Bahaya Games Mengandung Kekerasan

by
http://www.dakta.com/

Tidak hanya berdampak bagi kesehatan, aspek psikologi anak juga dapat terganggu apabila anak sering memainkan permainan yang mengandung kekerasan.

Wartapilihan.com, Jakarta –Manhunt, The House of Dead, Fallout, Battlefield, God of War dan Street Fighter hanya merupakan sebagian kecil dari banyaknya games-games yang bertebaran, dan anak-anak lelaki paling banyak jadi pemainnya.

Menurut psikolog Hilman Al Madani, games kekerasan dapat memicu sikap dan struktur berpikir anak. Pasalnya, segala informasi yang masuk ke otak dan berulang-ulang akan membentuk struktur berpikir, merubah struktur otak, dan membentuk struktur kepribadian. Games-games kekerasan turut menjadi inspirasi bagi otak dalam berperilaku.

Ia mengatakan, saat emosi yang tidak genap bertemu dengan fase remaja dimana beberapa zat kimia di otak, berupa adrenalin (tantangan), testostereon (salah satunya membuat seseorang aktif agresif) dan dopmain (zat bahagia) mencapai puncaknya di otak, maka saat itulah seorang anak merasa senang dan ingin aktif dalam berkegiatan yang penuh tantangan.

“Pertanyaannya, disaat energi berlebih di usia ini, apakah ada arahan? Lebih banyak mana antara kegiatan harian yang begitu-gitu saja atau kegiatan penuh tantangan yang membuat mereka merasa terfasilitasi?” Tanya Hilman, di Facebook Yayasan Kita dan Buah Hati, Jum’at, (17/11/2017).

Ditambah lagi, fase remaja merupakan fase identitas. Anak-anak, ujar Hilman, sedang mencari jati diri. Ketidakmatangan emosi, pola asuh yang kurang mendukung, tidak adanya arahan yang positif yang sesuai dengan jiwa mereka, membuat anak-anak mencari dari hal-hal yang populer, tidak peduli benar atau salah, mengganggu orang lain atau tidak.

“Kondisi Blast (bored, lonly, angry, stress, tired) ditambah contoh-contoh kekerasan yang ter ‘wiring’ di otak membuat mereka membutuhkan exit, salah satunya adalah main game yang mengandung kekerasan,” lanjut Hilman.

Maka dari itu, Psikolog dan Trainer Yayasan Kita dan Buah Hati ini menekankan, agar pola asuh dalam rumah memiliki kehangatan, terutama pada usia 5 tahun pertama yang akan berdampak banyak pada emosinya.

“Emosi yang tidak sehat membuat remaja kita akan bertindak didominasi oleh otak bagian emosinya. Walhasil cara berpikirnya adalah: Emosi-Aksi-Pikir,” terangnya.

Selain itu, dialog sangat diperlukan dengan memberikan kata-kata positif dan mengenali apa passion anak dengan memfasilitasinya.

“Orang tua perlu meluangkan waktu untuk berdialog dengan anak tentang nilai (values) dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan, agar kemampuan berpikir anak-anak kita makin matang dalam memilih dan mengambil keputusan tentang apa yang benar dan salah, baik dan buruk, serta mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan,” pungkas Hilman.

Tidak hanya keluarga, pihak sekolah turut bertanggung jawab untuk berperan. Pasalnya, anak menghabiskan banyak waktu di sekolah. Maka, sekolah tidak boleh hanya menyentuh aspek kognitif (pengetahuan) saja. Harus menyentuh aspek afektif (rasa) dan psikomotorik (perilaku).

“Sehingga anak-anak kita bukan hanya berpikir, tapi mampu merasa, dan bertindak secara terarah, sesuai dengan apa yang dipelajarinya,” tandasnya.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *