Bendera Bajak Laut di Negeri yang Tersinggung

by

Indonesia heboh beberapa hari belakangan ini. Bukan karena kerusuhan, tapi karena gambar tengkorak bertopi jerami berkibar di mana-mana. Di truk, di kampus, dan di dinding dinding kota. Simbol itu bukan ancaman perang, melainkan Jolly Roger dari One Piece, anime legendaris yang kini berubah jadi bahasa protes jalanan.

Wartapilihan.com, Bogor– Bagi jutaan penggemarnya, ini adalah lambang kebebasan. Lambang solidaritas dan perlawanan terhadap kekuasaan sewenang-wenang. Dalam cerita, Luffy dan krunya melawan pemerintah dunia yang korup. Pemerintah yang tega mengorbankan rakyat demi segelintir elite.

Menjelang HUT RI ke-80, ketika bendera ini berkibar di banyak tempat, pesannya gamblang: rakyat bosan pada kekuasaan yang tuli. Bahasa resmi tak lagi dipercaya, sementara orasi politik terlalu sering diakhiri intimidasi.

Respons pemerintah? Tersinggung.

Bendera itu disebut “tidak pantas”, “menghina Merah Putih”, bahkan dianggap “makar”. Aparat bergerak: mural dihapus, bendera diturunkan, pengibar dipanggil. Di beberapa kota, warga yang mengibarkan bendera diperiksa dan diminta menandatangani pernyataan tak mengulangi.

Masalahnya, pemerintah gagal membedakan simbol fiksi dan ancaman nyata. Simbol fiksi tidak meruntuhkan negara. Yang membunuh demokrasi adalah ketika kritik dibungkam, aspirasi dibalas pasal karet, dan perbedaan dianggap musuh.

Negara yang kuat tak gentar pada bendera bajak laut. Ia mendengar, memahami, dan menjawab pesan yang dibawanya. Yang layak ditakuti bukan gambar tengkorak di kain hitam, melainkan hilangnya kepercayaan rakyat pada pemimpinnya.

Ironisnya, larangan ini justru membuat bendera itu makin terkenal. Efek Streisand: semakin dilarang, semakin viral. Razia memantik rasa penasaran publik. Yang tadinya hanya penggemar One Piece yang paham maknanya, kini jutaan orang ikut mencari tahu.

Larangan menjadi promosi gratis. Banyak yang mengibarkan bendera bukan lagi karena anime, tapi sebagai solidaritas terhadap kebebasan berekspresi.

Dalam psikologi sosial, ini disebut reactance. Semakin kuat tekanan, semakin besar dorongan melawan. Di era internet, satu larangan bisa melahirkan seribu bendera baru.

Pemerintah seharusnya paham: bendera ini hanya media. Pesan di baliknya lebih penting. Ini tentang harga harga yang naik, tentang banyaknya kebijakan tak berpihak, tentang pejabat yang suka bicara seenaknya, dan tentang masa depan yang makin suram.

Alih-alih marah, seharusnya ini bisa jadi pintu dialog. Undang mereka yang mengibarkan bendera, dengarkan keluhan, jawab dengan tindakan.

Pemimpin bijak tahu simbol hanyalah permukaan yang harus diubah adalah isi di bawahnya.

Di dunia Luffy, bajak laut sejati bukan yang merampas, tapi yang membebaskan. Di dunia nyata, pemimpin sejati bukan yang sibuk menjaga simbol, tapi yang menjaga keadilan dan kepercayaan rakyat.

Arogansi yang menutup telinga terhadap protes adalah perjudian berbahaya.
Bendera bajak laut hanyalah gelombang di permukaan. Di bawahnya ada arus deras ketidakpuasan yang menguat.

Rakyat yang diam bukan berarti tak melihat atau tak mengerti. Mereka diam karena sabar atau pasrah. Tapi ketika rasa muak tak tertahan, tekanan bisa meledak jadi kekacauan tak terkendali.

Ujian besar kini di depan mata

Apakah pemerintah benar-benar korup dan tuli seperti yang dituduhkan?

Atau mereka masih mau mendengar dan berubah?

Jawabannya tak datang dari pidato di televisi. Tapi dari tindakan nyata dengan membuka dialog, memperbaiki kebijakan serta mengembalikan kepercayaan yang mulai rapuh.

Sebab jika keyakinan itu hilang, suara rakyat tak lagi hadir lewat bendera atau mural, bisa jadi mereka datang dalam gelombang yang jauh lebih besar dan tak terduga.

Dr Ir Agus Somamihardja, MM