Beberapa tokoh dan aktivis turut berkomentar soal pertemuan ulama dengan pemerintah. Apa yang sebenarnya terjadi?
Wartapilihan.com, Jakarta – Ketua GNPF-MUI, Ustadz Bachtiar Nasir (UBN) menepis informasi publik yang beredar mengatakan pertemuan tim GNPF dengan pemerintah dilakukan secara mendadak dan sepihak. Hal tersebut disampaikan UBN saat konferensi pers di AQL, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (27/6).
“Pertemuan itu tidak terbuka, hanya saja wartawan istana tiba-tiba masuk lalu framing-framing sendiri, lalu nebak-nebak ujungnya. Setelah mereka mengetahui kami tidak konferensi pers, keluar lagi, yang beredar ini kadang-kadang banyak tambahan-tambahannya,” ujar Bachtiar Nasir.
Lebih lanjut, pertemuan tersebut terang Bachtiar lepas dari puja-puji. Bachtiar lebih mengedepankan sikap objektif. Sebab, ia merasakan sikap diskriminatif ketika umat Islam yang melakukan kesalahan. Ditambah penyematan anti pancasila, intoleran, radikal, dan lain sebagainya.
“Kami tidak bicarakan masalah teknis karena itu domain Presiden, sebelum pertemuan Presiden juga sudah mendelegasikan urusan GNPF dan gerbong di belakangnya lewat Menkopolhukam,” ucapnya.
Selain itu, gagasan untuk melakukan dialog dengan pemerintah, jelas Bachtiar, merupakan perjalanan panjang setelah aksi 411 di depan Istana mengalami kebuntuan. Namun, ia dan tim GNPF-MUI bersyukur dapat menjalin komunikasi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menkopolhukam Wiranto dan Kemenag Lukman Hakim Saifuddin.
“Presiden hanya menyampaikan salam ke peserta aksi 212 langsung kembali. Setelah itu kami hampir kehilangan cara berkomunikasi dengan Presiden, maka komunikasi kami selanjutnya lewat Kapolri untuk mencari jalan penyelesaian, karena satu per satu dari kami dipermasalahkan,” ungkap Alumnus Universitas Madinah ini.
Ketika UBN menjelaskan apabila ada dialog pada 411, maka tidak akan 212, ketika dialog 212 dilakukan tidak ada 212 jilid 2, aksi 313 dan seterusnya. Tiba-tiba Presiden Jokowi bicara program tanah untuk rakyat dan program akselerasi untuk menyeimbangkan ekonomi karena selama ini terlalu Barat minded.
“Presiden berusaha menjalin kerjasama ke Cina, ke Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirate Arab, Qatar, bahkan juga telepon langsung dengan Turki untuk bangun kedekatan. Lalu balik lagi, seandainya terjadi dialog antara kita di 411 tidak ada yang seperti ini,” UBN menerangkan.
Dalam dialog tersebut, Bachtiar sangat memahami bahwa pihak rezim tidak merasa melakukan diskriminasi muslim dan non muslim, kriminilisasi ulama dan labelisasi negatif terhadap umat Islam. Menurutnya, Presiden adalah simbol negara dan harus dihormati.
“Kami datang untuk menyampaikan bahwa faktanya ada, itu yang ingin kami sampaikan. Saya memanggil Pak Presiden itu Pak Presiden yang terhormat, kalau kita tidak menghargai simbol negara berarti kita telah melecehkan simbol negara kita sendiri,” tandasnya.
Terakhir, ia menyampaikan pesan kepada Presiden dalam proses menyelesaikan masalah harus lewat dialog, lewat silaturahmi, membuka hati, dan membuka diri untuk menerima masukan-masukan.
“Kita ingin Indonesia damai, bersatu, Indonesia kuat, dan Indonesia berdaulat. Kita ingin agar Indonesia tidak perang saudara dan tidak diperalat oleh pihak yang ingin Indonesia pecah, dan itu cita-cita kita bersama kembali ke NKRI yang utuh, seperti yang dicita-citakan pendiri bangsa ini,” pungkasnya.
[Satya Wira]