Obat pengencer darah ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia bermanfaat untuk mencegah terjadinya serangan jantung atau stroke. Tetapi di sisi lain – apabila digunakan untuk pasien yang juga mengalami luka – obat pengencer justru mempersulit penyembuhan luka Dengan kata lain, obat tadi justru menghambat kerja trombosit menutup luka.
Trombosit adalah salah satu unsur darah yang mempercepat penyembuhan luka. Di lokasi luka, trombosit menjadi aktif dan terkait satu sama lain membentuk stiker trombosit. Trombosit kemudian berubah bentuk, menjebak sel darah merah ke dalam gumpalan darah. Setelah menyatu dan mengencang, luka perlahan-lahan menutup. Orang yang terkena luka biasanya akan melihatnya dalam bentuk kerak berwarna cokelat kehitaman yang menempel di kulit.
Peneliti dari Amerika Serikat berhasil membuat target obat pengencer baru. Target itu bisa mencegah serangan jantung dan stroke, tetapi juga memperlancar proses penyembuhan luka.
Adalah Ulhas P. Naik, Ph.D., Direktur Pusat Biologi Vaskular pada Cardeza Foundation for Hematologic Research, Thomas Jefferson University, Amerika Serikat, yang menemukannya. Hasil risetnya, dipublikasi dalam Jurnal Public Library of Science, terbitan secara online 24 Mei lalu.
“Tujuan dari riset kami adalah mengurangi formasi trombus yang tidak diinginkan (yang bisa mengakibatkan serangan jantung dan stroke – redaksi), tanpa benar-benar menghalangi fungsi trombosit penting lainnya,” kata Naik seperti dikutip situs sciencedaily.com, 24 Mei. Trombus adalah bekuan darah.
Ia berkata begitu karena penyembuhan luka mengundang bahaya. Apabila trombus terlepas dari lokasi luka dan masuk ke pembuluh darah, bisa menghambat aliran darah. Apalagi andaikata trombus tersangkut di pembuluh darah jantung atau otak. Tanpa disadari, pasien luka bisa terkena serangan jantung dan stroke.
Untuk mencegah risiko itu, dokter biasanya memberikan obat pengencer darah seperti aspirin. Namun kelemahannya, obat itu justru mencegah pembentukan trombus. Penderita penyakit jantung dan stroke memang terbantu dengan obat ini. Namun bagi pasien luka dan mengonsumsi aspirin, penyembuhan luka akan memakan waktu yang relatif lebih lama. Ini yang ingin dihindari Naik dan koleganya.
Dalam studinya, peneliti menemukan peran gen bernama CIB1. Protein ini ternyata terlibat dalam pembentukan trombus. Itu setelah Naik mengujicoba pada tikus yang direkayasa sehingga tubuh hewan mengerat tadi mengalami kekurangan gen CIB1. Dengan minim gen CIB1, darah tikus kekurangan trombus.
Lalu, Naik membuat luka pada tikus. Ternyata, meski minim trombus, trombosit tetap bekerja menutup luka. Untuk melihat gambaran lebih jauh — menunjukkan bahwa proses tersebut juga terjadi pada tubuh manusia – Naik menggunakan trombosit manusia. Di situ ia melihat bahwa CIB1 juga mempengaruhi produksi trombus. Cuma pengaruhnya terlihat pada saat munculnya tonjolan lengket.
Dari dua jenis penelitian, Naik berkesimpulan, CIB1 bisa menjadi target obat anti-trombotik (obat pengencer darah) yang bagus. “Jika kita memblokir CIB1, ini menghambat pembentukan trombus tanpa mengganggu pembentukan steker trombosit,” imbuhnya. Selain itu, obat tadi bisa mengurangi risiko serangan jantung dan stroke tanpa meningkatkan risiko perdarahan berlebihan.
Untuk membuktikan lebih lanjut, menurut rencana, Naik akan membuat senyawa molekul kecil yang akan menghambat CIB1 dan dapat dikembangkan menjadi terapi baru.
Naik juga berharap hasil penelitiannya bisa dimanfaatkan peneliti lain yang mempelajari penyakit lain yang terkait dengan trombosit, seperti kanker. Dalam kasus kanker, trombosit dituding berperan penting terhadap pembesaran tumor dan penyebaran sel kanker ke organ tubuh yang lain.
Jika sudah tercipta obatnya, pasien tak perlu kawatir akan risiko terkena serangan jantung dan stroke dalam proses penyembuhan luka. Maklum, serangan jantung dan stroke, termasuk salah satu penyakit pembuluh darah yang mematikan.
Stroke misalnya, jumlah penderitanya terus meningkat. Hasil riset kesehatan dasar yang digelar Kementerian Kesehatan 2007, 15% penduduk Indonesia usia 55-64 tahun terkena stroke. Namun pada riset serupa pada 2013 menjdi 24%. Lalu, serangan jantung diakibatkan penyakit jantung koroner yang menyumbang 35% penyebab kematian di Indonesia.
Helmy K