, malam ribut, bikin gua tidak tenang”.

Pendapat Ahli Bahasa Prof. Dr. Khairil Ansari, M.Pd, selaku Guru Besar UNIMED Medan) terdapat unsur penistaan (perendahan, penodaan) terhadap Agama dalam percakapan antara Saudari Meliana dengan Saudara Haris Tua Marpaung.

“Bahwa Saudari Meliana dalam konteks ini justru memaknai masjid sebagai tempat bikin ribut, tidak tenang, dan sakit kuping. Padahal masjid adalah bagian dari identitas umat Islam. Jika seseorang merendahkan masjid, tentu termasuk juga merendahkan Agama Islam,” kata dia.

Adapun keberatan Meliana atas suara azan yang berasal dari masjid, tegas dia, adalah bentuk intoleran terhadap syariat Agama Islam.

Dalam persidangan, Ahli Hukum Pidana Dr. Hamdan, SH., MH (Dosen Hukum Pidana USU) menambahkan, rekaman dialog antara Saudari Meliana dan pengurus BKM Masjid al-Maksum Jl. Karya Kota Tanjung
Balai yang berlansung sekitar pukul 19.00 WIB pada bulan Juli 2016 menunjukkan sikap ke-intoleran terhadap syariat azan sebagai bagian dari ajaran Agama Islam.

“Bahwa sikap Saudara Meliana sebagaimana yang dideskripsikan pada dialog di atas (Menimbang: poin 01),
sudah memenuhi unsur pidana pada UU N0. 01/PNPS/1965 sub pasal 156a tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama; kasus ini termasuk delik umum karena sudah memenuhi unsur pidana sebagaimana dimaksud,” pungkasnya.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *