Apa yang pertama kali terlintas dalam pikiran kita saat melihat gambar di atas ini? Makna dari kata-katanya-kah atau malah simbol kelompok ISIS? Ya, gambar ini menunjukkan tulisan “Allah, Rasul, dan Muhammad”. Kita menganggapnya sebagai satu di antara simbol asli yang ada pada peradaban Islam. Simbol yang telah berusia lebih dari 1430 tahun ini mulai digunakan sekitar akhir tahun 6 sampai awal tahun 7 Hijriyah (Thabaqat Al-Kubra Ibnu Sa’ad, Tarikh Ath-Thabari), saat Rasulullah hendak mengirimkan surat dakwah ke para raja. Diriwayatkan bahwa “Nabi SAW hendak menulis surat untuk Kisra (Persia), Kaisar (Romawi Byzantium), dan Najasyi (Ethiopia). Kemudian ada yang mengatakan, ‘Mereka tidak mau menerima surat, kecuali jika ada stempelnya.’ Maka Rasulullah SAW membuat cincin dari perak, lalu diukir dengan tulisan Muhammad Rasulullah. Saya (Anas bin Malik) melihat putihnya cincin tersebut di tangan beliau” (HR Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya). Lalu ada juga riwayat masih dari Anas bin Malik, ukiran cincin Rasulullah bertuliskan Muhammad satu baris, Rasul satu baris dan Allah satu baris (HR Al-Bukhari, Tirmidzi dan Ibnu Hibban). Cincin Nabi SAW ini berwarna perak dan beliau menggunakannya untuk menstempel surat dakwah beliau (HR An-Nasa’i dan Ahmad dari Ibnu Umar). Cincin perak tersebut digunakan untuk menstempel surat dakwah beliau sebagai bukti surat resmi ke para raja dunia kala itu.
Islam memang hanya memiliki sedikit simbol di masa Rasulullah, namun simbol Islam yang asli pasti identik dengan Tauhid, buktinya tulisan yang tertera adalah “Allah, Rasul, Muhammad” (dari atas ke bawah). Lantaran penulis berkecimpung dalam bidang kajian sejarah, budaya dan ranah semiotika, maka tak ada salahnya jika kita kaji simbol ini dengan semiotika. Metode semiotika banyak ragamnya, dalam menginterpretasi simbol cincin-stempel Rasulullah ini, metode semiotika komunikasi visual adalah metode yang tepat. Apalagi melihat konteks produksi tandanya saat itu, saat Rasulullah hendak mengirim surat ke para raja. Semotika komunikasi visual adalah upaya dalam memberikan interpretasi dan metode pembacaan karya komunikasi visual (salah satunya dengan bentuk “gambar”), metode ini bersifat interpretatif. (Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika, 2012). Interpretasi terhadap kebenaran di balik makna simbol visual itu, dalam konteks ini cincin-stempel Rasulullah yang terdapat tulisan “Allah, Rasul, Muhammad” menyediakan ruang pemahaman yang dinamis. Bersifat interpretatif.
Semiotika komunikasi visual selain punya fungsi yang bersifat komunikatif, ia juga punya fungsi tanda (sign) dalam menyampaikan pesan dengan aturan atau kode-kode tertentu, dari komunikator (pengirim pesan) ke komunikan (penerima pesan). Dalam membahas fungsi tanda dalam teori kode menurut Umberto Eco, kode yang bermakna segala hal yang memungkinkan kita memandang sesuatu sebagai tanda (sign), telah membagi elemen-elemen sistem penyampaian ( a conveying system ) menjadi elemen-elemen sistem apa yang disampaikan ( a conveyed system ), penyampaian ini menjadi ekspresi dari apa yang disampaikan. Di sinilah sebuah fungsi tanda lahir, dikarenakan ekspresi tersebut dikaitkan dengan sebuah isi/makna pesan, kedua elemen-elemen ini membentuk relasi menjadi apa yang disebut functives (pemungsi) (Umberto Eco, Theory of Semiotics, 1976; Teori Semiotika, 2009). Sistem ekspresi tadi dikenal juga sebagai sinyal (signal) sedangkan apa yang disampaikan dikenal sebagai tanda (sign), sinyal dan tanda dalam pandangan semiotika bisa dalam bentuk apa pun. Makna denotasi dari ‘sinyal’ “Allah, Rasul, Muhammad” memang merupakan kata-kata yang punya kedudukan khusus dalam Islam. Menjadikan tiga kata tersebut sebagai stempel, berarti menjadikan keyakinan sebagai identitas kultural pihak yang mengirimkan pesan. Ini berfungsi sebagai sistem penyampaian atau ekspresi dari Rasulullah kepada raja-raja. Makna denotasi dari Allah bisa Ilaah/Rabb/Khaliq jika dilihat dari aksis (poros) “ Khaliq dan makhluq ”, “Rasul” jika dilihat dari medan semantik agama adalah pembawa risalah agama, dan “Muhammad” adalah nama dari pembawa risalah agama itu. Itulah makna denotasi atau makna tersurat dari simbol tersebut. Lalu bagaimana makna konotasinya?
