Setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat, Khalifah Abu Bakar melanjutkan kebijakan Baginda Nabi agar mengirim Usamah bin Zaid bersama pasukannya ke Romawi. Ada apa dengan Romawi?
Wartapilihan.com, Jakarta – Namanya Usamah bin Zaid bin Haritsah. Ketika diperintahkan menjadi panglima ekspedisi militer ke Syam, usia Usamah saat itu baru sekitar 18 hingga 19 tahun. Tulisan ini hendak menguraikan makna yang tersembunyi di balik proses ekpedisi militernya tersebut. Tinjauan ekpedisi militer Usamah bin Zaid yang terjadi di awal masa pemerintahan Khalifatu Rasulullah Abu Bakar Ash-Shiddiq ini akan dimaknai dengan model pendekatan teori konflik agresor-defender dan seni feather-ruffling. Pendekatan agresor-defender dan feather-ruffling masing-masing mengandaikan dua pihak yang sedang mengalami eskalasi sehingga bisa diinterpretasikan model konfliknya, serta dapat dirajut pula makna “seni” contentious (pertengkaran, percikan) yang ada pada konflik tersebut.
Romawi dan Islam tidak hanya berperang secara politik dan militer saja, melainkan juga berperang melalui opini. Benturan peradaban telah secara dahsyat meletus di perang Mu’tah, lalu kemudian di peristiwa Dzatu Salasil dan perang Tabuk beberapa tahun sebelumnya. Rasulullah paham betul kalau kaum Muslimin mau tidak mau kelak harus menghadapi perang penentuan melawan dua adidaya yang ada, itu sebabnya sebelum wafat beliau menegaskan agar mengirim Usamah bin Zaid ke Syam. Pengiriman Usamah ini sebagai simbol dan “efek kejut” bahwa sedang ada peradaban yang menggeliat naik dari wilayah padang pasir nan tandus. Itulah mengapa, Abu Bakar Ash-Shiddiq selaku penerus estafet kepemimpinan, kendati mendapatkan kabar dari berbagai penjuru dunia Arab bahwa ada empat orang yang mengaku sebagai Nabi dengan pengikutnya yang mencapai puluhan ribu orang, mertua Rasulullah ini tetap bersikeras agar Usamah bin Zaid dikirim untuk memberi “salam” kepada Romawi. Laksana tanda bahwa “kami (umat Islam) siap menghadapi kalian (Romawi).”
Padahal permasalahan internal Khilafah waktu itu bukan hanya nabi-nabi palsu dan pendukungnya, tetapi juga adanya golongan ingkar zakat dan orang-orang yang tidak mengakui Abu Bakar sebagai pemimpin. Hal ini membuat sahabat terbaik Rasulullah ini harus segera mencari cara untuk menghentikan berbagai makar agar tidak makin meluas. Waktu itu panglima Usamah bin Zaid masih berkemah dengan pasukannya di Jurf sedangkan Khalifah Abu Bakar sudah mantap agar Usamah melanjutkan ekspedisinya ke wilayah Romawi. Bagi para sahabat senior yang ada di sekitar Abu Bakar, baik kalangan muhajirin maupun anshar, keberangkatan Usamah ke Syam sebaiknya ditunda dulu karena Madinah memerlukan kemampuannya untuk menghadang pergolakan dan pemberontakan dari suku-suku Arab yang dipimpin para nabi palsu tadi.