Sebelum memasuki makna konotasi sebagai makna yang tersirat atau isi dari ekspresi simbol, kita andaikan kalau cincin-stempel itu hanya bertuliskan salah satu kata saja dari tiga kata yang ada, misal hanya “Allah” saja, “Rasul” saja, atau bahkan “Muhammad” saja, akan mengurangi makna yang dikehendaki oleh Rasulullah. Jika hanya “Allah” tulisannya, maka raja Romawi pun waktu itu percaya kepada Allah namun Romawi bermasalah dalam aqidah trinitasnya. Arab jahiliyah pun sama, sebenarnya mereka pun percaya kepada Allah namun masyarakat Arab jahiliyah juga meyakini berhala-berhala yang dianggapnya sekutu Allah. Demikian pula Muqauqis, raja Mesir dan Alexandria yang beragama Kristen Koptik. Sebaliknya jika “Rasul” saja, maka maknanya akan mengambang, atau jika “Muhammad” saja itu akan terkesan Rasulullah seperti raja yang ingin eksis melalui dirinya sendiri. Pesan dakwah tidak akan sampai. Maka itu simbolnya dibuat “Allah, Rasul, Muhammad”. Bahkan ada riwayat kalau Rasulullah ingin agar nama Muhammad pada posisi paling bawah karena adab kepada Allah, beliau hanya hamba dan utusanNya. Beliau diberi amanah dan gelar kerasulan pun atas kehendak Allah. Jika tiga kata digabungkan itu maka akan bermakna Allah dan RasulNya Muhammad seperti kalimat syahadat. Inti dari ajaran Islam adalah beribadah dan menghambakan diri kepada Allah semata, dengan tuntunan dari Rasulullah. Efektivitas pesan yang menjadi tujuan utama komunikasi visual seharusnya tercapai dengan simbol seperti ini.
Dalam pembahasan ini, “Ide Sebagai Sebuah Tanda” dalam pemikiran semiotika Charles Peirce, bisa kita manfaatkan, karena menurut Peirce ketika berhadapan dengan pengalaman, manusia mencoba mengelaborasi ide-ide untuk mengetahui sesuatu. Persepsi manusia bisa digunakan dalam membantu proses interpretasi karena didasarkan pada data inderawi yang terpisah-pisah serta pada pengalaman-pengalaman orang sebelumnya (Umberto Eco, ibid). Peradaban-peradaban seperti Habasyah, Romawi dan Mesir, bahkan mungkin juga Persia, telah memiliki pengalaman tentang konsep Allah dan kerasulan, namun dengan adanya tulisan “Muhammad” di simbol tersebut, menjadi bermakna bahwa nama Muhammad adalah seorang utusan atau Rasul, apalagi dalam setiap suratnya di awali min Muhammad (dari Muhammad), sehingga para raja tersebut tahu dengan jelas makna simbolnya.
Selain itu ada struktur hirarkis di dalam simbol tersebut. Allah dianggap sebagai yang tertinggi, sedangkan Rasul dan Muhammad lebih di bawah, yang bisa dimaknai bahwa Allah mengutus RasulNya yang bernama Muhammad. Pesan tersebut tersirat di dalam simbolnya. Semiotika komunika visual memang lumrah memiliki perbendaharaan tanda (‘vocabulary’ tanda) dan sintaksis (hubungan antar kata dalam tuturan) yang khas, meskipun bukan satu kalimat utuh, masing-masing perbendaharaan tanda dari “Allah, Rasul, Muhammad” dalam cincin-stempel membuktikan bahwa di sini tertuang fungsi tanda. Ini juga membentuk hubungan antar kata dalam simbol yang memuat pesan bagi para pembaca dan yang melihatnya. Cincin-stempel yang memiliki muatan komunikasi kepada para pembaca suratnya kelak. Dapat dipahami, fungsi komunikasi mengharuskan adanya relasi dua arah, antara pengirim dan penerima pesan.
Fungsi utama komunikasi visual dari “Allah, Rasul, Muhammad” adalah komunikasi, tersampaikannya sebuah pesan. Kendati memiliki fungsi signifikasi, fungsi pemaknaan juga dari siapa saja yang melihat simbol. Fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi atau makna secara tidak langsung. Di mana jika Rasulullah sedang tidak memfungsikan cincin itu sebagai stempel surat dakwah pun, maka muatan-muatan-muatan maknanya tetap ada bagi siapa saja insan yang melihatnya. Wallahu’alam.
Ilham Martasyabana, pegiat sejarah islam