Tetapi setelah proses musyawarah, Abu Bakar tetap pada pendirian awalnya, “teruskan pengiriman pasukan Usamah” tutur sang Khalifah, tentu para sahabat akhirnya menyetujui juga keputusan Abu Bakar. Lagi pula dalam pandangan Abu Bakar, perintah dari Rasulullah ini adalah wahyu yang tak boleh ditunda. Lebih dari itu, sejak sah menjadi khalifah, pengiriman Usamah ke Romawi ini menjadi perintah pertama sang Khalifah. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal 11 H. Ekspedisi Usamah ini menjadi momentum naiknya pamor Madinah, itu terbukti dari suku-suku Arab di utara dan para loyalis Romawi yang mengungkapkan: kalau Madinah memang sedang lemah, bagaimana mungkin Madinah mengirimkan tentara sebanyak itu (pasukan Usamah). Walhasil suku-suku di utara langsung tunduk hanya dari ekspedisi Usamah saja, lagi pula yang ditantang oleh pasukan Usamah adalah Romawi di Balqa’ (Yordania) dan Palestina. Romawinya saja dilawan apalagi hanya sekedar loyalisnya saja. Sabda Rasulullah terbukti berkahnya, pengiriman pasukan Usamah cukup menakut-nakuti bangsa Arab yang ingin berkhianat, bahkan cukup menakuti Kaisar Heraclius. Kaisar Romawi itu berujar, “Sungguh tidak mungkin, karena kematian beberapa teman saja (di perang Mu’tah), mereka (kaum Muslimin) menyerbu kita,” demikian Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat Al-Kubra (4: 68) meriwayatkan keterkejutan Heraclius.
Riwayat dari Al-Waqidi dalam Al-Maghazinya lebih meyakinkan lagi, Heraclius yang panik karena serbuan pasukan Usamah buru-buru memanggil panglima sekaligus saudaranya sambil berkata, “Itulah (serangan) yang pernah kuperingatkan kepada kalian dan kalian tidak mendengarkan peringatanku, orang-orang Badui (maksudnya kaum Muslimin) datang menyerbu kalian dengan perjalanan sebulan, lalu mereka pergi tanpa ada yang teluka di antara mereka.” Lalu saudara Heraclius mengirimkan pasukan inti Romawi untuk berjaga-jaga di Balqa. Sudah terlambat, pasukan Usamah sudah pulang ke Madinah, di Balqa’ pasukan Usamah berhasil menghajar para loyalis Romawi dan mengambil ghanimah yang banyak dari mereka. Plus, tersiarnya opini bahwa Islam sudah berani menyerbu Romawi. Ibarat sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Suku dan kabilah Arab di utara akhirnya patuh kepada Madinah. Dengan begitu peristiwa ini adalah momentum makin terangkatnya pamor militer kaum Muslimin ke seluruh jagat.
Menguraikan ekpedisi Usamah sekaligus kebijakan pertama Abu Bakar ini melalui pendekatan agresor-defender dalam model konflik harus dimaknai dari: kaum Muslimin dianggap sebagai penyerang (agresor) yang “dianggap memiliki suatu tujuan atau sejumlah tujuan yang mengakibatkannya terlibat di dalam konflik bersama pihak lainnya” (Pruitt, Dean dan Rubin, Jeffrey. Teori Konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) sedangkan Romawi meskipun tadinya hendak mengancam Madinah, dari konteks ini mereka merupakan pihak bertahan atau defender. Model agresor-defender dalam teori konflik memandang bahwa “agresor (biasanya) akan memulai serangannya dengan taktik-taktik contentious yang ringan mengingat ongkos yang harus dikeluarkan bila terjadi eskalasi.” Ternyata ekspedisi ini berhasil, taktik contentious yang pertama pasca Rasulullah wafat pun berjalan lancar sesuai dengan tujuannya.
Setelah kalah dalam perang Mu’tah bulan Jumadil Awal 8 H, kemudian ‘kalah sebelum bertanding’ di perang Tabuk tahun 9 H, Romawi menunggu-nunggu kesempatan di mana internal Madinah sedang guncang karena wafatnya Rasulullah. Tentu Romawi juga mengetahui bahwa di jazirah Arab terjadi pergolakan karena adanya tokoh-tokoh yang mengaku nabi, serta pemberontakan mereka dari kepemimpinan Islam di Madinah. Imperium yang haus kekuasaan kaliber Romawi tidak akan mau melewatkan kesempatan semacam ini begitu saja. Rasulullah sendiri mengirim Usamah agar mengamankan daerah perbatasan dari ancaman Romawi. Dalam benak beliau nampak keinginan agar jangan sampai Romawi menyerbu kaum Muslimin terlebih dahulu. Bahkan jika merujuk riwayatnya Al-Waqidi dalam Maghazinya, pengiriman pasukan Usamah ini laksana qishash atas wafatnya ayah Usamah (Zaid bin Haritsah), Ja’far bin Abu Thalib, Abdullah bin Rawahah dan para syuhada perang Mu’tah.
Penyerangan ini sebenarnya merupakan sebuah “pesan” juga ke suku-suku pemberontak di utara Madinah, bahwa Madinah memiliki kekuatan yang cukup besar untuk menghajar Romawi dan mengamankan wilayah kaum Muslimin. Maka apalagi hanya ‘sekedar’ membereskan pemberontak. Jika menyerang adidaya dunia saja mereka mampu, lebih-lebih hanya suku-suku Arab yang membangkang kepemimpinan Madinah. Setelah peristiwa ekpedisi Usamah selama 40 hari, politik luar negeri Madinah relatif bisa berfokus menghadapi peperangan melawan pergolakan internal Arab, baik dari gerakan riddah (nabi palsu) maupun kaum yang enggan membayar zakat. Petuah dari Rasulullah ini terbukti ampuh menggetarkan Romawi dan para loyalisnya di perbatasan Syam, sambil mempertegas pamor kekuatan Madinah. Integrasi antara wahyu maupun kejeniusan strategi dan taktik Rasulullah sangat nampak di sini, dalam situasi konflik yang berkepanjangan beliau menjadi seorang gamesmanship yang unggul. Tidak lama setelah wafatnya Rasulullah, penerus beliau Khalifah Abu Bakar tiba-tiba menyerang jauh ke Syam. Bagi Romawi dan loyalisnya, penyerangan Usamah memang bak petir di siang bolong tak berhujan. Seorang gamesmanship yang memainkan seni feather-ruffling memang harus pandai memberi kejutan yang tak disangka-sangka. Ekspedisi ini pun cukup membingungkan bukan hanya bagi pihak lawan melainkan para penonton ‘duel’ Romawi-Islam.
Letak Syam yang jauh dari Madinah dan masuknya Usamah ke wilayah inti Romawi mempertegas hal ini. Ekspedisi Usamah sekaligus juga memperkuat penguasaan atas jalur dagang ke Syam. Sebagian kabilah di Daumatul Jandal (jalur ke Syam) memang gemar merampok dan merampas kafilah-kafilah dagang Arab, padahal Daumatul Jandal adalah jalur dagang utama ke Syam. Pasar Daumatul Jandal merupakan salah satu pasar utama di Arab. Wilayah ini menjadi pusat bisnis di Utara Arab dan tempat bermukim suku Ghassan yang termasuk suku Arab loyalis Romawi (Tarikh Al-Ya’qubi, h. 325). Madinah laksana membuat suatu kejutan. Kejutan yang membuat Romawi maupun loyalisnya bertanya-tanya bagaimana bisa negeri yang sedang bergolak dan rentan perpecahan itu melakukan penyerangan ke wilayah imperium di Balqa’ dan Palestina. Bagi Romawi hal ini berarti menyerang langsung wilayah mereka, bagi suku-kabilah Arab yang hendak mengkhianati Madinah itu merupakan “pesan” terselubung, bahwa “jangan main-main dengan Madinah”.
Romawi dan loyalisnya, serta suku-suku yang hendak mengkhianati Madinah terkaget-kaget dengan sepak terjang Madinah yang telah menjangkau wilayah inti Romawi. Suku-suku yang hendak berkhianat pun bukan tidak menyadari “pesan” dari ekpedisi ini. Waktu perjalanan Usamah ke Syam saja, mereka berpikir tidak mungkin Madinah berangkat dengan tiga ribu pasukan ke Syam kalau tidak ada misi dan tidak punya pertahanan yang kuat, karena mereka juga tahu bangsa Arab hendak menyerang Madinah dengan masing-masing nabi palsunya, di waktu yang hampir bersamaan. Namun demikian tujuan ekspedisinya itu sulit terbaca, terbukti dengan ekspresi keterkejutan mereka melalui kata-kata yang terlontar dari beberapa riwayat. Seni feather-ruffling memang menghendaki tindak-tanduk yang sulit diterka dan dibaca. Abu Bakar berhasil mengoptimalkan petuah dari Nabi SAW ini melalui ekspedisi Usamah.
Ilham Martasyabana, pegiat sejarah Islam